Satu Tahun Merayakan Cinta

Hari ini tepat setahun Aristyani Dwi Rahmani membersamaiku sebagai seorang istri. Aku masih ingat benar ketika aku menikahinya, itu adalah tepat di pertemuan tatap muka kami yang ke 30. Sebuah proses yang mengawali perjalanan kami pun dapat dibilang di luar perkiraan kami sebelumnya. Namun bagaimanapun, kami yakin bahwa pertemuan kami bukanlah sebuah kebetulan. Ketetapan Allah yang membuat langkah kami saling tertuju. Satu yang aku sadari betul, bahwa hadirnya menjadi jawaban atas doa yang senantiasa aku panjatkan terkait pendamping hidup. Allah menjawabnya persis sesuai dengan pintaku pada Nya. Maka tentulah perkara jodoh ini, menjadi satu hal yang sangat aku syukuri dalam hidup. 


Menjalani hidup setelah pernikahan tentunya berbeda. Bagiku, menjalani hidup kini tak lagi semata tentang diri sendiri, melainkan juga tanggung jawab terhadap istri dan anak-anak kelak. Suamilah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt tentang keluarganya. Menjalani hidup setelah pernikahan, bagiku tentu semakin memantik diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik, senantiasa terdorong untuk menjadi teladan dan pembimbing yang baik bagi keluarga. Alhamdulillah selama satu tahun membersamai, istri punya kesabaran dan keikhlasan yang baik dalam menemani proses pembelajaranku sebagai seorang kepala keluarga. Aku kemudian menyadari, tak heran jika kemudian ada yang berkata di balik kesuksesan seorang pria ada wanita hebat yang menemaninya. Aku merasakan bahwa kemampuan bertumbuhku, tak terlepas dari peran sang istri.

Semenjak menikah, istri langsung hijrah menemaniku untuk tinggal di Bandung, memulai kehidupan baru berkeluarga dan belajar mandiri untuk lepas dari orang tua. Aku sangat menghargai keputusannya, pasalnya tidak semua orang setelah menikah mau diajak untuk tinggal dan terlepas dari orang tua, menemui lingkungan baru, orang baru, dunia baru yang mungkin jauh berbeda dibanding kehidupan sebelumnya. Mengawali kehidupan baru, kami memilih mengontrak sebuah rumah di perbatasan kawasan Bandung Timur dan Sumedang. Setelah satu tahun mengontrak, alhamdulillah kini kami sedang belajar menyicil sebuah rumah di kawasan Bandung Timur. Mengapa kami tak tinggal di rumah orang tua saja? Padahal rumah orang tua pun masih cukup seandainya kami tinggal disana. Mengapa malah memilih mengeluarkan biaya tambahan untuk mengontrak rumah padahal aku pun masih hidup dengan pendapatan pokok gaji dokter internship yang masih 1,2 juta per bulan pada saat itu. 

Kami memilih untuk tinggal tak serumah dengan orang tua agar kami bisa mengatur sendiri roda rumah tangga, kami bisa belajar secara lebih leluasa untuk saling mengenal, memahami secara lebih baik dan sekaligus membina kepekaan. Ketika suami istri merasakan peluh perjuangan dalam meletakkan fondasi keluarga, insya Allah akan dapat mengokohkan arah dan misi pernikahan. Dengan tempat tinggal yang terpisah dari orang lain, insya Allah kami bisa lebih menghayati bagaimana membangun kekuatan jiwa untuk membentuk orientasi yang kokoh. Dalam rumah sederhana yang kami atur sendiri kami mempunyai kesempatan untuk menguati dan melengkapi. Melengkapi secara fisik dengan peralatan rumah tangga yang diperlukan, maupun melengkapi secara psikis dengan hati yang menerima, jiwa yang rela dan kesediaan untuk berjuang bersama- sama. Bagi istriku, ini adalah langkah untuk memulai satu warna kehidupan rumah tangga yang baru bersamaku, suaminya. Ia belajar mengatur rumah tangga sekaligus menyelami pikiran, semangat, dan perasaanku. Sehingga ia bisa betul-betul mengenal suaminya dengan baik. Bagiku ini sangat penting bagi kelangsungan kehidupan rumah tangga yang sejuk dan penuh kasih sayang sesuai dengan keunikan pribadi masing-masing, sejauh tidak melanggar batas-batas agama.

