Belajar Keberartian Hidup



Kematian, salah satu mozaik perenungan yang amat nyata bagi kita yang masih diberikan kesempatan hidup. Setidaknya kalimat itulah yang kembali terbersit di pikiranku hari ini, mengantarkan berpulangnya salah seorang sosok pekerja keras nan bersahaja, Bapak Toha. Kehadiran beliau selama hidupnya mungkin tak banyak dirasakan sebagian besar kita, namun ketika kini beliau tiada, banyak yang merasa kehilangan, setidaknya oleh sebagian besar warga kampus Universitas Padjadjaran (Unpad). Berita kematian beliau menyebar cepat di kalangan mahasiswa dan Alumni Unpad. Media twitter ramai membicarakan sosok dan memberikan ucapan belasungkawa terhadapnya, bahkan ramai kontak BBM ku mengubah display picture mereka dengan foto PaToha, mulai dari angkatan diatasku, hingga mahasiswa angkatan 2012. Beliau bukan pejabat kampus atau dosen, bahkan bukan pula karyawan Unpad. Beliau hanyalah seorang penjual tali sepatu dan koran di wilayah sekitaran kampus Universitas Padjadjaran, yang dagangannya pun jarang laku.

Aku pun sebenarnya tak mengenal betul Bapak satu ini. Awalnya aku sering melihatnya di gerbang kampus ketika sang Bapak menjajakan barang dagangannya, hingga kembali sering bertemu dengan beliau di Fakultas Kedokteran, tempat aku menjalankan kuliah dulu. Kembali sering kulihat sang Bapak rajin menjajakan dagangannya di plaza FK, sesekali mendatangi saung-saung tempat berkumpulnya mahasiswa untuk menawarkan barang dagangannya, dan tak jarang kulihat usahanya banyak mendapatkan penolakan. Wajar lah aku pikir, pada saat ini, berapa banyak sih orang yang memerlukan tali sepatu? Di kantin FK Unpad juga aku sering melihat beliau menjajakan dagangannya, bahkan sesekali ia pun menawarkan dagangannya padaku. Untuk tali sepatu memang aku jarang memerlukannya, biasanya yang aku beli koran dari Bapak tersebut. Harga yang ditawarkan 3000 biasa aku bayar 5000, dan tahukah kita dengan margin keuntungan yang tak begitu besar di dapat Pak Toha, ungkapan syukur begitu mendalam tampak dari Bapak tersebut. Sebuah pembelajaran bagi kita yang masih banyak lupa bersyukur atas berbagai kecukupan yang Allah berikan.

Aku juga sering bertemu dengan Pa Toha di mushalla kompleks UKM Barat. Ketika rehat dari rapat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di waktu Ashar, terlihat sesekali Pa Toha merebahkan badannya yang kelelahan di mushalla tersebut. Pun ketika waktu maghrib tiba, selepas berkegiatan di sekre BEM Unpad, ketika shalat maghrib Pa Toha masih ada di mushalla tersebut dan ikut shalat berjamaah. Bahkan, sesekali ketika aku pulang larut malam dan menyempatkan shalat isya selepas menjalankan amanah di BEM, aku melihat Pa Toha tertidur di salah satu sudut ruangan mushalla tersebut. Sering sekali Pa Toha berada di mushalla kompleks UKM Barat ini, bahkan sesekali aku sempat memergoki beliau sedang membereskan mushalla ini. Sempat heran dengan keberadaan Bapak satu ini di mushalla tersebut, ternyata dari informasi yang belakangan ini aku tahu, mushalla di kompleks UKM Barat ini menjadi tempat tinggalnya di Jatinangor, sebelum ia pulang ke Garut ke daerah asalnya ketika sudah memiliki cukup uang untuk menghidupi keluarganya disana. Katanya Pa Toha punya 12 orang anak, 5 orang anak sudah berkeluarga dan sudah tinggal jauh darinya. Jangankan membantu ekonomi Pa Toha, ke 5 orang anaknya tadi mesti berjibaku menghadapi kehidupan keluarga mereka yang masih serba kekurangan. Sementara 7 orang anak yang lainnya masih menjadi tanggungan Pa Toha untuk di sekolahkan. Selama uangnya belum mencukupi untuk dibawa ke kampung halaman, maka mushalla kompleks UKM Barat ini jadi tempat yang menemani sepi dan lelah Pa Toha setiap harinya. Besar harapnya untuk menjadi petugas kebersihan di Unpad, merapihkan dan menjaga mushalla yang disinggahinya, namun apa daya, usia lanjutnya tak sesuai dengan kriteria karyawan yang diterima Unpad. Alhasil, tenaga yang dikeluarkan untuk membersihkan dan merapikan mushalla ibarat menjadi bayaran sewa mushalla yang selama ini ia singgahi.

