Kedokteran : Bersakit-Sakit Dahulu, Sulit Kemudian.

Aku masih ingat betul, dulu untuk berada di jalan ini, setidaknya aku harus menyisihkan 50 orang lebih, bahkan diantaranya adalah teman dekatku sendiri, rekan seperjuangan. Pasalnya hanya sekitar 100 kursi yang tersedia dari 5000 orang lebih yang mendaftar di fakultas yang kata kebanyakan orang 'bergengsi' ini, Fakultas Kedokteran. Dengan otak dan kemampuan ekonomi yang pas-pasan, berjibaku di pertarungan ujian ini bagiku sangat melelahkan. Palpitasi, keringat dingin, khawatir berlebih terkadang membersamai moment-moment pra maupun pasca ujian saringan masuk perguruan tinggi ini. Satu awalan sulit, yang akhirnya telah kulewati.

Euphoria akhirnya sempat kurasakan tatkala perjuangan ini membuahkan hasil. 260143 muncul dilayar monitor komputer tanda kelulusan ku di ujian saringan masuk Fakultas Kedokteran yang aku pilih. Euphoria menjadi mahasiswa baru kedokteran, namun sayang tak berlangsung lama. Aku masih ingat betul, hari-hari ku kemudian ditemani textbooks tebal berbahasa inggris, yang terkadang isinya pun sulit aku pahami. Learning issue hampir 3 kali seminggu menghidupkan suasana kamar ku tiap malam nya. Modul-modul laboratorium dan skill lab berbahasa inggris selalu minta dipahami. Belum lagi soal ujian berbahasa inggris nya ditiap 3 bulan dan 6 bulan sekali. Tak tanggung-tanggung, bisa sampai 200 soal berbahasa inggris dikeluarkan, hanya diberi waktu 1 menit aku mengerjakan setiap soalnya. Pantas saja ujian TOEFL diatas 550 menjadi syarat wajib kenaikan tingkatku. Untung saja di ujian ke 3 aku bisa lulus dulu.

Satu lagi yang aku masih ingat betul, ujian lisan. Hampir sekitar 36 kasus yang dipelajari selama satu tahun diujikan dalam waktu 20 menit oleh dua dokter penguji. Dan yang membuat mahasiswa di angkatanku hampir depresi adalah ketika kami harus menghadapi kenyataan, bahwa 50 % nilai kami di tahun itu ditentukan oleh ujian tersebut. Belum lagi ujian praktik yang harus dihadapi, hampir 36 keterampilan klinis yang dipelajari selama setahun, diujikan di 15 stasiun dan harus lulus semua. Gagal di ujian ini setelah satu kali kesempatan remedial membuat kami tak bisa naik ke tingkat selanjutnya. Berbeda dengan fakultas lain, jika kau tak lulus satu mata kuliah, bukan hanya mata kuliah itu saja yang kau ulang, melainkan seluruh mata kuliah. Ibarat tak naik kelas saja ketika masa SMA dulu.

Ada lagi yang masih aku ingat betul, menjadi mahasiswa tingkat akhir. Mungkin kau tahu, di fakultas lain mahasiswa tingkat akhir tentunya akan fokus dengan tugas akhir atau skripsinya. Begitupun dengan kami, hanya saja beda nya, ketika mahasiswa fakultas lain sudah tak ada mata kuliah yang diambil, aku dan kawan-kawan ku masih ada kuliah, tugas, maupun ujian. Belum lagi bulak-balik Bandung-Jatinangor untuk bimbingan berasa jadi warna yang semakin melengkapi. Semacam tingkat terjenuh dalam hidup dihadapi disini.

Sulit kedua aku temui, tentang bagaimana bertahan menjalani proses pendidikan, apalagi untuk mendapatkan hasil memuaskan, "dengan pujian" di wisuda Sarjana Kedokteran.

Masih ada yang aku ingat betul, kali ini tentang aktivitas sosial dan jadwal liburan. Serempak hampir sama kawan-kawan ku di fakultas maupun universitas lain memasuki jadwal libur, rencana backpaker-an, reuni, atau sekadar jalan-jalan banyak mereka persiapkan. Giliran aku mendapat ajakan, kedokteran sedang memasuki fase ujian. Akhirnya hanya bisa berujar selamat jalan dan mengucap salam, cukup menyedihkan memang. Giliran aku libur, waktunya mereka untuk kembali memulai masa perkuliahan, nasib memang. Belum lagi dilema yang dihadapi ketika diamanahi jabatan kemahasiswaan di tingkat Universitas, terkadang rapat ditemani bahan ujian, atau bahkan harus mendelegasikan tugas untuk advokasi ke pihak rektorat karena harus ujian. Ada lagi yang juga aku ingat betul, tentang izin meninggalkan perkuliahan. Hanya 80 % dengan alasan sakit yang disertai surat dokter, acara keluarga, atau ditugaskan pihak Fakultas. Lebih dari itu, atau izin melanggar syarat tersebut, silahkan untuk tak diperkenankan mengikuti ujian, dan kembali mengulang tahun depan.

Sulit selanjutnya yang aku temui, tentang bagaimana menjaga performa sebagai makhluk sosial, bersinergi dengan yang lain, dan menjaga keseimbangan antara akademik dengan aktivitas kemahasiswaan.

Sulit memang, namun bukan berarti tak bisa dilewati. Gelar Sarjana Kedokteran yang membersamai namaku seolah menjadi bukti kesungguhan, bahwa sulitnya proses pendidikan bisa diselesaikan. Euphoria kembali dirasakan, Graha Sanusi seolah jadi saksi bisu perayaan aku dan ratusan wisudawan lain nya . Ucapan selamat dari belasan rekan yang sengaja hadir, dan rangkaian bunga yang juga kuterima semakin membuat khidmat suasana. Terlihat di wajah rekan dari fakultas lain binar mata menjemput masa depan, melanjutkan sekolah S2 atau mencari pekerjaan. Sementara tak lama kemudian, aku harus kembali menghadapi kenyataan, untuk menjadi relawan kemanusiaan, dalam misi pendidikan. (baca: koas, atau dokter muda.)

Masih aku ingat betul, tak lama setelah prosesi wisuda, satu per satu rekan satu angkatan dari fakultas lain sudah mendapatkan pekerjaan. Bahkan beberapa diantaranya sudah memberikan undangan pernikahan. Harus gigit jari, berkaca pada diri yang masih disubsidi penuh oleh keluarga. Sulit lain yang kemudian dirasakan, ketika materi masih jadi bahan pertimbangan utama dalam berkegiatan, ketika membahagiakan orang tua masih jadi harap dan doa terbesar yang masih aku janjikan , ketika harus bersabar untuk melamar gadis yang disukai, atau bahkan mungkin contoh ekstremnya ketika harus merelakan seseorang yang kita harapkan didahului dilamar orang.

