Pemuda dan Takdir Sejarah

"Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku satu pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia" (Bung Karno)

Logika ku berfikir, entah bagaimana caranya seorang pemuda bisa mengguncangkan dunia, juga sempat terfikir, apakah ini hanya sekedar kata, realita, atau sekadar harap. Entah, aku pun jadinya tak yakin, mengguncang dunia dengan kebaikan, atau malah keburukan.

Tapi nurani ku masih berujar, bahwa ucap yang keluar dari pemimpin besar sejati nya kebaikan. Maka, tak ayal mengguncang dunia pun tentunya dengan kebaikan. Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana caranya melakukan itu di era kekinian?

Usiaku kini menginjak 22 tahun lebih, begitu pun dengan kawan-kawan di sekitarku. Usia matang seorang pemuda rasa-rasanya, bagiku ini momentum emas seseorang menjemput takdir sejarah dalam hidup. Itu idealnya. Namun terkadang banyak yang membuat idealisme dan harapan ku akan pemuda bangsa ini gentar.

Lihatlah di sekeliling mu wahai pemuda, dan jujurlah pada hati nurani dan Tuhan mu. Seberapa banyak diantara kita yang punya keegoisan tinggi untuk dirinya. Masih banyak diantara kita yang keseharian nya fokus pada dirinya, hanya memikirkan esok akan makan apa, berpakaian bagaimana, dan hendak beraktivitas apa, begitu seterusnya. Juga lihatlah, seberapa banyak diantara kita yang khawatir dengan masa depan nya, mencari pendidikan setinggi dan sebaik mungkin, mencari pekerjaan sebaik, seenak dan semenyenangkan mungkin, mencari kekayaan sebanyak-banyak nya, kejaran nya hanya materi. Atau coba kita lihat para aktivis itu, aktif di berbagai organisasi kepemudaan, lantang meneriakkan tentang rakyat dan kebenaran, namun linear dengan motivasi kepopuleran nya. Atau lihatlah juga, mereka yang aktif dan punya ketulusan, namun banyak terhenti dalam pewacanaan, alasan klasik, karena keterbatasan.

Sementara aku pernah diceritakan, tentang para pemuda muslim yang ceritanya mengguncangkan. Saád bin Abi Waqash yang pada usia 16 tahun sudah turut serta dalam perang uhud, dia tercatat sebagai darah pertama yang mengalir dalam perang itu. Atau Zaid bin Tsabit, anak kecil ini merengek ingin ikut dalam perang badar, namun tidak diizinkan oleh Rasulullah SAW karena usianya waktu itu masih 12 tahun. Atau lihat juga kisah Muhammad Al-Fatih, kisah yang melegenda ini adalah contoh dari seorang pemuda berusia 23 tahun, namun berhasil menaklukkan negara adidaya waktu itu yaitu Konstantinopel. Ini hanya beberapa contoh, dari kisah kepemudaan yang mengguncangkan.

Walau dengan kondisi kekinian, aku masih punya keyakinan, bahwa di Indonesia pun masih ada pemuda dengan cerita mengguncangkan, bahkan kelak akan melegenda dan menjadi tumpuan harapan. Begitupun dengan kalian, semoga masih muncul harapan, untuk mewujudkan impian. Impian dalam menunaikan hak bangsa yang ada pada diri setiap kita. Jangan hanya menunggu kesempatan, tapi cobalah kalahkan keterbatasan. Jangan patah karena lelah, dengan ini kau akan tetap bertahan. Ingatlah kawan, hanya yang kuat yang akan bertahan, dan hanya yang bertahan yang akan sampai tujuan. Juga ingatlah, bahwa realita ada tanpa diminta, sementara idealisme ada karena diperjuangkan.

Refleksikan dalam diri, bahwa ada hak umat dalam diri yang harus ditunaikan. Hilangkan keegoisan, dan tumbuhkan kesungguhan untuk senantiasa memenuhi kebutuhan. Selalu ada yang bisa kita berikan dengan kapasitas kita yang membanggakan. Hal kecil yang dilakukan secara konsisten, itupun membanggakan. Bergabunglah dalam barisan orang-orang muda yang punya impian dan kesungguhan, walau mungkin jumlah mereka tidak seperti kebanyakan orang, inilah kenyataan, kenyataan yang membanggakan.

Masih ingatkah sebuah perkataan, bahwa kenyataan hari ini adalah hasil impian kita di masa lalu, dan kenyataan masa depan adalah buah impian kita di masa kini? Jangan takut untuk bermimpi besar, sekalipun kelak pencapaian mu kecil, tetapi setidaknya kau pernah bermimpi besar.

Ingatlah perkataan ku kawan, bahwa impian harus disertai kesungguhan, totalitas. Jika ini kau tinggalkan, impian akan berakhir pada keterbatasan. Pemikiran hanya terwujud dalam proses pewacanaan, dan kenyataan tinggalah angan-angan.

Satu hal yang perlu mendapat perhatian, impian tak hanya untuk semangat kebangsaan saja. Ada hal mendasar yang pemenuhan nya harus didahulukan, semangat ketuhanan. Karena sejatinya, kontribusi untuk bangsamu ialah sarana menjemput amal unggulan untuk kelak menjadi bekal menghadap Tuhan mu yang menciptakan.