Kerja keras dan tanggung jawab Pa Toha adalah kisah yang harus kita teladani. Ditengah ketidakberdayaannya, bagiku Pa Toha adalah sosok pria sejati. Menjalankan komitmen terhadap keluarga dengan menjaga harga diri. Ketika masih banyak kita lihat di jalanan orang-orang yang masih berdaya namun hanya mengandalkan meminta-minta, Pa Toha ditengah kerentaannya masih sungguh-sungguh berjuang di atas kakinya sendiri. Sesekali kulihat tatapan kosong dan putus asa Pa Toha atas lelah dari jualannya yang jarang laku. Namun itu hanya jeda, untuk kemudian ia melanjutkan siklus perjuangan hidupnya di keesokan hari. Kembali hal ini pun menjadi pelajaran bagi kita, yang masih banyak bermalas-malasan dan banyak bergantung pada orang lain. Ditengah keberdayaan kita, nampaknya kita mengkerdilkan diri sendiri dengan sikap manja dan ketakutan menghadapi tantangan hidup yang ada, padahal kita masih muda. Hal lain yang sangat aku kagumi dari beliau, ditengah serba keterbatasannya, semangat berbaginya sangatlah mulia. Di Garut sana ia mendirikan sebuah madrasah, Al Insan namanya, tempat belajar dan mengaji anak-anak di sekitar daerahnya. Sungguh harusnya kita dibuat malu, jika ditengah kelapangan dan serba kecukupan kita, tak ada keinginan berbagi, memberi. Padahal sejatinya dalam diri setiap kita ada hak orang lain yang membutuhkan yang harus kita penuhi. Pa Toha, seorang yang memberikan arti mendalam bagi setiap kita yang masih bisa merasa. Semoga kepergiannya khusnul khatimah, di Jumat terakhir bulan Ramadhan ini, waktu yang begitu mulia.

Cerita serupa ingin aku sampaikan tentang seorang pedagang tahu keliling di komplek ku, Mang Ahyar namanya. Aku pun memang tak mengenal beliau, tapi mendengar ceritanya dari ibuku sedikitnya menggambarkan bagaimana sosok tersebut. Seorang pedagang yang ramah dan pintar berkomunikasi, seorang ceria yang senantiasa menyisipkan canda dan humor dalam setiap perjumpaannya, juga mengutamakan kepuasan dan kepercayaan pembeli. Di penghujung usia karena sakit jantung yang dideritanya, tahukah kita berapa orang yang melayatnya? Ratusan jumlahnya! Para pelanggan tahu dari hampir 4 komplek perumahan beramai-ramai beriringan melayat ke rumahnya. Rumahnya yang kecil tentunya tampak penuh sesak dengan ratusan orang yang melayat sang pedagang tadi.

Pa Toha dan Mang Ahyar adalah dua sosok yang memberikanku pelajaran, bahwa keberartian hidup bukan berasal dari harta, kepandaian atau keterampilan yang kita pelajari, melainkan dari akhlak yang baik yang akan menjadi penyenang hati setiap kita. Semoga aku menjadi pribadi yang ketika dilahirkan aku menangis sementara yang lain tersenyum, dan sepeninggalanku nanti, orang-orang menangisi kepergianku, namun aku tersenyum.

Sambutan Sumpah Dokter, Dari Saya Untuk Angkatan Tercinta, FK UNPAD 2007


Bismillahirrahmanirrahim,

Yang Terhormat,
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran beserta jajarannya,
Guru Besar dan Anggota Senat Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran,
Direktur Rumah Sakit Hasan Sadikin,
Direktur Rumah Sakit Mata Cicendo,
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat,
Ketua Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran,
para dosen, staff, dan karyawan FK Unpad,
dan yang kami muliakan, Ayahanda dan Ibunda tercinta, para orang tua dokter baru Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran,
serta rekan-rekan dokter baru Fakultas Kedokteran Unpad  yang saya cintai dan saya banggakan.

Assalamu’alaikum wr wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua.

   Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih tapi tak pernah pilih kasih, dan yang Maha Penyayang yang kasih sayang Nya tak pernah hilang, karena atas kasih dan sayang Nya jualah Allah masih mentakdirkan kita untuk bertemu di hari yang berbahagia ini, Pengambilan Sumpah Dokter Gelombang III Tahun Akademik 2012/2013 Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
     Rekan-rekan yang saya banggakan.
                Hari ini tentulah menjadi hari yang kita tunggu sejak lama,  menjadi hari istimewa yang dinantikan bagi kita yang menjalankan proses panjang pendidikan kedokteran. Sebuah kulminasi dari proses panjang pembelajaran dalam mematangkan ilmu serta mematangkan sikap seolah dirayakan hari ini. Mungkin belum lekang dalam ingatan, tentang kenangan, sebuah romantisme masa lalu yang kita rasakan sebagai satu angkatan. Menjadi angkatan terakhir yang masih merasakan OSPEK yang menginap selama satu minggu penuh di kampus. Open House luar biasa yang ramai dihadiri lintas angkatan, bahkan Prof Tri pun sempat mencoba bermain mini golf di kegiatan itu. Juga dengan Olymphiart, yang memang tidak pernah kita menangkan juara umumnya, namun kita rasakan benar maknanya, kekeluargaan, kedewasaan bersikap, dan TOTALITAS.
Belum lagi dengan berbagai kegiatan yang tiap kegiatannya selalu punya ceritanya sendiri.  Ditambah dengan pahit getir menghadapi ujian dan kesulitan, hingga saat-saat koass, saat kenangan beralih ke RSHS, tentang post jaga sindrom sampai keakraban dengan meskoas. Mungkin yang masih kita ingat betul, tentang kejadian saat UKDI dimajukan, masa- masa kita berpeluh bersama, menghadapi serangkaian estafet ujian, COMPRE-UKDI-OSCE. Babak belur bersama menjemput gelar dokter. Dan manisnya perjuangan, memang lebih terasa setelah pahit dilewati, itu setidaknya yang kita rasakan sekarang. Untuk itu, bersyukur mutlak menjadi keharusan.
Biarlah semua cerita tadi menjadi kenangan yang menjaga kebersamaan kita selamanya kawan. Setelah ini kita akan di tempatkan ke daerah-daerah untuk menjalankan internship, dan mungkin tidak akan berjumpa lagi dalam waktu yang lama. Maka biarlah kenangan tadi yang menjaga kolegialisme ini. 
Rekan-rekan yang saya cintai.
Hari ini kita semua berikrar sumpah, berkomitmen tentang kebersamaan dalam kesejawatan, tentang misi kemanusiaan, dan amanah keprofesian.  Hari ini resmi gelar dokter membersamai nama setiap kita. Kelak di masyarakat, mereka yang mengenakan jas putih, menjalankan profesi dokter, masih amat dipandang, dihargai, dan dijadikan tumpuan masyarakat ketika mengalami kesulitan, ucapannya begitu di dengar, dan sikapnya seolah dijadikan teladan. Namun ingatlah kawan, bahwa menjadi dokter itu, bukan kebanggaan. Tapi penjagaan. Menjaga rela, menjaga ilmu, serta menjaga keseimbangan alam. Menjadi dokter itu, bukan kehormatan. Tapi kekuatan. Kekuatan untuk menebar kebaikan, mengakses kebenaran, dan menjaga kerahasiaan.  Menjadi dokter itu bukan kesuksesan. Tapi tantangan. Tantangan untuk terus mengasah kualitas, untuk tak melupakan pahit sebelum keberhasilan, untuk menjaga api semangat agar tetap menyala hingga akhir perjuangan. Menjadi dokter, itu bukan penyembuh segala. Tapi tubuh perantara, perantara kepada sehat. “Menjadi dokter” itu kini bukan cita-cita lagi. Kini ia dalam proses menjelma nyata, dengan segala gelap terang di dalamnya.
                Selanjutnya, seperti yang tertera dalam Qur’an surat Al Insyirah ayat 7 yang artinya “ Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. “ Setelah ini internship akan kita jalankan. Mungkin kita pun kerap mendengar, tentang berbagai kesulitan yang terhampar kedepan. Tapi sadarilah kawan, bahwa sulit tak selamanya sulit, sebagaimana mudah tak selamanya mudah. Hanya saja dikhawatirkan kesulitan punya nafas lebih panjang dibanding semangat kita untuk mengalahkannya. Seperti yang orang bijak sering bilang, daripada mengutuk kegelapan, lebih baik nyalakan lilin. Dan lebih dari itu, saya mengajak kita pun menghadirkan mentari, dalam setiap jiwa kita, yang nyalanya tak pernah padam, sampai tutup usia kita. Sehingga sepanjang hidup kita, kita bisa jadi cahaya bagi yang lain.
                Atas berbagai hal yang kita dapatkan, pencapaian yang kita raih, dan beberapa tahapan yang akan kita hadapi kedepan, pada kesempatan istimewa ini, perkenankan saya, atas nama teman-teman yang disumpah pada hari ini, untuk menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya.
Pertama, terima kasih kami sampaikan kepada Rektor Universitas Padjadjaran beserta seluruh unsur pimpinannnya yang telah memberi kesempatan bagi kami untuk belajar di kampus yang banyak memberikan wahana pembelajaran ini. Tanpa kesempatan ini kami bukan siapa-siapa.