Akupun masih ingat betul, dengan peran dokter muda yang dijalankan, tanggung jawab semakin besar harus ditunaikan. Follow Up pasien, ikut operasi, ikut jaga poliklinik, belum lagi bed site teaching, ngerjain laporan kasus, bikin referat, kuliah, dan masih tetap ada ujian. Nilai minimum harus B, kurang dari itu, silahkan mengulang. Belum lagi ada jaga malam IGD maupun Ruangan, masuk koas biasa jam 7 sampai jam 4 sore, lanjut jaga malam dari jam 4 sore sampai jam 6 pagi esoknya, kemudian lanjut aktivitas esoknya sampai jam 4 sore lagi. Begitu ritme hidup ku ketika memasuki jadwal jaga, ibarat jadi zombie keesokan nya. Belum lagi ketika harus ditempatkan di jejaring, bisa di Cibabat, Ujung Berung, Garut, Sumedang, Majalaya, Subang, bahkan mungkin nanti sampai Rancabuaya.

Akupun masih ingat betul, bahwa libur jadi barang langka disini. Tanggal merah, atau weekend bisa kita nikmati jika tak ada jadwal jaga. Libur hanya seminggu setiap 6 bulan sekali, itupun jika tak ada remedial ataupun prolong karena terkena hukuman. Belum lagi izin, tak diperkenankan izin disini, bahkan sakit lebih dari 3 hari dengan surat sakit dari rumah sakit pendidikan yang bersangkutan pun membuat kita harus kembali mengulang bagian yang ditinggalkan.

Sulit yang lain kembali ditemukan, solusi paling tepat tak lain dan tak bukan semata menjaga keseimbangan fisik, mental, pikiran, dan rohani aku pikir.

Akupun masih ingat betul, dengan cerita yang kudengar dan kubaca ketika menjadi dokter kelak. Gaji dokter umum yang dibilang minim, seolah tak sebanding dengan beban kerja yang dipikulnya. Belum lagi jika kita bandingkan dengan gaji para insinyur teknik yang mungkin besarnya bisa berapa kali lipatnya, apalagi jika dibandingkan dengan pengusaha.

Untuk dokter yang ke daerah, aku pun pernah mendengar beberapa kisah nyata yang dialami para pendahulu. Salah seorang alumnus almamater ku di Papua, di daerah konflik, pernah disuguhi tombak oleh penduduk sekitar ketika menjalankan misi pengabdian nya. Berawal dari salah seorang anggota suku yang bertikai, ketika ia terluka terkena parang, secara beramai-ramai ia dibawa ke dokter tersebut. Sambil membawa anggota nya yang terluka, salah seorang anggota suku lain sempat berujar seperti ini ke dokter tersebut, "Jika teman saya mati, dokter tak bisa menolong, maka dokter pun harus mati!". Anggota lain sudah bersiap dengan tombaknya di sekeliling dokter tersebut. Peralatan medis disana terbatas, apalagi ketika didatangi ke rumah seperti itu. Akhirnya, sambil menangis sang dokter mempersiapkan alat seadanya, jarum jahit pakaian, benang jahit pakaian, air hangat, dan api. Sambil berderai air mata, sang dokter memanaskan jarum jahit itu ke api, memasukan benang ke air hangat, lalu mulai membersihkan dan menjahit luka orang yang terluka tersebut menggunakan alat seadanya, jarum dan benang jahit pakaian. Alhamdulillah orang yang terluka tadi selamat, dan dokter itu pun selamat.

Tak usah jauh-jauh ke Papua, di daerah Jawa Barat saja, Sumedang. Aku mendengar cerita langsung dari seorang dokter yang mengalami kejadian ini. Bertugas di sebuah pedalaman, hutan di Sumedang. Pada saat itu sedang santer-santer nya isu terkait dukun "teluh", atau dalam bahasa Indonesia nya dukun santet. Tak ada seorang pun yang berani pada dukun "teluh" saat itu, bahkan kapolsek atau camat setempat pun. Sampai akhirnya suatu ketika, terdapat kejadian salah seorang yang dianggap dukun santet meninggal, ditusuk menggunakan linggis di daerah wajahnya. Tak ayal, tengah malam, sang dokter dibawa ke tengah hutan untuk memeriksa jenazah korban, sendirian. Karena warga sekitar tak ada yang berani menghampiri dukun "teluh" itu, walau hanya sekadar mendekati jenazahnya.

Aku pun masih ingat betul, kejadian akhir-kahir ini, terkait seorang dokter spesialis, konsultan, di sebuah kota besar dan rumah sakit pendidikan pula. Operasi usus buntu seorang artis, pemain band, yang berujung tuntutan mal praktik karena mungkin ada sedikit kekeliruan dalam hal komunikasi. Ini mungkin salah satu cerita dari sekian banyak kejadian yang terjadi.

Entahlah, jika kembali ditelaah, ditelusuri dan dipikirkan. Proses menjadi dokter selalu tak luput dari kesulitan, dimulai dari sulit untuk bisa masuk Fakultas Kedokteran, sulit untuk belajar ketika menjalani proses pendidikan S1 nya, sulit ketika menghadapi program profesi dokter, sulit ketika menjadi dokter umum, baik itu di daerah, maupun di kota besar, bahkan sulit ditemukan walaupun sudah menjadi seorang dokter konsulen. Sulit memang.Bahkan untuk sekadar membayangkan nya pun, aku yakin sebagian dari kita memiliki kesulitan.

