Satu Tahun Merayakan Cinta

Hari ini tepat setahun Aristyani Dwi Rahmani membersamaiku sebagai seorang istri. Aku masih ingat benar ketika aku menikahinya, itu adalah tepat di pertemuan tatap muka kami yang ke 30. Sebuah proses yang mengawali perjalanan kami pun dapat dibilang di luar perkiraan kami sebelumnya. Namun bagaimanapun, kami yakin bahwa pertemuan kami bukanlah sebuah kebetulan. Ketetapan Allah yang membuat langkah kami saling tertuju. Satu yang aku sadari betul, bahwa hadirnya menjadi jawaban atas doa yang senantiasa aku panjatkan terkait pendamping hidup. Allah menjawabnya persis sesuai dengan pintaku pada Nya. Maka tentulah perkara jodoh ini, menjadi satu hal yang sangat aku syukuri dalam hidup. 


Menjalani hidup setelah pernikahan tentunya berbeda. Bagiku, menjalani hidup kini tak lagi semata tentang diri sendiri, melainkan juga tanggung jawab terhadap istri dan anak-anak kelak. Suamilah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt tentang keluarganya. Menjalani hidup setelah pernikahan, bagiku tentu semakin memantik diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik, senantiasa terdorong untuk menjadi teladan dan pembimbing yang baik bagi keluarga. Alhamdulillah selama satu tahun membersamai, istri punya kesabaran dan keikhlasan yang baik dalam menemani proses pembelajaranku sebagai seorang kepala keluarga. Aku kemudian menyadari, tak heran jika kemudian ada yang berkata di balik kesuksesan seorang pria ada wanita hebat yang menemaninya. Aku merasakan bahwa kemampuan bertumbuhku, tak terlepas dari peran sang istri.

Semenjak menikah, istri langsung hijrah menemaniku untuk tinggal di Bandung, memulai kehidupan baru berkeluarga dan belajar mandiri untuk lepas dari orang tua. Aku sangat menghargai keputusannya, pasalnya tidak semua orang setelah menikah mau diajak untuk tinggal dan terlepas dari orang tua, menemui lingkungan baru, orang baru, dunia baru yang mungkin jauh berbeda dibanding kehidupan sebelumnya. Mengawali kehidupan baru, kami memilih mengontrak sebuah rumah di perbatasan kawasan Bandung Timur dan Sumedang. Setelah satu tahun mengontrak, alhamdulillah kini kami sedang belajar menyicil sebuah rumah di kawasan Bandung Timur. Mengapa kami tak tinggal di rumah orang tua saja? Padahal rumah orang tua pun masih cukup seandainya kami tinggal disana. Mengapa malah memilih mengeluarkan biaya tambahan untuk mengontrak rumah padahal aku pun masih hidup dengan pendapatan pokok gaji dokter internship yang masih 1,2 juta per bulan pada saat itu. 

Kami memilih untuk tinggal tak serumah dengan orang tua agar kami bisa mengatur sendiri roda rumah tangga, kami bisa belajar secara lebih leluasa untuk saling mengenal, memahami secara lebih baik dan sekaligus membina kepekaan. Ketika suami istri merasakan peluh perjuangan dalam meletakkan fondasi keluarga, insya Allah akan dapat mengokohkan arah dan misi pernikahan. Dengan tempat tinggal yang terpisah dari orang lain, insya Allah kami bisa lebih menghayati bagaimana membangun kekuatan jiwa untuk membentuk orientasi yang kokoh. Dalam rumah sederhana yang kami atur sendiri kami mempunyai kesempatan untuk menguati dan melengkapi. Melengkapi secara fisik dengan peralatan rumah tangga yang diperlukan, maupun melengkapi secara psikis dengan hati yang menerima, jiwa yang rela dan kesediaan untuk berjuang bersama- sama. Bagi istriku, ini adalah langkah untuk memulai satu warna kehidupan rumah tangga yang baru bersamaku, suaminya. Ia belajar mengatur rumah tangga sekaligus menyelami pikiran, semangat, dan perasaanku. Sehingga ia bisa betul-betul mengenal suaminya dengan baik. Bagiku ini sangat penting bagi kelangsungan kehidupan rumah tangga yang sejuk dan penuh kasih sayang sesuai dengan keunikan pribadi masing-masing, sejauh tidak melanggar batas-batas agama.