Di awal kehidupan menikah, aku masih harus menunaikan amanahku untuk menyelesaikan kewajiban internshipku selama kurang lebih satu tahun di Rumah Sakit Daerah dan Puskesmas di Kota Bandung. Tak jarang ketika bertugas di bagian Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit, istri sering aku tinggal seorang diri di rumah hingga larut malam. Kesabaran dan keikhlasan yang mungkin kembali membuatnya bertahan di zona baru yang mungkin dirasa tidak nyaman. Setelah menikah istri memang memilih untuk menjadi ibu rumah tanggga. Untuk sebagian orang, mereka mungkin menyayangkan seorang dokter gigi lulusan Universitas Indonesia memilih memfokuskan dirinya untuk menjadi ibu rumah tangga. Namun berbeda denganku, bagiku menjadi seorang ibu rumah tangga adalah pekerjaan mulia yang juga tak mudah. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin baik untuk menjadi ibu rumah tangga, tak ada yang sia-sia. Pola pikir dan wawasan yang terbangun dari pendidikan tinggi amat bermanfaat sebagai bekal dalam membesarkan anak dan mengurus rumah tangga. Lalu bagaimana dengan tanggung jawab keilmuannya jika menjadi ibu rumah tangga? Istriku masih menjalankan praktik dokter giginya tanpa mengganggu fokusnya sebagai ibu rumah tangga. Dokter gigi adalah pekerjaan sampingannya. 

Dalam menjalankan praktik sebagai seorang dokter gigi pun, istriku tetap aku bilang orang rumahan. Sebagian besar waktunya tetap ia habiskan di rumah. Setahun menikah, tak pernah sekalipun ia keluar rumah dengan jarak yg cukup jauh tanpa mahramnya. Bahkan untuk praktik sekalipun. Kami praktik bersama di klinik dan waktu yang sama, aku sebagai dokter umum dan ia sebagai dokter giginya, sehingga untuk praktik pun tentunya kami pergi bersama. Jika aku berhalangan untuk praktik, istri pun memilih untuk tidak berangkat praktik. Setelah menikah, istriku terlihat berbeda dibanding sebelumnya, ia yang dulu dikenal independent, kini menjadi wanita yang amat dependent terutama terhadap suaminya. Nampaknya menikah membawanya kembali kepada fitrahnya sebagai seorang wanita. Di satu sisi, aku yang memang dependent terhadap orang dekat semakin dependent saja setelah menikah. Kita sama-sama dependent satu sama lain, ia dependent terhadapku dari sisi aktifitas dan arah hidup, dan aku dependent terhadapnya dari sisi pemenuhan kebutuhan aktivitas keseharian. Saling melengkapi, itu yang aku rasa. Ada kesalingan yang menggenapi kekurangan kami menjadi kelebihan.

Aktivitasku setelah menikah masih cukup tinggi, bedanya kini jam pulang malam ke rumah tak sesering dulu dibanding sebelum menikah, bahkan bisa dibilang jarang, kalaupun ada acara sampai malam, biasanya aku mengajak istriku jika itu memungkinkan. Hingga saat ini, selain menjalankan amanah sebagai Staff pengajar di FK Unpad, aku juga memagang amanah di Bidang Pelayanan dan Pemberdayaan Masyarakat YPM Salman ITB juga masih aktif praktik di Klinik Dokter Keluarga Mitra Sehati dan membina Volunteer Doctors. Selain itu, berbagai aktivitas lain seperti organisasi, aktivitas sosial, politik, mengisi acara, berbagai rapat, diskusi dsb masih aku ikuti. Memiliki istri dengan berbagai kesibukan seperti ini bagiku adalah sebuah keuntungan. Kini aku ibarat memiliki manager pribadi. Istriku lah yang mencatat semua agendaku, mulai dari acara, rapat, praktik, jadwal pertemuan/janji, mengisi materi, agenda diskusi, kondangan, kegiatan sosial, liburan, acara keluarga dan semua hal lainnya. Dia yang mencatat, merekam semuanya, menyusun jadwal, dan mengingatkan semua agendaku, termasuk makan. Pantaslah setelah menikah walaupun aktivitasku masih banyak, berat badan bisa meningkat sampai 5 kg. Menyenangkan bukan memiliki manager pribadi yang bisa kita ajak makan malam berdua sesuka kita?

Lantas apakah dengan aktivitas sebanyak itu hilang waktuku untuk istri? Tidak juga. Hampir setiap aktivitasku di dampingi istri. Setelah menikah, semua urusan terkait aku menjadi satu paket dengan istriku. Mengisi materi/acara, menjalankan berbagai aktivitas sosial, diskusi, ke Masjid Salman setiap minggu, bertemu teman, liburan dsb hampir semua aku jalani bersama istriku. Maka tak heran jika ada momen aku seorang diri, sekitarku menanyakan keberadaan istriku. Hampir di setiap aktivitas istriku selalu membersamai, hanya hitungan jari saja aktivitas yang tak ditemaninya, itu pun karena ia sakit, atau keadaan untuk bersama tidak memungkinkan. Selama satu tahun menikahpun, hanya sekitar 3 malam saja aku pernah terpisah dari istriku, itu pun karena aku harus menjalankan pengabdian masyarakat di tempat yg cukup jauh, Ujung Genteng. Sisanya, kita selalu menghabiskan malam bersama. Mengapa setiap kali ada kesempatan beraktivitas bersama aku selalu memberi kesempatan istriku untuk menemani? Aku hanya ingin menghabiskan banyak waktu berkualitas bersamanya, agar setiap momen yang aku lewati, terutama momen-momen penting, dapat juga dirasakan oleh orang terkasih kita. Dengan demikian, diharapkan terbangun banyak kenangan dari aktivitas yang kami jalani. Istriku yang akan menjadi saksi sejarah perjalanan hidup yang aku lewati. Semoga Allah senantiasa memberikanmu kekuatan dan kesehatan agar dapat terus membersamaiku. Aamiin.