Tapi ingatlah kawan, bahwa sulit tak selamanya sulit, sebagaimana mudah tak selamanya mudah. Hanya saja yang dikhawatirkan kesulitan punya nafas lebih panjang dibandingkan semangat kita untuk mengalahkan nya. Sadari benar bahwa bersama kesulitan ada kemudahan, sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al Insyiraah ayat 6 yang artinya:


Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Menjadi hamba Allah adalah suatu kepastian. Menjadi mahasiswa kedokteran, dokter muda, atau menjadi dokter adalah pilihan hidup untuk menjemput takdir sejarah kita. Menjadi aktivis, giat berkontribusi untuk umat adalah saringan alami untuk membuktikan pada dunia bahwa kita adalah hamba yang berbeda dari kebanyakan hamba yang Allah ciptakan. Seperti yang dikatakan Shalahudin al-Ayubi, memang bukan kita yang memilih takdir. Takdirlah yang memilih kita. Tapi bagaimanapun, takdir bagaikan angin bagi seorang pemanah. Kita selalu harus mencoba untuk membidik dan melesatkannya di saat yang paling tepat. Jangan sampai takdir hidup kita tak pernah sampai pada tujuan, jangan sampai mimpi kita terlalu sederhana, dan perjalanan cita-cita sangat lamban dan tidak menghantarkan. Cita-cita punya syarat penuainya, begitupun harapan dan keinginan punya harga amalnya. Kesungguhan mutlak jadi penuainya, dan tekad adalah pengantarnya. Karena ketika pikiran memberikan kita arah, tekadlah yang mendorong kita untuk melangkah, ketika pikiran menerangi jalan kehidupan kita, tekadlah yang meringankan kaki kita menjalaninya. Menjadi apapun kita saat ini, mulai awali dengan tekad untuk mencapainya.

Kesulitan, jenuh, dan menghadapi berbagai permasalahan itu fitrah. Menghadapi kenyataan pahit itu perlu. Karena terkadang manis itu dilalui setelah pahit kita lewati. Menghadapi kenyataan pahit saat ini bisa jadi sebuah pembelajaran, seolah menjadi jeda, untuk kita berbenah, untuk kita mengambil hikmah. Ibarat hujan, akan ada pelangi indah yang kita nantikan. Dan yakinlah kawan, bahwa pertolongan Allah itu hadir sesuai dengan kadar ujian yang Ia berikan.
Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya pertolongan itu datang dari Allah SWT pada seorang hamba sesuai dengan kadar ujiannya dan kesabaran itu diberikan oleh Allah SWT kepada seorang hamba sesuai dengan musibahnya."
—HR. Baihaqi
Kesulitan seolah menjadi teman yang membersamai proses menjemput takdir sejarah dokter kita. Untuk itu, keberaniaan nampak menjadi penawarnya. Jangan sampai kesulitan membuat kita patah karena lelah. Akan tetapi, tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Sebab kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri. Risiko adalah pajak keberanian. Dan hanya kesabaran yang dapat menyuplai seorang pemberani dengan kemampuan untuk membayar pajak itu terus-menerus. Di dalam kesabaran terdapat banyak kebaikan, dibalik kesabaran ada kemenangan.

Kesulitan yang senantiasa membersamai ini seolah menjadi tantangan yang perlu dilewati untuk kemudian kita nikmati ganjaran nya sesuai dengan kadar lelah yang sudah kita kerjakan. Alasan yang membuatku bertahan di jalan ini hingga kini adalah karena disini aku temukan banyak jalan untuk berbagi. Semangat berbagi ini adalah bukti keluhuran jiwa. Konteksnya bukan lagi memenuhi kewajiban, melainkan diatas itu, berbagi lebih mencerminkan rasa syukur, semangat berbakti, dan semangat untuk tidak menjadi mercusuar di tengah kondisi kurang beruntung yang dialami orang lain.

Berada di jalan ini, sampai saat ini telah memberikan kesempatan bagiku bersama beberapa rekan dan mitra lain nya untuk memberikan pengobatan gratis untuk ribuan orang di berbagai tempat, memberikan bantuan medis dalam fase tanggap bencana hampir di setiap bencana yang terjadi terutama di wilayah Jawa Barat, juga menjalankan recovery dan rehabilitasi setelahnya. Selain itu berbagai upaya promotif preventif berupa edukasi kesehatan melalui penyuluhan telah dilakukan untuk ribuan orang di berbagai tempat dan berbagai kalangan, mulai dari murid TK hingga masyarakat lanjut usia. Pendampingan medis untuk berbagai lembaga, organisasi, dan kegiatan atau acara kerap dilakukan. Pembinaan kesehatan menjadi agenda yang diperhatikan, pembuatan kurikulum kesehatan dan monitoring kesehatan ratusan anak jalanan, hingga pemberdayaan masyarakat melalui optimalisasi kader telah dilakukan. Pelatihan kesehatan pun telah dilakukan untuk ribuan orang dari berbagai kalangan di berbagai kegiatan, dengan beragam materi kesehatan. Memeriksa kesehatan ribuan orang, mulai dari kalangan siswa pendidikan anak usia dini (PAUD), pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat lansia juga telah dilakukan, dan pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut untuk ribuan murid PAUD hingga siswa SD menjadi agenda yang masih dilakukan hingga kini. Berada di jalan ini bagiku memberi kesempatan untuk bisa menciptakan senyum, menjawab harap, dan menghadirkan doa pada ribuan masyarakat di Indonesia.

Selalu ada kemudahan dibalik kesulitan, selalu ada kelapangan dibalik kesusahan, selalu ada ganjaran atas setiap kadar lelah yang dilakukan, selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian, dan selalu ada bahagia dibalik syukur dan sabar yang dihadirkan.

Dunia kedokteran, ibarat bersakit-sakit dahulu, sulit kemudian. Tapi sekali lagi yakinlah, bahwa ganjaranmu tergantung kadar lelahmu. Ada ganjaran dari setiap sakit dan sulit yang dilewati. Semakin tinggi resiko dan tingkat kesulitan nya, semakin banyak hikmah dan berkah yang kita peroleh di dalamnya. Ingatlah bahwa segala puncak prestasi harus teruji, begitupun menjadi ahli surga harus terbukti di dalam kesungguhan dan kesabaran menghadapi ujian hidup di Jalan Nya. Pahala Allah tidak pernah salah, bagaimanapun niat dan langkah untuk beramal Islami, selalu ada surga dibalik itu.

Selamat menjalankan sisa usia, menjemput keberkahan dalam setiap kesulitan yang dihadapi. Selamat menyehatkan bangsa dengan sehat seutuhnya, terciptanya kondisi fisik, mental, dan ruhani yang baik, yang mampu produktif secara ekonomi maupun sosial. Dan seperti yang dikatakan (alm) KH Rahmat Abdullah, teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu. Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu. Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu. Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.Teruslah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.

Benarkah dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram?

“…Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar Ra’d, 13:28).

Sangat miris, ketika ayat diatas seolah normatif bagi kebanyakan kita, padahal itulah janji Allah. Ya sekali lagi memang nampak normatif ketika kita mencoba memberi solusi kepada diri maupun orang lain yang kita pedulikan atas kecemasan, kekhawatiran atau ketakutan akan masalah yang mereka hadapi dengan ayat tersebut.