Di awal kehidupan menikah, aku masih harus menunaikan amanahku untuk menyelesaikan kewajiban internshipku selama kurang lebih satu tahun di Rumah Sakit Daerah dan Puskesmas di Kota Bandung. Tak jarang ketika bertugas di bagian Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit, istri sering aku tinggal seorang diri di rumah hingga larut malam. Kesabaran dan keikhlasan yang mungkin kembali membuatnya bertahan di zona baru yang mungkin dirasa tidak nyaman. Setelah menikah istri memang memilih untuk menjadi ibu rumah tanggga. Untuk sebagian orang, mereka mungkin menyayangkan seorang dokter gigi lulusan Universitas Indonesia memilih memfokuskan dirinya untuk menjadi ibu rumah tangga. Namun berbeda denganku, bagiku menjadi seorang ibu rumah tangga adalah pekerjaan mulia yang juga tak mudah. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin baik untuk menjadi ibu rumah tangga, tak ada yang sia-sia. Pola pikir dan wawasan yang terbangun dari pendidikan tinggi amat bermanfaat sebagai bekal dalam membesarkan anak dan mengurus rumah tangga. Lalu bagaimana dengan tanggung jawab keilmuannya jika menjadi ibu rumah tangga? Istriku masih menjalankan praktik dokter giginya tanpa mengganggu fokusnya sebagai ibu rumah tangga. Dokter gigi adalah pekerjaan sampingannya. 

Dalam menjalankan praktik sebagai seorang dokter gigi pun, istriku tetap aku bilang orang rumahan. Sebagian besar waktunya tetap ia habiskan di rumah. Setahun menikah, tak pernah sekalipun ia keluar rumah dengan jarak yg cukup jauh tanpa mahramnya. Bahkan untuk praktik sekalipun. Kami praktik bersama di klinik dan waktu yang sama, aku sebagai dokter umum dan ia sebagai dokter giginya, sehingga untuk praktik pun tentunya kami pergi bersama. Jika aku berhalangan untuk praktik, istri pun memilih untuk tidak berangkat praktik. Setelah menikah, istriku terlihat berbeda dibanding sebelumnya, ia yang dulu dikenal independent, kini menjadi wanita yang amat dependent terutama terhadap suaminya. Nampaknya menikah membawanya kembali kepada fitrahnya sebagai seorang wanita. Di satu sisi, aku yang memang dependent terhadap orang dekat semakin dependent saja setelah menikah. Kita sama-sama dependent satu sama lain, ia dependent terhadapku dari sisi aktifitas dan arah hidup, dan aku dependent terhadapnya dari sisi pemenuhan kebutuhan aktivitas keseharian. Saling melengkapi, itu yang aku rasa. Ada kesalingan yang menggenapi kekurangan kami menjadi kelebihan.

Aktivitasku setelah menikah masih cukup tinggi, bedanya kini jam pulang malam ke rumah tak sesering dulu dibanding sebelum menikah, bahkan bisa dibilang jarang, kalaupun ada acara sampai malam, biasanya aku mengajak istriku jika itu memungkinkan. Hingga saat ini, selain menjalankan amanah sebagai Staff pengajar di FK Unpad, aku juga memagang amanah di Bidang Pelayanan dan Pemberdayaan Masyarakat YPM Salman ITB juga masih aktif praktik di Klinik Dokter Keluarga Mitra Sehati dan membina Volunteer Doctors. Selain itu, berbagai aktivitas lain seperti organisasi, aktivitas sosial, politik, mengisi acara, berbagai rapat, diskusi dsb masih aku ikuti. Memiliki istri dengan berbagai kesibukan seperti ini bagiku adalah sebuah keuntungan. Kini aku ibarat memiliki manager pribadi. Istriku lah yang mencatat semua agendaku, mulai dari acara, rapat, praktik, jadwal pertemuan/janji, mengisi materi, agenda diskusi, kondangan, kegiatan sosial, liburan, acara keluarga dan semua hal lainnya. Dia yang mencatat, merekam semuanya, menyusun jadwal, dan mengingatkan semua agendaku, termasuk makan. Pantaslah setelah menikah walaupun aktivitasku masih banyak, berat badan bisa meningkat sampai 5 kg. Menyenangkan bukan memiliki manager pribadi yang bisa kita ajak makan malam berdua sesuka kita?