Kemudian yang jadi pertanyaan, sekarang apa yang akan kita kerjakan dalam memenuhi peran kepemudaan kita untuk menjemput takdir sejarah demi kemanfaatan umat ini?

konkret, tak sekadar wacana, walau kecil, jika itu konsisten dilakukan, bagiku itu membanggakan :)

-sebuah refleksi malam-

RSUD Majalaya, 17 Januari 2012, 23.10

Menjadi Dirimu

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin

yang tegak di puncak bukit

Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,

yang tumbuh di tepi danau

Kalau engkau tak sanggup menjadi belukar,

Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang

memperkuat tanggul di pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya

Jadilah saja jalan kecil,

Tetapi jalan setapak yang

Membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten

tentu harus ada awak kapalnya….

Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi

rendahnya nilai dirimu

Jadilah saja dirimu….

Sebaik-baiknya dirimu sendiri

(Kerendahan Hati - Iwan Abdurrahman)


Setiap orang punya kekhasan, punya keunikan , punya potensi nya masing-masing. Ada kelebihan dan kekurangan nya masing-masing. Ada karakter tersendiri dari tiap individu. Para sahabat Rasulullah pun tetap pada keunikan nya masing-masing. Abu Bakar as, Umar bin Khathab as, Ustman bin Afan as, dan Ali as pun memiliki keunikan masing-masing. Begitupun dengan istri-istri Rasulullah saw, Siti Khadijah, Siti Aisyah, mereka pun hadir dengan keunikan nya masing-masing. Potensi yang bisa digunakan untuk meraih sukses pun sesuai dengan keunikan kita masing-masing. Kita tidak pernah tahu sampai dimana potensi diri kita. Namun sejauh manapun kita mengoptimalkan potensi diri saat ini, kita masih bisa terus meningkatkan nya. Kita masih bisa lebih baik dari saat ini, sesukes apapun kita saat ini. Tidak ada yang namanya pencapaian puncak dunia ini, yang ada nanti saat di akhirat sebelum bertemu Allah swt.


Jadi selama di dunia, kita masih bisa memperbaiki diri kita. Kita jadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan menjadikan hari esok lebih baik dari hari ini. “ Barangsiapa yang hari ini sama dengan kemarin, merugilah dia. Jika hari ini lebih buruk dari kemarin, dia celaka. Dan beruntunglah bila hari ini lebih baik dari kemarin” (HR. Bukhari)


Jangan salah kaprah. Menjadi diri sendiri bukan berarti menjadi kita semau diri kita sendiri. Menjadi diri sendiri sejatinya menjemput cahaya kebaikan yang pedoman nya sudah digariskan dalam Al Qur’an dan Hadist. Menjadi diri sendiri sama sekali bukan berarti tidak meneladani seseorang atau meningkatkan kualitas diri sendiri. Sebagai seorang muslim, menjadi diri sendiri pun harus punya acuan agar diri ini tetap pada jalur kebaikan. Menjadi pribadi muslim sejatinya menjadikan Rasulullah Saw, para sahabat nya, istri-istri nya sebagai role model dalam menjalani kehidupan. Menjadi pribadi muslim idealnya mengetahui sebagai apa dan untuk apa ia diciptakan, untuk kemudian dengan keunikan dirinya yang mengacu pada pedoman Islam melakukan amal unggulan. Menjadi dirimu, sebaik-baiknya dirimu sendiri, semata-mata untuk menjalankan ibadah kepada Nya, guna mendapatkan ridha dan rahmat Nya kelak.


Kata syukur menjadi kata kunci untuk menjadi diri sendiri. Di antara cara syukur kita sebagai seorang Muslim adalah menunjukkan identitas kemusliman kita, nilai-nilai kita dan gaya hidup kita yang berbeda dengan gaya hidup yang lain. Menjadi diri seorang muslim, berarti menjadi individu yang mewarnai, bukan terwarnai. Kita yang seharusnya mewarnai lingkungan, bukan lingkungan yang kemudian mengubah karakter dan mematikan nilai-nilai kebaikan dalam diri kita.


Terkadang, tak bisa dipungkiri memang bahwa sesekali kita ‘kalah’. Tanpa disadari kemudian kita meninggalkan jati diri kita sebagai seorang muslim. Tanpa disadari kita akhirnya lupa bahwa diri kita adalah da’i sebelum segala sesuatu nya. Terkadang kita yang akhirnya terwarnai, bukan yang mewarnai. Jangan sampai kemudian kita terjerumus dalam banyak pembenaran, pemakluman dan kemudian nyaman berada dalam suasana seperti itu. Rasulullah saw menegaskan, “Man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhu, Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.”


Menjadi diri sendiri dengan gaun terbaik seorang insan (ketakwaan dan amal shalih) tak kan bertentangan dengan penerimaan diri kita dalam suatu lingkungan. Membangun jembatan hubungan dengan sesama, dimulai dengan membeli hati. Menyentuh hati diawali dengan penerimaan dan cinta, yang keduanya adalah bagian dari rahasia dan karunia yang tidak seorang pun memiliki selain Allah swt. Bagi orang-orang yang lekat dengan ketakwaan, mereka akan mudah dicintai dan diterima khalayak. Hal yang lumrah terjadi, jika manusia akan terpanah hatinya saat melihat keluhuran budi pekerti seseorang. Mengenakan pakaian keshalihan , setiap kita akan akan dengan mudah memasuki hati setiap insan tanpa harus menunggu izin mereka, sebab ia telah mendapat izin Allah swt, Allah swt yang telah membukakan setiap gembok yang mengunci hati.