Ingin rasanya aku tunjukkan fakta-fakta dari dunia medis maupun psikologis tentang kebenaran janji Allah pada ayat tersebut. Agar kemudian ini tak hanya menjadi wacana normatif saja.

Dalam sebuah pengkajian yang diterbitkan dalam International Journal of Psychiatry in Medicine, sebuah sumber ilmiah penting di dunia kedokteran, dilaporkan bahwa orang yang mengaku dirinya tidak berkeyakinan agama menjadi lebih sering sakit dan mempunyai masa hidup lebih pendek. Menurut hasil penelitian tersebut, mereka yang tidak beragama berpeluang dua kali lebih besar menderita penyakit usus-lambung daripada mereka yang beragama, dan tingkat kematian mereka akibat penyakit pernapasan 66% lebih tinggi daripada mereka yang beragama.

Menurut penelitian lain, yang dikemukakan oleh David B Larson dan timnya dari The American National Health Research Center [Pusat Penelitian Kesehatan Nasional Amerika], pembandingan antara orang Amerika yang taat dan yang tidak taat beragama telah menunjukkan hasil yang sangat mengejutkan. Sebagai contoh, dibandingkan mereka yang sedikit atau tidak memiliki keyakinan agama, orang yang taat beragama menderita penyakit jantung 60% lebih sedikit, tingkat bunuh diri 100% lebih rendah, menderita tekanan darah tinggi dengan tingkat yang jauh lebih rendah.

Penelitian yang mencakup banyak segi tentang hubungan antara keyakinan agama dan kesehatan jasmani yang dilakukan oleh Dr. Herbert Benson dari Fakultas Kedokteran Harvard juga telah menghasilkan kesimpulan yang mencengangkan. Walaupun bukan seorang yang beragama, Dr. Benson telah menyimpulkan bahwa ibadah dan keimanan kepada Allah memiliki lebih banyak pengaruh baik pada kesehatan manusia daripada keimanan kepada apa pun yang lain. Benson menyatakan, dia telah menyimpulkan bahwa tidak ada keimanan yang dapat memberikan banyak kedamaian jiwa sebagaimana keimanan kepada Allah. Apa yang mendasari adanya hubungan antara keimanan dan jiwa raga manusia ini? Kesimpulan yang dicapai oleh sang peneliti sekuler Benson adalah, dalam kata-katanya sendiri, bahwa jasmani dan ruhani manusia telah dikendalikan untuk percaya kepada Allah.

Patrick Glynn juga mengungkapkan bahwa penelitian ilmiah di bidang psikologi selama lebih dari 24 tahun silam telah menunjukkan bahwa keyakinan agama adalah satu di antara sejumlah kaitan paling serasi dari keseluruhan kesehatan jiwa dan kebahagiaan.

Mungkin bahasan diatas nampak masih general dan superficial, seolah menunjukkan bahwa dengan beragama apapun, asalkan kita beragama kita akan memperoleh ketenangan. Aku ingin ambikan contoh seperti ini, seseorang akan bersih jika ia rutin berwudhu (bersuci dari hadas kecil), kendatipun ia bukan muslim benar? Demikian pula ia akan meraih kebaikan jika ia praktekkan perilaku-perilaku ibadah seperti berfikir, khusyuk dan merenung, karena ia mengoperasikan pusat-pusat yang mirip dengan pusat-pusat keimanan dalam otak yang bekerja untuk rileksasi dan terlepas dari perasaan-perasaan negatif seperti ketakutan, kegelisahan, dan stress. Saat itulah seseorang berpindah dari kondisi keterasingan dan kesendirian kepada kondisi rileks dan tenang, kendatipun ia tidak mendapatkan jatah akhirat (karena tidak beriman kepada Allah swt).

Perlu digaris bawahi disini yang pertama adalah bahwa mereka tidak mendapatkan jatah akhirat (karena tidak beriman kepada Allah swt) dan bahwa mereka melakukan perilaku-perilaku ibadah seperti berfikir, khusyuk dan merenung, untuk mengoperasikan pusat-pusat yang mirip dengan pusat-pusat keimanan dalam otak. Sekali lagi, mirip dengan pusat keimanan dalam otak. Kenapa aku berkata demikian, karena ada sebuah kesimpulan dari penelitian ilmiah yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2001 dari hasil penggunaan teknologi baru scanning terhadap otak yang dilakukan oleh sebuah tim ilmiah yang dipimpin DR. Andrew Newberg, professor Radiology pada Fakultas Kedokteran Universitas Philadelphia, USA ialah : kepercayaan kepada Allah adalah desain dasar (design in built) yang sudah ada dalam otak.

Sebab itu, iman kepada Allah dalam penelitian-penelitian ilmiah moderen bukanlah seperti filsafat dan khayalan masyarakat sebagaimana yang didengung-dengunkan oleh kalangan atheist (kaum darwinis evolutionist dan komunis) yang tidak ada sandaran ilmiahnya pada awal abad 20. Dugaan mereka telah nyata kegagalannya di mana mereka menduga bahwa manusialah yang menciptakan agama mereka sendiri, khususnya setelah ditemukannya fakta ilmiah di atas bahwa manusia telah Allah ciptakan beragama secara alami dan memberi mereka kekuatan/ kemampuan untuk mengenal dan beribadah kepada-Nya.

Sebenarnya telah diterbitkan beberapa studi ilmiah yang menjelaskan bagaimana iman kepada Allah merupakan fitrah yang tertanam dalam diri manusia dan mengoperasikan mekanismenya dengan ibadah adalah jalan menuju sehat dan bahagia. Di antaranya buku : Iman Kepada Allah Tertanam Dengan Kuat dalam Diri Kita, karya Dean H. Hamer, 2005, dan buku : Iman dan Kesehatan, karya Jeff Levin Ph.D, dan buku : Iman, Kesehatan dan Kesuksesan, karya Andrew Perriman.

Namun jika kita ingin telaah lebih mendalam lagi dan lebih spesifik, mengingat Allah dalam tatanan Islam bisa kita lihat dari dzikir. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa mengingat Allah dengan cara Islam ini terbukti mengembalikan produksi endorphin di dalam otak. Zat endorphin yaitu suatu zat yang memberikan efek menenangkan yang disebut endogegonius morphin. Kelenjar endorfina dan enkefalina yang dihasilkan oleh kelenjar pituitarin di otak ternyata mempunyai efek mirip dengan opiat (candu) yang memiliki fungsi menimbulkan kenikmatan (Pleasure principle), sehingga disebut opiate endogen. Oleh karena itulah dzikir atau mengingat Allah itu dapat menghasilkan ketenangan.