Selanjutnya, terima kasih, penghargaan, dan respek yang teramat dalam dari kami semua disampaikan kepada pimpinan Fakultas Kedokteran, beserta seluruh dosen yang kami cintai dan banggakan.  Dari mereka, kami semua dididik, diciptakan, diajar, ditanamkan kecintaan dan tanggung jawab yang besar terhadap ilmu kedokteran dan profesi dokter.
Kami sangat bersyukur dan bangga karena Allah, Tuhan YME mengizinkan kami semua memperoleh kesempatan untuk belajar dan dididik di FK UNPAD ini. Satu hal yang paling kami banggakan dari FK UNPAD adalah usahanya yang terus menerus tiada henti menjadi  fakultas kedokteran  yang terus menerus menciptakan inovasi dalam dunia pendidikan kedokteran Indonesia. Menjadi pionir dalam menciptakan gelombang reformasi pendidikan dokter yang lebih modern sekaligus humanis. Menjadi fakultas yang  berperan sebagai lentera bagi sekitarnya, senantiasa mewujudkan kemaslahatan bagi umat, dari Jawa Barat hingga dunia.
Oleh karena itu kawan, semoga semangat terus berinovasi dan mengembangkan diri ini menjadi bagian tak terpisahkan dari diri kita. Di kampus ini,  kita dididik untuk menjadi dokter yang bukan hanya senang ilmu pengetahuan tetapi berdedikasi dan berpihak kepada kemanusiaan, mengabdi kepada masyarakat. Untuk itu, jadilah seorang dokter yang tak hanya menjadi agen penyembuh, melainkan juga agen pengubah, sekaligus agen pembangun bangsa, sebagai bentuk bakti kita untuk almamater tercinta ini.
Terimakasih juga kami sampaikan teruntuk guru kami, yang selalu memberi inspirasi, menunjukkan keteladanan nilai-nilai, dan kesungguhan dalam memberi bekal pengetahuan. Semoga ilmu yang kami dapat mampu kami gunakan untuk memberikan kemaslahatan untuk umat sehingga kami dapat memberikan pahala yang terus mengalir atas ilmu yang bermanfaat yang engkau ajarkan.
Terima kasih juga kami sampaikan kepada staff  FK Unpad yang mungkin banyak kami repotkan, bahkan hingga kami buat kesal. Terima kasih atas kesabarannya melayani kami, semoga Allah senantiasa membalas dengan kebaikan. Juga kepada Ikatan Alumni, terimakasih juga kami sampaikan atas itikad baik dalam penjagaan alumni FK Unpad 2007 di internship nanti.
Terima kasih kami ucapkan juga terutama kepada orang tua, dan orang-orang yang kami kasihi,  yang selama ini telah mendukung kami. Mendengarkan kami ketika  bersedih, menyemangati  ketika melewati ujian-ujian yang sulit, memeluk  saat beban terasa begitu berat. Merekalah yang berdoa di malam-malam yang sunyi, ketika kami disini sedang terjaga mengerjakan tugas atau sedang mendapat giliran jaga malam. Mereka yang menangis rindu dalam jauhnya jarak, terlebih saat Idul Adha, Nyepi, Galungan, atau bahkan saat Natal maupun Idul Fitri karena tidak bisa bersama anaknya akibat padatnya aktivitas di kampus. Doa mereka tidak pernah berhenti mengalir, membukakan jalan bagi kami semua. Sungguh dalam kesempatan kali ini, izinkan kami mengucap terima kasih kepada ayahanda dan ibunda yang amat kami kasihi. Semoga setiap pengorbanan selama ini tidak menjadi sia-sia, menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kami dalam memberi pengabdian terbesar bagi sesama. Pencapaian kami sampai sejauh ini adalah bakti kami untuk mu, dan kelak pengabdian serta amal unggulan yang kami lakukan semoga menjadi penjemput Ayahanda dan Ibunda untuk mencapai Surga Nya.
Untuk adik-adik kami di FK Unpad, terimakasih kami sampaikan atas berbagai aktivitas yang membersamai, juga rasa hormat yang kalian berikan. Terimakasih pula atas bantuannya hingga saat ini. Maaf seandainya kami belum bisa jadi teladan yang baik. Kami menyayangi kalian.
Terakhir, terimakasih teramat dalam kepada angkatan, FK Unpad 2007, atas kebersamaan, atas warna yg ditorehkan dalam kanvas kehidupan, atas kenangan yang senantiasa menjadi penawar di tengah padatnya interaksi. Ingatlah kawan, 182 orang mahasiswa Indonesia tergabung dalam satu angkatan, dan hari ini tercatat 127 orang dokter baru dari angkatan ini berikrar sumpah. Tak satupun diantara kita yang boleh ditinggalkan, mari kita genggam kuat, kembali saling dorong dan menguatkan, serta senantiasa menghadirkan dalam doa, karena bagaimanapun, kita satu ikatan, satu tubuh.
Sadarilah kawan, setelah acara ini berakhir, kita akan menjalani hidup sebagai seorang dokter, yang setiap ucapan dan tindakannya terikat oleh sumpah, dan setiap teladannya menjadi contoh bagi masyarakat. Teruslah totalitas untuk menjadi dokter berhati emas, sampai habis masa pengabdian kita, sampai tutup usia kita. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, memberkahi dan memberi kekuatan kepada kita. Terimakasih teman-teman, saya mencintai kalian karena Allah.
Terimakasih atas perhatian yang diberikan, mohon maaf atas segala kekurangan. Wassalamu’alaykum Wr.Wb.