Menunjukkan jati diri sebagai seorang muslim yang baik tak kan jadi penghalang kita untuk berbaur. Akhlak, budi pekerti, kebajikan dan ketakwaan, kesemuanya itu tak hanya mendatangkan penerimaan, melainkan juga panutan dan penjagaan dari lingkungan sekitar. Takwa adalah syiar (panji). Siapa saja yang mengangkatnya tinggi-tinggi, dialah orang yang paling berhak menjadi pembawa kebenaran, kekuatan, dan kebebasan. Ketika itu, khalayak akan berbondong-bondong menghampiri dan menjadi pendukung setia dibawah panji yang dikibarkan.


“Cintailah Allah, niscaya dia mencintaimu, membukakan hati penduduk langit dan bumi untuk mencintaimu.”


Menjadi diri sendiri. Itulah yang membedakan diri kita dengan orang lain, terlebih dengan kapasitas ilmu yang kita miliki, terutama ilmu agama. Tak bisa dipungkiri bahwa disekitar kita pastilah ada pribadi-pribadi yang jika dilihat dari sikap dan keseharian nya jauh dari kebaikan. Tapi cobalah perhatikan mereka, jangan-jangan mereka berbuat seperti itu karena mereka memang tidak tahu ilmu nya. Jangan sampai diri kita yang seringkali sadar hal-hal yang dilarang Allah untuk kita lakukan, kita yang punya ilmunya, kita yang tahu ilmunya, tapi selanjutnya, kita melanggarnya.


“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang apabila melakukan sesuatu, dia melakukan dengan sebaik-baiknya.”(HR. Baihaqi)


Berbuat yang terbaik adalah cermin syamilnya pemahaman seseorang terhadap Islam, karena kita sudah terlanjur digelari oleh Allah sebagai umat yang terbaik (Q.S. 3:110) . Umat yang terbaik tidak akan berpikir, bersikap dan bertindak yang bernilai rendah, namun sebaliknya, akan selalu memberikan yang terbaik bagi ummat dan agamanya. Untuk menjadi yang terbaik, perlu ada kesungguhan yang muncul dalam dirinya. Kesungguhan untuk berubah dan meninggalkan perbuatan buruknya, kesungguhan untuk seringkali memberikannya contoh, kesungguhan untuk istiqamah mewarnai dan mendoakan lingkungan serta orang-orang disekitarnya, kesungguhan untuk meraih ridha dan rahmat Nya .


Ketika kita mampu berkontribusi dengan amal unggulan kita dan memperoleh keutamaan nya, mengapa kita terkadang puas dengan amal kita yang kecil, atau bahkan cenderung merasa nyaman dengan keburukan-keburukan yang kita lakukan?


Tidak mudah memang, fitrah nya memang seperti itu, tapi disanalah nilai perjuangan nya. Segala puncak prestasi harus teruji, begitupun menjadi ahli surga harus terbukti di dalam kesungguhan dan kesabaran menghadapi ujian hidup di jalan Nya.


Regards,

Dani Ferdian
Bandung, 3 Januari 2012

Ridha Allah, Satu Langkah Pasti !!

Berbicara tentang surga dan amal shaleh, juga tentang keadilan akan takdir seorang hamba untuk kemudian dimasukan ke dalam surga atau neraka, semacam berbicara tentang husnul khatimah (akhir yang baik) atau suul khatimah (akhir yang buruk). Manusia pasti mengalami mati, sebagaimana firman Nya: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kan dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan“. (QS. Al-Anbiya [21]: 35).


Proses sakaratul maut bisa menjadi parameter baik atau buruk kehidupan manusia diakhirat. Sehingga timbullah anggapan pada pihak yang menyaksikan kematian seseorang, bila menghembuskan nafas terakhir dengan baik dan tenang, akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Sedangkan ketika menghadapi sakaratul maut dengan histeris dan kesakitan yang luar biasa pertanda akan menghadapi siksaan di hari kemudian. Allah SWT berfirman,”…Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orangyang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): ‘ Keluarkanlah nyawamu’. Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya“. (QS. Al-An’aam [6]: 93).


Husnul khatimah adalah dambaan setiap muslim karena mampu mengendalikan diri dari dosa dan dapat mendatangkan kebahagiaan, seperti firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu’ “. (QS. Fushshilat [41 ]: 30). Inilah contoh dari husnul khatimah, dalam situasi sekarat, datang berita akan memperoleh surga. Masya Allah, apalagi di akhir hidup ini yang kita harapkan. Tentulah husnul khatimah yang utama paling didambakan.


Tak cukup dengan hanya mengucapkan “Tuhan kami ialah Allah“ untuk mendapatkan husnul khatimah,karena hakikat dari ucapan itu, adalah menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Seperti firman Allah SWT, “Hai orang-arang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu“. (QS. Al-Baqarah[2]:208). Bertolak dari dua kalimat syahadat, maka empat hal lagi dalam rukun Islam harus kita laksanakan dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kesanggupan kita dalam melaksanakannya.