Selain itu, orang yang sering berdzikir mengingat Allah, tinggi pula gelombang alfa di otaknya. Ini yang membuat hidup menjadi lebih tenang, sekali pun badai kecemasan, ketakutan, dan kepanikan terus menerjang tanpa perlu minum obat atau minta bantuan dukun. Dengan demikian risiko terkena stroke, jantung koroner, sakit jiwa, dan kanker menjadi lebih kecil.

Menurut Dr. R. H. Su’dan M.D, S.K.M, penyimpangan seks seperti hiperseks, lesbian, homoseks, masochisme dan lain sebagainya juga dapat sembuh dengan dzikrulloh (mengingat Allah). Juga penyimpangan jiwa lainnya seperti psychopatia semacam kleptomania atau suka mencuri, penyakit jiwa karena stress atau ketegangan hidup yang berlebihan. Apalagi kalau hanya penyakit psikosomatik, mudah sekali ditanggulangi dengan dzikrulloh. Bahkan penyakit jiwa yang sebenarnya seperti psychosis pun dapat diselesaikan dengan dzikrulloh pula. Bahkan menurut Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater (Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Doktor di bidang NAZA), beliau mengatakan bahwa selain terapi medis, sholat, berdoa dan berdzikir dapat meningkatkan kekebalan tubuh terhadap virus HIV/AIDS.

Hal ini tentunya yang memperkuat kajian-kajian sebelumnya, bahwa dengan mengingat Allah, berdzikir, mampu meningkatkan kualitas sehat, baik secara fisik maupun mental, membuka cakrawala perasaan ketinggian dan memberikan bantuan untuk terlepas dari berbagai kepediahan dan tekanan jiwa serta kesembuhan dari berbagai kegoncangan seperti kegelisahan, stress, depresi dengan berbagai efek fisik lainnya.

Ketika temuan ilmiah ini pun menjadi sebagian bukti dari kebenaran ayat Tuhan mu yang menciptakan, adakah kita masih menganggap “dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” itu sebuah solusi normatif? Yang jadi tantangan nya kini adalah, sekonsisten apa kita coba untuk mengaplikasikan hal ini dalam hidup keseharian??

Bosan! sungguh aku bosan, bahkan enggan sebenarnya untuk membahas satu topik yang sudah sangat ramai dibicarakan orang ini, tentang rokok. Melihat berbagai respon dari permasalahan ini, apakah dengan kita melarang merokok,edukasi bahaya rokok, menghujat para perokok, bahkan sampai demo dan kampanye anti rokok pun, toh perusahaan rokok dan jenis rokok sampai peredaran nya tetap menjamur, berkembang, dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau hingga saat ini tak pernah disahkan, lalu apa guna nya?

Skeptis memang. Namun sampai kapan? Sampai kapan karena kita bosan kemudian menjadi diam? Akan tetap diam saat kau tahu bahwa prevalensi remaja (15-19 tahun) perokok terus meningkat, lebih dari 2 kali lipat? Bahkan 20,3 persen pelajar SMP sudah merokok berdasarkan survey dari Global Youth Tobacco Survey. Miris, padahal merekalah yang sering kita gelari tunas masa depan bangsa. Atau coba kau lihat juga kondisi bangsa ini kawan, dari sekitar 240 juta jiwa penduduk di Indonesia, 65 juta merupakan pecandu rokok, dan yang membuat lebih prihatin adalah, dari data tersebut 500 ribu pecandu ternyata masih anak-anak.

Kemudian berbicara tentang perokok pasif, sekitar 92 persen para perokok merokok di rumah, sehingga menciptakan perokok pasif yakni 65 juta perempuan dan 43 juta anak-anak dalam usia 0-14 tahun. Setelah itu, ketika kita berbicara tentang kematian, kematian akibat rokok sudah mencapai angka 400 ribu.

Melihat angka-angka tadi mengingatkan ku pada seorang pasien yang sempat kukunjungi rumahnya ketika aku sedang bertugas di salah satu Puskesmas di Bandung. Seorang bayi tepatnya, yang kukunjungi karena mengalami gangguang pernafasan berat. Rumah keluarga tersebut sangat sederhana, sangat kecil dengan satu ruangan untuk melakukan berbagai aktifitas yang dihuni oleh 5 orang. Aku cukup dibuat kaget ketika mendengar penjelasan bahwa 3 dari 5 orang penghuni rumah tadi sering merokok di dalam rumah itu padahal ada seorang anak bayi disana. Bayangkan ruangan sekecil itu, dengan asap rokok yang menyesaki seisi ruangan. Prihatin, itu yang kurasakan. Setelah kuberikan obat dan disarankan untuk kontrol ke Puskesmas aku pamit dari rumah itu. Hari itu menjadi hari terakhirku mengunjungi rumah pasien tersebut, karena waktu bertugasku di puskesmas tersebut sudah habis dan harus kembali bertugas ke Rumah Sakit untuk kedepan nya. Seminggu kemudian, aku mendapat pesan masuk di handphone ku, dari ayah bayi tersebut. Tersentak, berita duka yang kudapat, bayi tersebut akhirnya meninggal karena penyakit pernafasan yang dideritanya. Sedih sekaligus miris memang.

Bisa kubilang rokok ibarat mesin pembunuh. Di dunia diperkirakan jumlah kematian itu dapat meningkat menjadi 5,4 juta kematian per tahun atau 1 kematian tiap 6,5 detik. Lebih banyak jika dibandingkan jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas aku pikir.

Lebih dari 80 persen perokok ada di negara sedang berkembang seperti Indonesia memang. Namun tetap bagiku ini tak dapat terus dibiarkan. Penyumbang rokok terbesar adalah dari Asia, dan tertinggi adalah di Indonesia. Apakah ini menjadi kebanggaan? Prevalensi perokok di Indonesia masih cukup besar, sekitar 34,7 persen. Dan sungguh memprihatinkan, perlu juga untuk kau tahu kawan, bahwa 70 persen dari perokok aktif ini adalah orang miskin dan 71 persen keluarga di Indonesia memiliki pengeluaran untuk rokok.