Dani Ferdian, dr.
Ketua Angkatan FK Unpad 2007


Aku Akan Menikahimu, Dinda.


Ini bukan hanya tentang aku, begitupun bukan hanya tentang dirimu. Ini tentang kita. Ya, setiap kita yang sedang bertumbuh, menuju penyempurnaan agamanya. Satu per satu rekan-rekan, kerabat, senior, adik kelas, kenalan menyampaikan kabar gembiranya silih berganti dan berbagi kebahagiaan melalui undangan pernikahannya di tahun ini. Membaca tulisan ini, beberapa kita mungkin menganggapnya galau. Galau kini seolah menjadi terminologi untuk segala pembicaraan terkait konsepsi hubungan, miris. Beberapa lainnya mungkin antusias, seolah mewakili gejolak yang ada di dalam hatinya. Selebihnya, mungkin tak peduli.

Menjadi hal yang wajar, di rentang usia sepertiku, konsepsi terkait hubungan terutama dalam konteks pernikahan sedang ramai dibicarakan. Tulisan ini hadir bukan untuk membangun kegelisahan yang merisaukan, namun mencoba menjadi salah satu sarana kecil membangun persiapan dan sedikit refleksi untuk ku, kamu, dan setiap kita yang sedang , akan, atau telah membangun pernikahan.

Ingin mengawali bahasan dari fenomena yang cukup menarik perhatianku. Beberapa orang yang aku kenal memilih menikah di usia sangat muda, ketika duduk di bangku perkuliahan tingkat 1, 2, 3, 4 hingga masa-masa koas. Sebaliknya, beberapa orang lain yang aku kenal memilih menikah di usia yang cukup matang, selaras dengan pencapaian dan kemapanan kariernya. Fenomena tersebut menjadi sebuah kondisi yang wajar memang. Hal yang kemudian menjadi tak wajar adalah ketika satu sama lain saling membanggakan dan memengaruhi orang lain terkait usia pernikahan mereka. Bahwa menikah muda itulah yang terbaik. Atau justru sebaliknya, kalangan yang menikah di usia matang mencibir mereka yang menikah muda seolah gegabah, terlalu tergesa-gesa. Lantas, manakah yang lebih baik?

Terlalu dangkal menurutku jika kebaikan sebuah pernikahan sekadar dilihat dari segi usia kapan mereka melangsungkan pernikahan. Bagiku, keputusan menikah muda maupun menikah di usia matang keduanya sama-sama baik, sama-sama hebat, tergantung konteksnya.