Tidak ada jaminan jika orang yang tekun beribadah itu pasti masuk surga. Orang bisa masuk surga bukan di tentukan dengan melihat amal ibadahnya, tetapi karena memperoleh rahmat dan ridha Allah. Rahmat dan ridha Allah ini diraih dengan mentaati segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.


Rasulullah pun tidak berani menjamin seseorang masuk surga. Sebab yang menentukan orang itu bisa masuk surga atau neraka adalah Allah. Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada seorang pun dari kalian yang amalnya bisa menyelamatkan dirinya”. Lantas para sahabat bertanya: “Termasuk engkau juga tidak bisa menyelamatkan?”. Beliau menjawab: “Aku juga tidak bisa menyelamatkan, kecuali bila Allah melimpahkan ampunan dan rahmatNya”. Abdurrahman bin Auf mendapat hadist dari Aisyah r.a.istri Nabi saw, ia berkata: Rasulullah saw pernah bersabda: "Istiqomahlah kalian, bertaqarrublah kalian dan bergembiralah kalian, sesungguhnya tidak ada amal seorang pun yang bisa menyebabkan masuk surga”. Para sahabat bertanya: “Termasuk engkau juga tidak bisa Ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Aku pun tidak bisa, kecuali bila Allah melimpahkan rahmatNya. Karena itu beramallah kalian, sesungguhnya amal yang paling disukai Allah adalah yang langgeng meskipun sedkit”.


Dengan demikian, seseorang tidak bisa mengandalkan amal ibadahnya sebagai jaminan bahwa dirinya nanti pasti masuk surga. Hanya rahmat dan ridha Allah-lah yang bisa memasukkannya ke surga. Oleh karena itu, dalam setiap menjalankan amal ibadah perlu didasari keikhlasan, semata-mata mencari ridha Allah, tidak karena yang lain. Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah. Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah. Bahwa perbuatan baik (akhlak) dan ibadah kita ternyata tidak mampu untuk mendapatkan tiket ke surga. Hanya karena rahmat-Nya lah kita bisa ke surga. Akhlak dan amal ibadah juga tidak cukup menjamin kita terbebas dari api neraka, hanya ampunan-Nya lah yang bisa membuat kita terbebas dari api neraka. Karena itu kita diminta banyak memohon rahmat dan ampunan Allah.


Tidak semua orang diberi rahmat surga, dan tidak semua orang diberi ampunan dari ancaman neraka. Karena itu Allah menentukan syarat utamanya adalah beriman kepada-Nya dan rasul-Nya (melalui syahadat). Ia harus memiliki aqidah yang benar, memahami siapa Tuhan yang disembahnya dengan benar, apa yang dimaui-Nya, bagaimana cara mencintai-Nya. Inilah syarat utama agar permohonan rahmat dan ampunan kita bisa diterima.


Ibarat seorang pembantu yang bekerja keras pada majikannya, setiap hari ia bangun pagi membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyapu halaman, menjaga keselamatan anak majikan selama majikan bekerja diluar. Namun sang pembantu yang rajin ini ternyata tidak sopan dalam kata dan perilaku, Sang pembantu tidak mau berusaha memperbaiki sikapnya ini pada atasannya, karena ia mempunyai pendapat sendiri tak mungkin majikan akan memecatnya karena ia sudah bekerja sangat keras dan merawat anak-anak majikannya dengan baik. Ia tidak juga berusaha mencari tahu apa yang diinginkan sang majikan. Padahal jelas sang majikan sudah menulis tatatertib dan uraian kerja pembantu rumah tangga, diantaranya disebutkan bahwa kesopanan adalah syarat terpenting bekerja di rumah majikan tersebut. Bahkan terkadang ia sombong dan keras hati serta menyimpulkan sendiri bahwa sebagai orang yang berintelektual tinggi seharusnya majikannya bisa menerima kekurangan sang pembantu. Iapun kaget ketika di akhir bulan, sang majikan memecatnya dengan alasan tidak sopan. Ia protes tapi majikannya punya hak.


Analogi sederhana ini, menyiratkan bahwa agar doa, ampunan, amal dan ibadah kita bisa diterima Allah hendaknya kita mengenal Allah secara baik, melalui perenungan dan makrifatullah. Kitapun sebagai hamba Allah perlu mencari tahu apa sebenarnya syarat utama yang diinginkan Allah agar segala amal ibadah dan akhlak baik kita diterima Allah. Tidak susah mengenal Allah karena karya-Nya ada disekeliling kita, yaitu alam semesta ini, bahkan Ia telah memperkenalkan diri-Nya pada manusia melalui kitab-kitab suci dan ajaran nabi-Nya. Dengan mengenal Allah secara baik kita akan tahu bahwa Allah sangatlah penyayang, demikian sabar dengan kelemahan manusia, terlalu banyak kesalahan kita yang dimaafkan-Nya, bahkan kita akan tahu bahwa terlalu berlebihan kalau keimanan, amal ibadah dan kebaikan kita dibalas dengan surga yang luar biasa nikmatnya. Dengan hati yang bersih dan ilmu yang cukup juga akan memudahkan kita memahami mengapa Allah mengancam orang-orang tidak beriman dan yang buruk akhlaknya dengan neraka.