Entah, sampai saat ini aku heran, apa menariknya barang satu ini yang kita kenal dengan sebutan rokok. Padahal waktu engkau menghisap rokok, sejatinya kau menghisap sekitar 4000 bahan kimia termasuk beberapa racun yang kita kenal seperti penghapus cat (acetone, napthylamine), bahan bakar roket (methanol, pyrene, dimethylnitrosamine), kapur barus (naphthalene), accu mobil (cadmium), gas beracun yang keluar dari knalpot (carbon monoxide, benzopyrene), bahan plastic PVC (vynil chloride), racun yang digunakan untuk hukuman mati (hydrogen cyanide, toluidine), pembersih lantai (ammonia, urethane), pelarut industri (toluene), racun semut putih (arsenic, dibenzacridine, phenol), bahan bakar korek api (butane, polonium-210), hingga racun yang paling berbahaya nikotin, TAR, dan karbon monoksida. Luar biasa bukan kandungan nya? Apakah yang menghisapnya juga berhak kita bilang luar biasa?

Aku yakin benar, jika bicara tentang dampak kesehatan yang ditimbulkan setiap kita pasti tahu, toh di bungkus rokok, iklan televisi maupun reklame-reklame tentang rokok selalu dicantumkan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, stroke, gangguan pernafasan, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Kurang lengkap sebenarnya, bagiku masih banyak yang bisa ditambahkan, namun jika aku paparkan disini beserta alasan mengapa penyakit itu muncul, bisa jadi tulisanku ini menjadi makalah kedokteran.

Banyak mitos yang sering dijadikan pembenaran, alasan yang membuat banyak perokok hingga kini bertahan. Katanya merokok menenangkan pikiran dan meningkatkan daya konsentrasi? Asal kau tahu kawan, perokok pemula itu merasa mual, pusing, batuk dan mulut tak enak. Jika kau tak percaya silahkan tanyakan, asal jangan kau praktikkan. Pengaruh nikotin yang akhirnya membuat kecanduan. Jika sudah kecanduan, pecandu rokok jadi gelisah, berkeringat dingin, dan sakit perut bila tidak merokok. Saat menghisap rokok dan nikotin menyentuh otaknya lagi, pecandu baru akan merasa tenang dan bisa berkonsentrasi lagi, itu faktanya.

Katanya juga, polusi udara oleh asap mobil lebih berbahaya dari asap rokok? Begini kawan, cobalah berpikir, bahwa asap knalpot mobil itu menyebar di udara terbuka, sementara asap rokok sepenuhnya masuk ke paru-paru perokok dan orang di dekatnya. Ada 4000 bahan kimia di asap rokok, 69 diantaranya karsinogenik, sedangkan zat racun seperti nikotin, arsen, dan ammonia tak ada di asap mobil.

Banyak juga pernyataan pintar yang dilontarkan, seolah rokok memberikan sumbangsih untuk bangsa. Benarkah industri rokok telah berjasa terhadap pendapatan negara melalui cukai rokok? Jangan sampai salah kawan, yang membayar cukai rokok adalah konsumen atau perokok, bukan industri rokok. Lalu benarkah katanya industri rokok memberikan sumbangan besar pada penerimaan pemerintah? Kenyataan nya, hanya sekitar 40 triliun hingga Rp 50 triliun yang dihasilakan, atau hanya 7-10 persen dari APBN saja, jauh dibawah penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan maupun Pajak Penghasilan.

Kemudian jika konsumsi rokok dikendalikan pemerintah dengan menaikkan cukai nya, bukankah itu akan mengurangi pendapatan negara dari cukai rokok itu sendiri? Sadarilah kawan, bila cukai dinaikkan, penerimaan pun justru akan naik karena rokok itu produk in-elastis dan adiktif, akan terus dibeli bila harganya terjangkau. Bila harganya tinggi, pendapatan cukai naik dan penduduk miskin mengurangi konsumsi. Jika cukai rokok naik 10 % saja, volume penjualan akan berkurang 0,9-3%, dan penerimaan cukai akan bertambah sekitar 29-59 triliun. Berkurangnya konsumsi rokok pun tentunya akan mengurangi pengeluaran negara dan rakyat untuk mengobati penyakit akibat rokok. Pada tahun 2005 kita bisa melihat bahwa penerimaan negara dari cukai sebesar 32,6 triliun, sementara pengeluaran akibat penyakitnya sebesar 167 triliun.

Lalu apakah benar pengendalian tembakau akan menghilangkan kerja di pertanian tembakau dan industri rokok juga akan mematikan petani tembakau? Setahuku peringkat industri dan pertanian tembakau tahun 2003 diantara 66 sektor hanya menempati peringkat 30-an. Bila kebutuhan industri rokok akan tembakau berkurang, yang terkena dampaknya adalah importir tembakau. Indonesia mengimpor tembakau dari banyak negara seperti Amerika, China dan Singapura. Data Ditjen Pertanian 2005 menunjukkan bahwa nilai impor tembakau lebih besar dari nilai ekspornya, negara merugi sekitar 35 juta dolar pertahun nya.

Pertanyaan yang seolah konyol pun terkadang muncul, bukankah dengan menaikkan harga rokok akan membebani penduduk miskin? Justru perilaku merokolah yang membuat orang miskin terperangkap dalam kemiskinan. Peningkatan harga rokok akan mengalihkan uangnya untuk membeli hal lain yang lebih berguna bagi anak dan keluarganya. Jika mau dipetakan, kebutuhan masyarakat Indonesia adalah 72 persen kebutuhan pokok atau beras; 11,5 persen rokok; 11 persen ikan, daging, susu, dan sejenisnya; pendidikan 3,2 persen; dan kesehatan 2,3 persen. Artinya, ikan, daging, susu, pendidikan, dan kesehatan masih kalah penting daripada rokok.

Agama yang kemudian dijadikan benteng terakhir. Ditengah masyarakat kita telah tersebar dan terbentuk opini bahwa hukum rokok adalah makruh. Keyakinan ini membuat para perokok seakan mendapat jastifikasi dari agama bahwa merokok diperbolehkan oleh islam, bukan haram. Tapi cobalah tengok dan kembali telaah sebagian negara yang para ulamanya telah memberi fatwa dengan terang-terangan bahwa rokok adalah haram, seperti di Malaysia, Brunei, dan kebanyakan negara Timur Tengah. Walaupun memang, di negara-negara tersebut juga masih banyak dijumpai para perokok.