Menikah muda dengan alasan telah siap lahir batin, menyambung tali kasih sayang, menjaga kesucian dan menjaga kehormatan diri, menghasilkan banyak anak-anak hebat di kondisi orangtua yang masih produktif dan sehat tentu alasan yang tepat. Menikah nanti dengan alasan merasa belum mampu untuk menambah tanggung jawab dan merasa masih mampu menahan gejolak hasratnya sehingga memilih untuk terus mengisi dan memperbaiki diri terlebih dahulu, itu pun baik, sama-sama hebat.

Pernikahan itu bukanlah sebuah perlombaan. Jadi tidak tepat sebenarnya jika masih ada terminologi 'terlambat menikah' ataupun 'terlalu cepat menikah'. Seharusnya semua orang paham bahwa jodoh adalah rahasia Tuhan. Sayangnya, tetap saja banyak yang masih punya definisi tentang ‘terlambat menikah’, atau sebaliknya ‘terlalu cepat menikah'. Tidak ada standar kapan harus menikah, karena semua orang khas. Jika tiba masanya, maka pasti akan terjadi, begitu pikirku.

Mungkin kita sadar, banyak sekali buku di pasaran yang bertujuan mengajak pembacanya menikah muda. Begitu pula acara-acara seperti seminar, talkshow, yang tema nya tak jauh dari menikah muda pun ramai di datangi. Marketnya siapa lagi kalo bukan anak muda. Karena banyak peminatnya, maka menjadi logis buku dan acara-acara ber genre menikah muda ramai kini kita temukan.

Tak ada yang salah sebenarnya dengan buku atau acara terkait dengan ajakan menikah muda. Hal ini pun aku pikir muncul sebagai solusi atas keprihatinan akan kondisi anak muda masa kini. Daripada terpaut dengan hubungan yang aneh-aneh dan tidak jelas, alangkah lebih baiknya diarahkan untuk menuju hubungan pernikahan. Begitu mungkin simpulan yang aku dapat.

Kalau kita lihat positifnya, para anak muda mungkin akan termotivasi untuk menikah. Termotivasi mempersiapkan kondisi lahir batin untuk bersanding dengan sang pujaan hati. Yang tadinya malas belajar jadi semangat belajar. Yang santai-santai saja mencari penghasilan, jadi semangat dalam bekerja.

Nah, lalu kalau dilihat negatifnya? Aku khawatir semangat menikah begitu menggelora di dada. Hanya terpesona pada kenikmatan yang di dapat dalam pernikahan, namun belum ada persiapan apa-apa. Jangan sampai kita lupa bahwa menikah dikatakan menyempurnakan setengah agama dikarenakan berat perjalanan yang akan dilaluinya. Memiliki persiapan yang cukup, mutlak menjadi keharusan. Bukankah gagal mempersiapkan berarti mempersiapkan kegagalan?

Tidaklah cukup menikah dengan hanya beralasan keinginan untuk melindungi dan dilindungi, keinginan untuk disayang dan menyayangi, diperhatikan dan memperhatikan, ditemani dan menemani atau sejenisnya. Menikah bukan perkara sesederhana itu. Menikah adalah perkara tanggungjawab. Siapkah kita menjalani tanggungjawab itu?

Disegerakan, namun bukan tergesa-gesa. Mari kita alihkan energi cinta kita bukan untuk sekadar melihat, bukan hanya untuk memikirkan tentang dirinya yang terbaik bagi kita. Namun untuk mempersiapkan. Meningkatkan kualitas diri. Bukankah memperbaiki diri berarti memperbaiki jodoh? Hal ini berlaku tak hanya untuk laki-laki yang akan menjemput takdir jodohnya. Begitupun dengan perempuan,jangan sampai menunggu hanya digunakan untuk menutupi ketidaksiapan dan membebankan seluruhnya kepada para lelaki.

Lalu bagaimana mengenai perkara seseorang yang senantiasa berusaha meningkatkan kualitas diri, namun masih saja mendapat penolakan dalam menemukan pasangan? Jika benar sudah meningkatkan kualitas diri, menurutku ia tak merugi. Justru yang merugi adalah yang menolak, karena ia kehilangan orang yang serius membangun titik temu dengannya, untuk menggenapkan agama dengan cara yang baik, sedangkan orang yang ditolak hanya kehilangan orang yang memang tidak serius membangun titik temu dengan dirinya.