Memahami Allah dengan menggunakan kemampuan akal manusia adalah sia-sia, karena hakikat sifat-sifat Allah tidak dicerna oleh akal manusia, tapi oleh hati manusia. Hati manusia akan membantu kita memahami Allah, karena didalam hati bersemayam fitrah manusia yang salah satunya memiliki sifat-sifat cinta kepada Allah. Hatipun perlu dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran (sifat sombong, dengki, kikir, dsbnya) agar fitrah manusia bisa diaktifkan untuk memahami sifat-sifat Allah dengan baik.


Melalui pengenalan yang baik terhadap Allah melalui cara-cara yang diatur dalam Qur'an dan hadits, akan kita temukan bahwa Allah mensyaratkan aqidah Islam yang benar sebelum segala amal ibadahnya diterima. Aqidah adalah hal yang pokok yang membedakan Islam dengan agama lainnya. Aqidah adalah fondasi bangunan seorang umat Muslim, sedang ibadah (syariah) adalah dinding bangunan seorang Muslim, lalu akhlak adalah atapnya. Tanpa fondasi maka ia pun tidak bisa mendirikan bangunan diri seorang Muslim, tanpa aqidah yang benar dan lurus iapun tidak pantas disebut seorang Muslim. Tanpa ibadah yang sesuai syariah Islam, iapun belum sempurna untuk dikatakan sebagai sebuah bangunan yang bernama Muslim. Demikian pula, tanpa Atap yang bernama akhlak, bangunan yang bernama Muslim ini belum utuh dan akan mudah rusak oleh hujan dan panas.


Muslim yang baik wajib memiliki ketiga syarat ini (aqidah, ibadah dan akhlak) secara lengkap, tidak kurang satupun, dan harus sempurna. Bila aqidahnya salah, maka kekal lah ia di neraka, bila ibadah dan akhlak buruk maka ia 'mungkin' masih berpeluang masuk surga setelah di 'cuci' dulu di neraka. Semoga kita tidak termasuk sebagai orang yang di'cuci' dulu, apalagi kekal, di neraka. Selagi kita masih hidup di dunia ini, semoga kita diberi ilmu oleh Allah SWT mengenai kedahsyatan akhirat dan neraka, supaya kita tidak menggampangkan diri untuk menganggap bahwa di'cuci' di neraka adalah bukan masalah besar. Tidak untuk sedetikpun !


Setiap orang pasti pernah melakukan kemaksiatan dan kesalahan, padahal kita tidak tahu kapankah nyawa kita dicabut, oleh karena itu hendaklah kita berhati-hati jangan sampai nyawa kita dicabut saat kita sedang berlumur keburukan. Hendaklah kita segera bertaubat memohon ampunan kepada Allah swt, mengganti segala kemaksiatan ini dengan ibadah-ibadah yang diperintahkan oleh Allah, hingga kita meraih satu kemenangan husnul khatimah. Insya Allah.


Allah swt berfirman: Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Luqman: 34)


Bagaimanapun juga, setiap ketetapan Allah pastilah yang terbaik, semua ada pada kadar yang tepat dengan takaran yang sesuai, setiap skenario itu indah dengan jalan nya masing-masing, setiap ganjaran linear dengan kadar lelah dan kesungguhan yang menyertainya, karena sejatinya Allah swt adalah Sang Maha Adil.

Wallahu’alam. Semoga bisa menjadi pemantik atas ketidakpuasaanmu terhadap pertanyaan yang dulu sempat ditanyakan, untuk kemudian mencari ilmu lagi atas pertanyaan ini J

Regards,

Dani Ferdian
Bandung, 29 Desember 2011

Akhwat Itu...

Ketika ditanya tentang akhwat ideal, bagi saya ini tak jauh berbeda tentang bicara harapan. Ya, harapan dalam diri untuk kemudian melihat adik perempuan saya yang sedang tumbuh, seorang wanita yang Allah takdirkan untuk saya kelak, orang-orang terdekat, atau seluruh muslimah di muka bumi ini memiliki kesungguhan dan konsistensi (istiqamah) dalam menjalankan kaidah yang telah ditetapkan Nya, sehingga dengan hadirnya mereka saja itu sudah memberikan rahmat bagi semesta alam. Saya sebut ini harapan akan keshalihan. Karena sungguh keshalihan ini sangat mulia, akhwat shalihah di dunia ia akan menjadi cahaya bagi keluarganya dan berperan melahirkan generasi dambaan, dan jika ia wafat, Allah akan menjadikannya bidadari di surga. Kemuliaan akhwat shalihah digambarkan Rasulullah Saw. dalam sabdanya, "Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah". (HR. Muslim). Dialah bidadari bumi, dialah akhwat shalihah yang keberadaan dirinya lebih baik dan berarti dari seluruh isi alam ini. Dalam Al-Quran surat An-Nur: 30-31, Allah Swt. memberikan gambaran akhwat shalihah sebagai wanita yang senantiasa mampu menjaga pandangannya. Ia selalu taat kepada Allah dan Rasul Nya. Make up- nya adalah basuhan air wudhu. Lipstiknya adalah dzikir kepada Allah. Celak matanya adalah memperbanyak bacaan Al-Quran.