Secara tekstual di Qur’an memang tak ada ayat yang menyatakan hukum tentang merokok, akan tetapi, kita harus tahu bahwa tidak semuanya disebutkan satu per satu namanya di dalam Al-Qur’an. Allah adakalanya menyebutkan sesuatu dengan namanya namun adakalanya hanya menyebutkan sesuatu dengan sifatnya. Adapun rokok maka termasuk yang disebut oleh Allah dengan sifatnya. Andaikan semuanya yang halal dan haram harus disebut namanya, maka berapa jilid kah diperlukan untuk menyebutkannnya? Ini lah hikmah Al-Qur’an, sehingga kitab Al-Qur’an tetap simpel dan tipis tetapi mencakup seluruh problematika manusia. Dengan ukuran yang kecil dan tipis ini maka Al-Qur’an mudah untuk dipelajari.
Bagiku, rokok adalah sesuatu yang buruk dan sama sekali bukanlah sesuatu yang baik. Dan setahuku agama Islam mengharamkan segala yang buruk. Seperti firman Allah swt:

“…Dan (Rosul) itu menghalalkan yang baik-baik dan mengharamkan segala yang buruk …”.
(QS. Al-A’rof : 157).

Siapa pun yang berakal dan mau jujur, jika ditanyakan apakah rokok termasuk sesuatu yang baik atau tidak, pasti mereka menjawab: “Tidak, bahkan rokok adalah sesuatu yang buruk.” Buruknya rokok juga bisa dilihat dari adanya larangan merokok di sana-sini, seperti di tempat umum, gedung-gedung pertemuan, masjid-masjid, sekolahan apalagi di tempat-tempat yang harus terbebas dari sesuatu yang mengganggu seperti rumah sakit. Atau cobalah kita lihat, dari sekian banyak perokok yang ada, nampaknya tidak satu pun dari perokok yang mengajari anak-anaknya agar pandai merokok seperti dirinya, bahkan mungkin melarang anaknya untuk merokok karena tahu dampak buruk yang mungkin bisa ditimbulkannya. Bahkan keburukan rokok terbukti dengan pernyataan pabrik rokok sendiri yang menyatatakan dalam iklan maupun bungkus rokoknya dengan tulisan “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”. Lalu apakah para perokok menutup mata atau pura-pura buta dengan membeli sesuatu yang jelas-jelas disepakati tentang bahayanya? Lucu bukan? Menurutku manfaat rokok hanyalah klaim dan pembelaan dari perokok belaka tanpa ditunjang dalil dan bukti.

Dalam kaidah fiqih disebutkan ”Mencegah kerusakan/bahaya lebih didahulukan daripada mengambil manfaat”. Maka seharusnya kita mendahulukan mecegah diri kita dari bahaya rokok dengan tidak merokok dari pada mengambil manfaat menkonsumsi rokok yang hanya isapan jempol belaka. Agama Islam pun melarang melakukan perbuatan yang membahayakan diri dan orang lain, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

”Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.”
(HR. Baihaqi dan al-Hakim dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Adakah yang masih yakin bahwa rokok tidak membahayakan diri dan orang lain? Bukankah asap rokok pun juga membahayakan para perokok pasif?

Allah pun melarang pemborosan dan menyia-nyiakan harta, sebagaimana firman-Nya:

”… Dan janganlah kalian menghamburkan hartumu dengan boros, karena pemboros itu adalah saudaranya setan…” (AS. Al-Isro’: 26-27).

Orang yang merokok menurutku menghamburkan hartanya dengan sia-sia bahkan mereka rela membeli rokok padahal ada kebutuhan yang lebih penting dan bermanfaat. Di Indonesia, pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga termiskin 5 kali lebih besar dari pengeluaran untuk telur & susu, serta 11 kali untuk daging.

"Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeming pada hari kiamat nanti sebelum ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang tubuhnya tubuhnya untuk apa dia gunakan, tentang hartanya dari mana dia dapatkan dan kemana ia membelanjakannya, serta tentang ilmunya untuk apa dia gunakan.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).

Apa jawaban seorang perokok bila ditanya di Hari Kiamat nanti tentang umurnya yang dihabiskan untuk menghisap rokok, ilmunya yang ia mengetahui rokok itu tidak baik, akan tetapi masih terus menerus menghisapnya, hartanya yang dia hamburkan untuk sesuatu yang tidak berguna dan tubuhnya yang ia telah persembahkan kepada bahaya dan penyakit?

Mungkin akan ada yang berkata bahwa bukankah merokok sudah menjadi kebiasaan sebagian besar manusia? Sadari benar bahwa kebiasaan yang berjalan ditengah masyarakat bukan dalil untuk membolehkan kebiasaan tersebut, karena banyak sekali hal-hal yang haram telah menjadi kebiasaan yang berjalan di tengah masyarakat, seperti tersebarnya riba, minuman keras, zina, kebiasaan mempertontonkan aurat, menggunjing sesama muslim dan lain sebagainya. Apakah ini juga akan kita diamkan?

Untuk sebagian orang, mungkin ada yang mengatakan bahwa dirinya sudah bertahun-tahun bergaul dengan rokok sehingga tidak mungkin dapat dipisahkan antara dirinya dengan rokok yang telah menjadi teman setia dalam hidupnya. Tapi sadarkah kita bahwa ini semua dapat dilakukan jika pelakunya mempunyai niatan ikhlas karena Allah swt? Buktinya ketika berpuasa di siang hari mereka mampu meninggalkan rokok bukan? Oleh karena itu, tinggalkan rokok hanya karena Allah bukan karena yang lain.

Terkadang muncul juga pernyataan konyol, bahwa katanya rokok adalah simbol kejantanan sejati, menurut mereka laki-laki tidak lengkap kalau tidak menghisap rokok. Sungguh sangat keliru menurutku, yang pertama, apakah benar orang yang melanggar larangan Allah adalah orang yang jantan? Selanjutnya, dari segi kedokteran bukankah jelas peringatan bahwa merokok bisa menimbulkan impotensi, disfungsi ereksi, infertilitas pria? Masih cocok kah dibilang jantan?

Terkadang juga muncul pernyataan dengan sikap fanatiknya: ”Guru dan kyai saya juga merokok, bahkan dokter juga ada yang merokok.” Kalau sudah jelas dalil bahwa rokok itu tidak baik dan sudah banyak kenyataan bahwa rokok berbahaya, maka wajib bagi kita mengikuti dalil, bukan mengikuti manusia walaupun dia adalah seorang guru, kyai, maupun dokter karena semua manusia pasti pernah dan bisa bersalah dan keliru karena mereka tidak ma’shum (terjaga dari kesalahan) bukan??

Ada juga yang dengan yakin nya berkata, “mereka yang merokok toh bisa berumur panjang dan sehat tidak merasakan bahaya merokok??” Ya kalaupun rokok memang belum membahayakan jiwa mereka, bagiku setidaknya rokok telah membahayakan harta mereka, akhlak mereka, agama dan masyarakat mereka. Jika engkau yakin dengan pernyataan tadi, aku ingin balik bertanya, apakah kau rela bila anak-anak mu merokok? Kan umur ditangan Allah dan toh ada juga perokok yang umurnya panjang??