Lantas apakah dengan aktivitas sebanyak itu hilang waktuku untuk istri? Tidak juga. Hampir setiap aktivitasku di dampingi istri. Setelah menikah, semua urusan terkait aku menjadi satu paket dengan istriku. Mengisi materi/acara, menjalankan berbagai aktivitas sosial, diskusi, ke Masjid Salman setiap minggu, bertemu teman, liburan dsb hampir semua aku jalani bersama istriku. Maka tak heran jika ada momen aku seorang diri, sekitarku menanyakan keberadaan istriku. Hampir di setiap aktivitas istriku selalu membersamai, hanya hitungan jari saja aktivitas yang tak ditemaninya, itu pun karena ia sakit, atau keadaan untuk bersama tidak memungkinkan. Selama satu tahun menikahpun, hanya sekitar 3 malam saja aku pernah terpisah dari istriku, itu pun karena aku harus menjalankan pengabdian masyarakat di tempat yg cukup jauh, Ujung Genteng. Sisanya, kita selalu menghabiskan malam bersama. Mengapa setiap kali ada kesempatan beraktivitas bersama aku selalu memberi kesempatan istriku untuk menemani? Aku hanya ingin menghabiskan banyak waktu berkualitas bersamanya, agar setiap momen yang aku lewati, terutama momen-momen penting, dapat juga dirasakan oleh orang terkasih kita. Dengan demikian, diharapkan terbangun banyak kenangan dari aktivitas yang kami jalani. Istriku yang akan menjadi saksi sejarah perjalanan hidup yang aku lewati. Semoga Allah senantiasa memberikanmu kekuatan dan kesehatan agar dapat terus membersamaiku. Aamiin.

Menjalankan satu tahun kehidupan setelah menikah sudah tentu tidak terlepas dari permasalahan. Permasalahan yang dapat ditimbulkan dari kurangnya pengetahuan kami tentang menjani kehidupan setelah menikah, kesalahpahaman yang timbul diantara kami, ketidaktepatan bersikap, keterbatasan materi, dsb. Berbagai masalah bagi kami menjadi bumbu-bumbu kehidupan yang membuat kami jauh lebih kuat. Permasalahan akan dapat melahirkan kekuatan jiwa bagi kami, dari sini kami lebih memiliki kejelasan arah dan keberanian berjuang. Dalam menghadapi masalah, kami selalu kembali pada 4 hal yang kami pegang kuat semenjak memulai proses perkenalan menuju pernikahan, yakni kepercayaan, komitmen, komunikasi, dan kejujuran. 

Setiap hari hingga saat ini proses saling mengenal masih aku lakukan. Belajar untuk semakin memahami istriku dengan melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya dan mencoba menjalani hidup dengan caranya. Kelak ketika aku menemukan kekurangannya, aku berusaha mencintai itu. Karena ketika kita sudah bisa mencintai kekurangan seseorang, kelak ketika kita menemukan kelebihannya, kita akan semakin mencintainya. Tak ada manusia yang sempurna di dunia ini, termasuk pasangan kita. Untuk itu yang bisa kita lakukan adalah menerima pasangan kita dengan sempurna, itu yang penting. Sadarilah, bahwa kita tidak pernah bisa menuntut siapapun sempurna, karena sejatinya kesempurnaan adalah kekurangan yang senantiasa diperbaiki, perbedaan yg senantiasa disatukan, dan perasaan saling yang membuat segalanya tergenapi.