Shalihah atau tidaknya seorang akhwat bergantung ketaatannya pada aturan-aturan Allah. Aturan-aturan tersebut berlaku universal, bukan saja bagi mereka yang selama ini kita panggil ‘akhwat’, tapi juga untuk semua kaum hawa dengan berbagai terminologi yang biasa kita gunakan saat ini (wanita, perempuan, cewek, dsb). Dengan berbagai terminologi yang ada saat ini, apakah akhwat, perempuan, wanita, dsb, bagi saya itu sama saja. Toh Allah ciptakan dua jenis kelamin di muka bumi ini, laki-laki, dan perempuan. Dengan berbagai terminologi yang ada tersebut, sebenarnya semua hak dan kewajiban, serta kaidah yang mengatur mereka tetaplah sama, tak ada yang menjadikan salah satu diantaranya mendapat keringanan. Terminologi itu hadir atas pandangan kita tentang tingkat kesadaran kaum hawa tersebut dalam komitmen nya menjalankan kaidah yang telah Allah tetapkan.


Ini pandangan saya tentang akhwat dari pemahaman yang saya miliki saat ini. Mungkin lebih tepat saya ucap, harapan tentang sikap dan perilaku akhwat untuk kemudian terwujud dalam karakternya. Dimulai dari penampilan, berbaju panjang dan berjilbab lebar nampak bukan hal yang berlebihan, atau ekstrimis seperti yang sebagian orang katakan. Sadarkah kita, bahwa berpakaian seperti itu menandakan keterjagaan akan aurat dan penjagaan diri dan orang disekitarnya dari yang bukan hak nya? Perlu kita sadari, bahwa banyak mata yang sulit diajak kompromi, sulit bagi sebagian kita mengontrol mata ini mulai dari keluar pintu rumah sampai kembali masuk rumah lagi. Dengan menjaga penampilan seperti itu, menjadikan kita hidup dengan pemandangan yang membuat kita tenang, dan menjadikan orang yang mengenakan nya menjadi sosok yang anggun mempesona, sejuk di mata. Berbaju panjang dan berjilbab lebar, bagi akhwat itulah yang membuat dirinya dan keluarganya dihargai dan dihormati. Semua orang akan dipanggil untuk melihat wajah Allah yang Maha Indah di akhirat nanti, tetapi bagi Allah sendiri akan datang untuk berjumpa dengan wanita yang istiqamah menutup auratnya.


Kita harus sadar betul bahwa kemuliaan akhwat bersumber dari kemampuannya menjaga diri (iffah). Namun bukan berarti menjadi akhwat tak murah senyum, atau bahkan tak pandai bergaul. Bagi akhwat, senyumpun adalah shadaqah. Namun, senyumnya tetap proporsional. Tidak setiap laki-laki yang dijumpainya diberikan senyuman manis. Senyumnya adalah senyum ibadah yang ikhlas dan tidak menimbulkan fitnah bagi orang lain. Menjadi akhwat justru harus pintar dalam bergaul. Dengan pergaulan itu, ilmunya akan terus bertambah. Ia akan selalu mengambil hikmah dari orang-orang yang ia temui. Kedekatannya kepada Allah semakin baik dan akan berbuah kebaikan bagi dirinya maupun orang lain. Menjadi akhwat berarti senantiasa berupaya memperhatikan kualitas kata dalam bergaul. Centil, suka jingkrak-jingkrak, dan menjerit-jerit saat mendapatkan kesenangan tentu bukan pilihan, jauh dari gosip-menggosip, lisan dan semua perbuatannya senantiasa terjaga dari hal yang sia-sia. Berani menjadi akhwat berarti berani menjaga setiap tutur kata agar bernilai penuh makna. Menjaga akhlak dalam bergaul mutlak menjadi keharusan.


Salah satu ciri bahwa imannya kuat adalah kemampuannya memelihara rasa malu. Dengan adanya rasa malu, segala tutur kata dan tindak tanduknya selalu terkontrol. Ia tidak akan berbuat sesuatu yang menyimpang dari bimbingan Al-Quran dan Sunnah. Ia sadar bahwa semakin kurang iman seseorang, makin kurang rasa malunya. Semakin kurang rasa malunya, makin buruk kualitas akhlaknya.


Menjadi akhwat berarti juga memahami soal bagaimana merawat dan menjaga diri. Sadar dan memahami bahwa kecantikan fisik penghangat kebahagiaan, kebersihan jiwa dan nurani selalu bersama dengan keinginan yang kuat untuk merawat diri. Kecantikan diri ini tentunya harus dijaga, agar tidak menjadi fitnah bagi orang lain. Kecantikan satu saat bisa jadi anugerah yang bernilai. Tapi jika tidak hati-hati, kecantikan bisa jadi sumber masalah yang akan menyulitkan pemiliknya sendiri. Saat mendapat keterbatasan fisik pada dirinya, seorang akhwat tidak akan pernah merasa kecewa dan sakit hati. Ia yakin bahwa kekecewaan adalah bagian dari sikap kufur nikmat. Dia tidak akan merasa minder dengan keterbatasannya. Pribadinya begitu indah sehingga make up apa pun yang dipakainya akan memancarkan cahaya kemuliaan. Bahkan, kalaupun ia "polos" tanpa make up sedikit pun, kecantikan jiwanya akan tetap terpancar dan menyejukkan hati orang-orang di sekitarnya.