Pil pahit yang harus ditelan kita sebagai umat Islam jika kita membiarkan fenomena rokok ini terus berkembang. Perlu kita tahu bahwa jumlah total penduduk dunia berkisar sekitar 6.5 Milyar, total Muslim dunia sekitar 1.3 Milyar, dan total perokok di dunia sekitar 1.15 Milyar. Dan tahukah kita bahwa total Muslim yang merokok tidak kurang dari 400 juta orang dan 140 juta orang adalah kaum Muslimin di Indonesia? Dan perlu kita ketahui bersama juga, bahwa produser rokok terbesar di dunia adalah Phillip Morris. Donasi Phillip Morris kepada Israel adalah 12% dari profit yang mereka raih. Jika saja kaum Muslimin yang merokok menghabiskan satu bungkus/hari, berarti mereka membakar 400 juta bungkus rokok/hari. Jika saja harga rokok rata-rata $ 1.00/bungkus, berarti konsumsi mereka untuk rokok $ 400 juta/hari. Jika 50% kaum Muslimin yang merokok itu membeli produk Philip Morris, berarti mereka menghisap 200 juta bungkus rokok produk Philip Morris/hari. Sehingga total dana kaum Muslim yang masuk ke Morris sekitar $200 juta/hari. Dengan rata-rata keuntungan rokok produk Philip Morris : 10% /bungkus, berarti profit Philip Morris dari belanja rokok kaum Muslimin $ 20 juta/hari. Dengan demikian, kamu Muslim yang merokok menyumbang ke Israel $ 2.4 juta/hari dan $ 28.8 juta/tahun atau $ 288 juta/10 tahun. Sungguh kenyataan yang sangat pahit.

Bayangkan, mereka membakar uang sebanyak $ 400 juta/hari, sambil merusak diri sendiri (kesehatan sendiri) serta menyumbang pula ke Israel. Padahal menurut para Mujahidin Palestina, untuk memerdekakan Palestina dan Masjid Aqsha dari penjajahan bangsa yahudi diperlukan dana $ 500 juta/tahun. Sedangkan mereka menghabiskan untuk belanja rokok saja $ 400 juta/hari, atau sekitar $ 4.8 Milyar / tahun? Apakah ini perbuatan yang bisa diterima akal sehat? Apakah perbuatan ini tidak akan memancing murka Allah?

Lebih baik dana yang dihabiskan untuk merokok ini digunakan kepada hal-hal yang bermanfaat lainnya; di antaranya tabungan untuk menunaikan ibadah haji misalnya. Jika kita menabung setiap hari senilai satu bungkus rokok, atau sekitar Rp 10.000 maka uang akan terkumpul sebanyak Rp 300.000/bulan, atau sekitar Rp 3.6 juta pertahun. Dalam sepuluh tahun mungkin akan mampu menunaikan ibadah Haji. Jika berhenti merokok selam 30 tahun, berarti mampu berangkat haji dan dengan dua orang anggota keluarga yang lain.

Janganlah dengan sengaja setiap hari nya membakar sebagian rezeki yang Allah berikan itu dan digunakan untuk merusak diri sendiri, dan orang-orang lain di sekitar kita. Lebih miris lagi, secara tidak sadar menyumbang kepada Israel yang sedang mencaplok dan setiap hari membunuh saudara-saudara kitadi Palestina.

Bagaimanapun juga, sebosan apapun kita, permasalahan seperti ini tetap harus jadi salah satu aspek yang kita perjuangkan. Komplikasi dari permasalahan ini akan terus bertambah jika pemerintah tidak segera membuat kebijakan tegas untuk mengatur peredaran rokok di Indonesia. Di UU Kesehatan, pasal 113 sebenarnya telah diatur mengenai pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif dan pasal 114 tentang peringatan kesehatan dan pasal 115 mengenai kawasan tanpa rokok. Namun peraturan pemerintah pendukungnya yaitu RPP Pengendalian Dampak Produk Tembakau yang telah dibahas sejak munculnya UU tersebut hingga kini belum juga disahkan oleh Presiden.

Tanpa harus menunggu itu, hal yang bisa dilakukan oleh setiap kita secara individu dalam mengurangi dampak dari berbagai permasalahan tersebut adalah mencoba berhenti merokok bagi yang merokok, dan bantu orang lain untuk bisa berhenti merokok, apakah dengan tulisan seperti yang aku lakukan sekarang, dengan ajakan, atau selemah-lemahnya dengan doa.

Untuk engkau yang mulai berfikir untuk berhenti merokok, lakukanlah dan sungguh-sungguh dalam bertahan. Caranya bisa kau langsung berhenti seketika, menunda atau mengurangi jumlah rokok yang kau hisap hingga akhirnya bisa berhenti sama sekali. Secara medis, kelak ketika kau mulai berhenti merokok, akan ada beberapa hal yang mungkin terjadi, seperti batuk, karena hal ini menandakan mekanisme pembersihan saluran pernafasan berfungsi kembali, sakit kepala yang terjadi karena tekanan darah kembali normal, mudah marah atau tersinggung, sampai mungkin sulit berkonsentrasi.

Tapi sadari benar banyak keuntungan yang bisa kau peloreh setelahnya. 6 jam pertama sesudah berhenti merokok, denyut nadi dan tekanan darah kembali normal. 12 jam setelah berhenti merokok, karbon monoksida meninggalkan sistem peredaran darah dan pernafasan. 1 hari setelah berhenti merokok, tekanan darah lebih rendah dan kegiatan jantung jauh lebih kuat. 1 tahun setelah berhenti merokok, resiko serangan jantung menurun sampai setengah dibandingkan dengan perokok aktif. 5 tahun setelah berhenti merokok, resiko stroke menurun sampai tingkat bukan perokok. 10 tahun setelah berhenti merokok, resiko kanker paru menurun sampai setengah dibandingkan dengan perokok aktif. Dan 15 tahun setelah berhenti merokok, resiko serangan jantung menurun sampai tingkat bukan perokok jika berhenti sebelum timbul penyakit.

Lalu, tunggu apalagi? Kau bisa berkontribusi untuk bangsa, salah satunya dengan cara ini kawan!

#make every day world no tobacco day

Dani Ferdian
Sebatas kajian pribadi singkat, Kamis malam, 31 mei 2012.
Semoga bisa menjadi jejak, dari usia yang ingin punya arti.