Jangan risau tentang masa depan, termasuk konteks menemukan pasangan, semuanya ada dalam genggaman Allah. Risaulah jika saat ini kita tidak serius mendekatinya. Sertakan Allah dalam perjuanganmu, karena jodoh itu bukan perkara ada yang suka pada kita atau ingin menikah dengan kita. Ternyata jodoh ialah saat Allah mengerakkan hati dua manusia untuk kemudian berkata ‘Ya Kami siap menikah.' Jangan terlalu khawatir, kekhawatiran tak menjadikan bahayanya membesar. Hanya dirimu yang semakin mengerdil. Tenanglah, semata karena Allah bersamamu. Maka, tugasmu hanya berikhtiar! Kelak waktu yang menjadi jawaban atas takdir masa depan kita. Bicara tentang waktu, waktu nampaknya akan terasa lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu panjang bagi mereka yang gelisah, dan terlalu singkat bagi mereka yang bahagia, namun waktu akan terasa abadi bagi mereka yang mampu bersyukur. Untuk itu bersyukurlah. Syukur bukan hanya perkara terima kasih atas apa-apa yang sudah Allah berikan, melainkan juga tentang berbaik sangka pada Nya. Berbaik sangkalah!

Lalu untuk kita yang sudah menemukan pasangan, atau 'calon' pasangannya. Tanggung jawab tak sekadar mencari nafkah bagi lelaki dan mengurus rumah tangga bagi perempuan. Hal seperti itu tentulah lumrah dibicarakan. Hal lain yang perlu juga mendapat perhatian ialah tentang bagaimana menerima pasangan kita dengan sempurnaSadarilah, bahwa kita tidak pernah bisa menuntut siapapun sempurna, karena sejatinya kesempurnaan adalah kekurangan yang senantiasa diperbaiki, perbedaan yg senantiasa disatukan, perasaan saling yang membuat segalanya tergenapi.Belajarlah untuk senantiasa memahami pasangan kita. Semakin tinggi tingkat pengenalan seseorang kepada sesuatu yg dicintainya maka sesuatu yang harusnya pahit bisa menjadi manis. Engkau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya dan mencoba menjalani hidup dengan caranya. Kelak ketika kau menemukan kekurangannya, cintailah itu. Karena ketika engkau sudah bisa mencintai kekurangannya, kelak ketika kau menemukan kelebihannya, engkau akan semakin mencintainya. Dan cinta, itu akan menguatkan jiwa yang lemah, bukan melemahkan jiwa yang kuat. Ia bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan, bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan, bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat. Karena itu, untuk ia yang memutuskan untuk mencintai, ia harusnya tak lagi berjanji, melainkan membuat rencana untuk memberi.

Ah bicara tentang cinta dalam konsepsi hubungan nampaknya jadi hal biasa. Lalu bagaimana dengan cemburu? Suatu hal di jaman kita sekarang yang dianggap ekstrim-fanatik, dan lain-lain? Cemburu bagiku terdefinisi sebagai ketidaksenangan seseorang untuk disamai dengan orang lain dalam hak-haknya, dan itu merupakan salah satu akibat dari buah cinta. Maka tidak ada cemburu kecuali bagi orang yang mencintai. Dan cemburu itu termasuk sifat yang baik menurutku, bagi laki-laki maupun perempuan.

Adapun kecemburuan seorang laki-laki pada keluarga dan kehormatannya, itu menjadi keharusan. Karena dengan adanya kecemburuan, akan menolak adanya kemungkaran di keluarganya. Ambil lah contoh kecemburuan dia pada istri dan anak-anaknya, yaitu dengan cara tidak rela kalau mereka terbuka hijabnya di depan laki-laki yang bukan mahramnya, bercanda bersama mereka, hingga seolah-olah laki-laki itu saudaranya atau anak-anaknya.

Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mensifati seorang laki-laki yang tidak cemburu pada keluarganya dengan sifat-sifat yang jelek, yaitu ‘Dayyuuts’. Sungguh ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabraani dari Amar bin Yasir r.a, serta dari Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi dari Abdullah bin Amr r.a, dari Nabi Saw bahwa ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga yaitu peminum khomr, pendurhaka orang tua dan dayyuts. Kemudian Nabi menjelaskan tentang dayyuts, yaitu orang yang membiarkan keluarganya dalam kekejian atau kerusakan, dan keharaman. Begitulah sisi lain cemburu dalam konsepsi sebuah hubungan.