Menjadi akhwat juga tak berarti ketinggalan jaman, karena justru kesehariannya selalu bersama dengan ilmu pengetahuan. Mereka tangguh menjadi seorang pembelajar, mereka tidak gampang menyerah jika harus terbentur dengan kondisi akademik. Mereka adalah orang-orang yang tahu dengan sikap profesional dan bagaimana menjadi orang-orang yang siap untuk sebuah perubahan. Perubahan bagi mereka adalah sebuah keniscayaan, untuk itu mereka telah siap dan akan selalu siap bertransformasi menjadi wanita-wanita hebat yang akan memberikan senyum bagi dunia.


Menjadi akhwat tentunya pun lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca Al-Qur’an dibanding ke salon, lebih sering menghabiskan hari dari kajian ke kajian dibanding jalan-jalan ke mal. Sebagian besar waktunya tertunaikan untuk hajat orang banyak, untuk perubahan bagi lingkungannya, dibanding kumpul-kumpul bersama teman sebaya mereka sambil berdiskusi yang tidak penting. Seringnya membaca Al Qur’an akan memudahkan hati mereka untuk jauh dari dunia, dan jiwa yang tak pernah terpaut dengan dunia akan menghabiskan harinya untuk memperdalam cintanya pada Allah. Mereka akan menjadi orang-orang yang lapang jiwanya, meski materi tak mencukupi mereka, kelak mereka menjadi orang yang paling rela menerima pemberian suami, apapun bentuknya, karena dunia bukanlah tujuannya. Mereka akan dengan mudah menyisihkan sebagian rezekinya untuk kepentingan orang banyak dibanding menghabiskannya untuk diri sendiri. Kesucian ini, hanya akan dimiliki oleh mereka yang terbiasa dengan Al Qur’an, terbiasa dengan majelis-majelis ilmu, terbiasa dengan rumah-Nya.


Menjadi akhwat berarti menjadi pribadi yang sangat mencintai Allah dan RasulNya melebihi apapun, tidak lepas dari dunia da’wah (minimal di lingkungan sekitar tempat tinggalnya), tidak ingin dikenal-kecuali diminta/didesak oleh jama’ah (masyarakat), punya amalan ibadah harian, mingguan dan bulanan, hidupnya sederhana namun tetap menarik dan bermanfaat buat orang lain, dikenal sebagai orang yang baik hati, sangat berbakti terhadap orang tua, sangat hormat kepada yang lebih tua dan sangat sayang terhadap yang lebih muda, sangat disiplin dengan shalat fardunya, rajin shaum sunnah dan qiyamullail & atau bisa jadi amalan ibadah terbaiknya disembunyikan dari mata orang-orang yang mengenalnya, rajin memperbaiki istighfarnya, rajin mendoakan saudara-saudaranya terutama yang sedang dalam keadaan kesulitan atau sedang terdzolimi secara terang-teranganan/tersembunyi, rajin bersilaturahim, rajin menuntut ilmu -mengaji- /minimal rajin hadir di majlis ilmu dan mendengarkannya, senantiasa menambah/memperbaiki ilmunya dan menyampaikan semua ilmu yang ia ketahui setelah terlebih dahulu ia mengamalkannya, rajin membaca Alqur’an atau hadits dan buku-buku yang bermanfaat, pintar/kuat hafalannya, sangat selektif soal makanan/minuman yang ia konsumsi, sangat perhatian terhadap kebersihan dan sangat disiplin sekali soal thaharah.


Menjadi akhwat juga berusaha untuk senantiasa istiqamah, tegar, tidak takut/bersedih hati hingga berlarut-larut melainkan sebentar (wajar), pandai menghibur dan pandai menutupi aib/kekurangan dirinya dan orang-orang yang ia kenal, mudah memaafkan kesalahan/kekeliruan orang lain tanpa diminta dan tanpa dendam, ringan tangan untuk membantu sesama, mudah berinfak (bershadaqah), ikhlas, jauh dari riya, ujub, takabur dan tidak emosional, cukup sensitif tapi tidak terlalu sensitif (tidak mudah tersinggung), selalu berbuat ihsan dan muraqobatullah (selalu merasa dekat dan selalu merasa diawasi oleh Allah SWT baik di saat ramai maupun di saat sendirian), selalu berhusnudzon kepada setiap orang, benar-benar berkarakter jujur (shiddiiq), amanah dan selalu menyampaikan yang haq dengan caranya yang terbaik (tabligh), pantang mengeluh/berkeluh kesah, sangat dewasa dalam menyikapi problematika kehidupan, mandiri, selalu optimis, terlihat selalu gembira dan menentramkan, hari-harinya tidak lepas dari perhitungan (muhasabah) bahwa hari ini selalu ia usahakan lebih baik daripada kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini, dan senantiasa pandai bersyukur atas segala ni’mat (takdir baik) serta senantiasa sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan (takdir buruk) dalam segala keadaan. Kapan pun dan di manapun.