Satu tahun menjalani pernikahan, kehadiran buah hati tentulah jadi salah satu hal yang diharapkan. Alhamdulillah, selama satu tahun menjalani pernikahan istriku diberikan kesempatan hamil 2 kali. Kehamilan pertama berakhir dengan keguguran di usia janin 5 minggu, dan kehamilan kedua kini sudah memasuki bulan ke 7 atau minggu ke 28. Mohon doa agar kehamilan yang sekarang dilancarkan, Ibu dan janin senantiasa diberi kesehatan. Semoga dari rahim istriku, dapat lahir seorang pemimpin bijaksana yang meneladani Rasulullah Muhammad Saw, juga memiliki kebulatan tekad dan berilmu. Untukmu yang ada dalam rahim istriku, aku telah mengajarimu tentang keshalihan nak, bahkan jauh sebelum kamu akan dilahirkan, yakni dengan memilih ibu yang baik untukmu. 

Teruntuk istriku, menjadi tanggung jawab kita untuk memberikan pendidikan yang akan menumbuhkan syaja’ah (keberanian), iffah (kemampuan menahan diri), dan izzah (harga diri) terhadap anak kita. Kita yang akan memberikan pendidikan bagi anak-anak kita di madrasah yang tanpa libur dan tanpa jeda, di rumah kita. Tempat di mana anak-anak belajar bukan hanya dari apa yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh kita sebagai orang tuanya. Orangtua adalah guru yang sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan untuk dijadikan identitas.

Aku masih ingat dulu tentang masyarakat yang punya tingkat saling percaya amat tinggi di jaman Rasul tentang peran orang tua, terutama ayah. Dulu kalau mau menikahi Hafshah, tak perlu berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang lebih ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq. Begitupun aku, ingin rasanya seperti itu, bisa memberikan kebaikan pada anak-anak ku dengan integritas kebaikan yang melekat pada ayahnya. Itulah mengapa bagi setiap laki-laki, menjadi ayah yang baik menjadi hal mutlak yang perlu diperjuangkan, perannya begitu besar dalam menjalankan tanggung jawab pendidikan anak-anaknya. Lalu bagaimana dengan perempuan? Jangan sampai engkau lupa, dibalik suami yang hebat terdapat wanita hebat yang senantiasa mendampinginya, ia adalah istri. Dan dibalik anak yang hebat terdapat wanita hebat yang senantiasa mendo’akanya, ia adalah ibu. Melalui pernikahan kita, mari kita ciptakan generasi-generasi emas yang tak hanya membanggakan, namun mampu membawa perubahan yang lebih baik, pemegang panji Islam yang hadirnya menjadi manfaat, dan menjadi tonggak keberhasilan bangsa ini.

Teruntuk istriku, di akhir tulisan ini ingin aku mengatakan padamu, "selamat satu tahun merayakan cinta. " Terimakasih atas semua kebahagiaan yang telah engkau berikan, maafkan jika masih banyak khilaf dalam meng-imami mu. Setelah mengawali pernikahan kita dengan naik gunung dan menyusuri air terjun, sempat pergi bersama ke luar negeri beberapa bulan setelahnya, nanti jika ada kesempatan akan ku ajak kau menonton bola di stadion, tiga hal yang pernah diinginkan bukan? :) 
Selebihnya, ada puluhan tahun terbentang di hadapan untuk senantiasa kita rayakan cinta dan belajar bersama tentang kehidupan. Semoga bahagia yang dirasa berlanjut hingga ke surga. Aamiin.

Salam, 
Seseorang yang selalu mencintaimu
DF

    1 komentar:

    supri mengatakan...

    trimakasih infonya...
    sangat menarik dan bermanfaat...
    mantap deh pokoknya...
    kunjungi balik yah nonton flim online di: http://inibos.com