Hal lain yang mendasari konsepsi hubungan, terutama bagi yang sudah menemukan pasangannya, ialah perkara komitmen. Berperasaanlah dengan komitmen, atau berkomitmenlah dengan perasaanmu.Komitmen adalah kunci pembuka pintu mimpi agar hadir menjadi kenyataan. Komitmen adalah sesuatu yang akan membuat seseorang memikul resiko dan konsekuensi dari keputusannya tanpa mengeluh, dan menjalaninya dengan penuh rasa syukur sebagai bagian dari kehidupan yang terus berproses. Komitmen yang membuat segalanya mengalir seperti kemauan kita, karena melalui komitmen kita mampu mengendalikan semua hal menjadi lebih baik. Karena komitmen adalah totalitas sebuah perjuangan.

Sungguh terhormat setiap kita yang memegang teguh komitmennya, menjaga kesetiannya. Senantiasa berhati-hati menjaga hatinya. Mata dan telinga merupakan pintu, dan hati merupakan rumahnya. Untuk itu, senantiasa kawal apa saja yang masuk melalui pintu agar rumah kita selamat, agar hati kita selamat, bersetia pada hati. Ingat bahwa Allah mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. Untuk itu, jaga mata, jaga hati, jaga sikap. Ada yang bilang, katanya suci perempuan karena menjaga diri, gagah laki - laki sebab menepati janji. Itupun manifes dari komitmen, begitu pikirku.

Lalu bicara tentang konsepsi hubungan dalam konteks pernikahan, tentulah erat kaitannya dengan bahasan menjadi orang tua. Bagiku, cara kita mengajari anak-anak kita tentang keshalihan, bahkan jauh sebelum mereka dilahirkan adalah dengan cara memilih ibu yang baik untuk mereka. Itu titik tolaknya, itulah mengapa kemudian proses memilih pasangan menjadi hal penting yang begitu diperhatikan, untuk kemudian sama-sama bertumbuh menjadi orang tua paripurna, yang memberikan pendidikan bagi anak-anaknya di madrasah yang tanpa libur dan tanpa jeda, di rumahnya. Tempat di mana mereka belajar bukan hanya dari apa yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh ayah bundanya. Orangtua adalah guru yang sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan untuk dijadikan identitas.

Aku masih ingat dulu tentang masyarakat yang punya tingkat saling percaya amat tinggi di jaman Rasul tentang peran orang tua, terutama ayah. Dulu kalau mau menikahi Hafshah, tak perlu berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang lebih ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq. Begitupun aku, ingin rasanya seperti itu, bisa memberikan kebaikan pada anak-anak ku dengan integritas kebaikan yang melekat pada ayahnya. Itulah mengapa bagi setiap laki-laki, menjadi ayah yang baik menjadi hal mutlak yang perlu diperjuangkan, peran nya begitu besar dalam menjalankan tanggung jawab pendidikan anak-anak nya. Lalu bagaimana dengan perempuan? Jangan sampai engaku lupa, dibalik suami yang hebat terdapat wanita hebat yang senantiasa mendampinginya, ia adalah istri. Dan dibalik anak yang hebat terdapat wanita hebat yang senantiasa mendo’akanya, ia adalah ibu.

Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda, “3 orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya” (HR. Thabrani)


Dinda, ingin rasanya aku raih pertolongan Allah dengan menjadi ketiganya. Menikahimu, adalah keberanian menentukan sikap, bukan menunggu waktu hingga datang kedewasaan bersikap, menuju Mitsaqan Ghaliza, perjanjian yang kokoh yang dalam Al Qur'an kata mitsaqan ghaliza hanya dipakai 3 kali saja, yakni ketika Allah SWT membuat perjanjian dengan para Nabi, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (Al Ahzab 73:7), ketika Allah SWT mengangkat bukit Thur di atas kepala bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia pada Allah (An Nissa 4:154) dan ketika Allah SWT menyatakan hubungan pernikahan (An Nissa 4:21).

Kupilih dirimu, karena aku yakin engkau mampu menggenapi kekuranganku menjadi kelebihan. Karena aku tahu, tak sempurna agamaku, kecuali engkau menggenapinya. Kupilih dirimu, karena engkau memiliki satu sayap yang bisa melengkapi sayapku yang hanya satu. Maka berdua kita mengepakkan sepasang sayap menuju surga; impian kita bersama.

Dinda, ketika kini pada akhirnya kita bertemu, yakinlah bahwa itu bukan kebetulan. Sebab bagaimanapun, langkah kita akan saling tertuju, langkahku ke arahmu, langkahmu ke arahku. 



*tulisan yang juga menjadi kado, untuk yang sedang rindu, merencanakan, akan melangsungkan, atau baru saja menjalankan pernikahan. Celoteh kecil dari pribadi yang sedang belajar, untuk menasihati setidaknya dirinya sendiri.*