Hidup menjadi seorang akhwat pun adalah sebuah totalitas untuk berkarya di hadapan-Nya. Bersama dengan siapapun selama mendatangkan manfaat adalah kepribadian mereka. Mereka menjaga dan memperjuangkan kaumnya. Kesederhanaan, kepolosan, dan hati nya membuat mereka menjadi seorang manusia sosial yang lebih utuh dari wanita di manapun. Mereka akan tetap bisa berbaur, tapi bukan melebur. Mereka yang akan mewarnai, bukan terwarnai.


Untuk menjadi akhwat shalihah, maka belajarlah dari lingkungan sekitar dan orang-orang yang kita temui. Ambil ilmunya dari mereka. Bahkan kita bisa mencontoh istri-istri Rasulullah Saw. seperti Aisyah. Ia terkenal dengan kekuatan pikirannya. Seorang istri seperti beliau bisa dijadikan gudang ilmu bagi suami dan anak-anak. Contoh pula Siti Khadijah, figur istri shalihah penentram batin, pendukung setia, dan penguat semangat suami dalam berjuang di jalan Allah Swt. Beliau berkorban harta, kedudukan, dan dirinya demi membela perjuangan Rasulullah. Begitu kuatnya kesan keshalihahan Khadijah, hingga nama beliau banyak disebut-sebut oleh Rasulullah walau Khadijah sendiri sudah meninggal. Belajar dari Khadijah, Aisyah maupun Fatimah, bahwa akhwat itu makhluk yang luar biasa, penerus kehidupan. Dari kelembutan hatinya, ia sanggup menguak gelapnya dunia, menyinari dengan cinta. Dari kesholehannya akhlaknya, ia sanggup menjaga dunia dari generasi-generasi hina dengan mengajarkannya ilmu dan agama. Dari kesabaran pekertinya, ia sanggup mewarnai kehidupan dunia, hingga perjuangan itu terus ada.


Bisa jadi akhwat shalihah muncul dari sebab keturunan. Seorang pelajar yang baik akhlak dan tutur katanya, bisa jadi gambaran seorang ibu yang mendidiknya menjadi manusia berakhlak. Sulit membayangkan, seorang akhwat shalihah tiba-tiba muncul tanpa didahului sebuah proses. Di sini, faktor keturunan memainkan peran. Begitu pun dengan pola pendidikan, lingkungan, keteladanan, dan lain-lain. Apa yang tampak, bisa menjadi gambaran bagi sesuatu yang tersembunyi. Banyak wanita bisa sukses. Namun tidak semua bisa shalihah. Shalihah atau tidaknya seorang wanita bergantung ketaatannya pada aturan-aturan Allah. Bertemanlah dengan orang-orang yang akan menambah kualitas ilmu, amal, dan ibadah kita. Ada sebuah ungkapan mengatakan, "Jika kita ingin mengenal pribadi seseorang maka lihatlah teman-teman di sekelilingnya. "


Peran akhwat shalihah sangat besar dalam keluarga, bahkan negara. Kita pun sering mendengar bahwa di belakang seorang pemimpin yang sukses ada seorang wanita yang sangat hebat. Jika akhwat shalihah ada di belakang para lelaki di dunia ini, maka berapa banyak kesuksesan yang akan diraih. Wanita adalah tiang Negara. Bayangkanlah, jika tiang penopang bangunan itu rapuh, maka sudah pasti bangunannya akan roboh dan rata dengan tanah. Tidak akan ada lagi yang tersisa kecuali puing-puing yang nilainya tidak seberapa.


Kita tinggal memilih, apakah akan menjadi tiang yang kuat atau tiang yang rapuh? Jika ingin menjadi tiang yang kuat, kaum hawa harus terus berusaha menjadi akhwat shalihah dengan mencontoh pribadi istri-istri Rasulullah. Dengan terus berusaha menjaga kehormatan diri dan keluarga, maka pesona akhwat shalihah akan melekat pada diri kaum wanita kita.


Menjadi akhwat adalah pilihan. Bukan engkau yang memilihnya, tapi Allah yang memilihkannya untukmu. Allah penggenggam segala ilmu, sebelum Ia ciptakan dirimu, Ia pasti punya pertimbangan khusus, hingga akhirnya saat kau lahir kedunia, Ia menjadikanmu seorang akhwat. Tidak main-main Allah mengamanahkan ini padamu. Karena seharusnya dirimu tahu, bahwa akhwat adalah makhluk yang luar biasa, yang dari rahimnya bisa terlahir manusia semulia Rasulullah atau manusia sehina Fir'aun.


Selalu ada ganjaran atas setiap kesungguhan yang kita lakukan dalam kebaikan, begitupun menjadi akhwat shalihah, syurga menjadi ganjaran yang pantas untuk diberikan. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi S.A.W. bersabda : "Seorang wanita yang mengerjakan solat 5 waktu, berpuasa wajib sebulan, memelihara kemaluannya serta taat kepada suaminya maka pasti dia akan masuk syurga dari pintu mana saja yang dikehendakinya. "
(HR Abu Nuaim)


Tak kan ada kemuliaan tanpa penjagaan, tanpa ikhtiar, tanpa pembekalan, tanpa pemahaman. Realita itu ada tanpa diminta, sedangkan Idealisme ada karena diperjuangkan.


Wallahu’alam.


Bandung, 30 November 2011
22:16 pm

#daniferdian