Menjalankan satu tahun kehidupan setelah menikah sudah tentu tidak terlepas dari permasalahan. Permasalahan yang dapat ditimbulkan dari kurangnya pengetahuan kami tentang menjani kehidupan setelah menikah, kesalahpahaman yang timbul diantara kami, ketidaktepatan bersikap, keterbatasan materi, dsb. Berbagai masalah bagi kami menjadi bumbu-bumbu kehidupan yang membuat kami jauh lebih kuat. Permasalahan akan dapat melahirkan kekuatan jiwa bagi kami, dari sini kami lebih memiliki kejelasan arah dan keberanian berjuang. Dalam menghadapi masalah, kami selalu kembali pada 4 hal yang kami pegang kuat semenjak memulai proses perkenalan menuju pernikahan, yakni kepercayaan, komitmen, komunikasi, dan kejujuran. 

Setiap hari hingga saat ini proses saling mengenal masih aku lakukan. Belajar untuk semakin memahami istriku dengan melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya dan mencoba menjalani hidup dengan caranya. Kelak ketika aku menemukan kekurangannya, aku berusaha mencintai itu. Karena ketika kita sudah bisa mencintai kekurangan seseorang, kelak ketika kita menemukan kelebihannya, kita akan semakin mencintainya. Tak ada manusia yang sempurna di dunia ini, termasuk pasangan kita. Untuk itu yang bisa kita lakukan adalah menerima pasangan kita dengan sempurna, itu yang penting. Sadarilah, bahwa kita tidak pernah bisa menuntut siapapun sempurna, karena sejatinya kesempurnaan adalah kekurangan yang senantiasa diperbaiki, perbedaan yg senantiasa disatukan, dan perasaan saling yang membuat segalanya tergenapi.

Satu tahun menjalani pernikahan, kehadiran buah hati tentulah jadi salah satu hal yang diharapkan. Alhamdulillah, selama satu tahun menjalani pernikahan istriku diberikan kesempatan hamil 2 kali. Kehamilan pertama berakhir dengan keguguran di usia janin 5 minggu, dan kehamilan kedua kini sudah memasuki bulan ke 7 atau minggu ke 28. Mohon doa agar kehamilan yang sekarang dilancarkan, Ibu dan janin senantiasa diberi kesehatan. Semoga dari rahim istriku, dapat lahir seorang pemimpin bijaksana yang meneladani Rasulullah Muhammad Saw, juga memiliki kebulatan tekad dan berilmu. Untukmu yang ada dalam rahim istriku, aku telah mengajarimu tentang keshalihan nak, bahkan jauh sebelum kamu akan dilahirkan, yakni dengan memilih ibu yang baik untukmu. 

Teruntuk istriku, menjadi tanggung jawab kita untuk memberikan pendidikan yang akan menumbuhkan syaja’ah (keberanian), iffah (kemampuan menahan diri), dan izzah (harga diri) terhadap anak kita. Kita yang akan memberikan pendidikan bagi anak-anak kita di madrasah yang tanpa libur dan tanpa jeda, di rumah kita. Tempat di mana anak-anak belajar bukan hanya dari apa yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh kita sebagai orang tuanya. Orangtua adalah guru yang sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan untuk dijadikan identitas.

Aku masih ingat dulu tentang masyarakat yang punya tingkat saling percaya amat tinggi di jaman Rasul tentang peran orang tua, terutama ayah. Dulu kalau mau menikahi Hafshah, tak perlu berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang lebih ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq. Begitupun aku, ingin rasanya seperti itu, bisa memberikan kebaikan pada anak-anak ku dengan integritas kebaikan yang melekat pada ayahnya. Itulah mengapa bagi setiap laki-laki, menjadi ayah yang baik menjadi hal mutlak yang perlu diperjuangkan, perannya begitu besar dalam menjalankan tanggung jawab pendidikan anak-anaknya. Lalu bagaimana dengan perempuan? Jangan sampai engkau lupa, dibalik suami yang hebat terdapat wanita hebat yang senantiasa mendampinginya, ia adalah istri. Dan dibalik anak yang hebat terdapat wanita hebat yang senantiasa mendo’akanya, ia adalah ibu. Melalui pernikahan kita, mari kita ciptakan generasi-generasi emas yang tak hanya membanggakan, namun mampu membawa perubahan yang lebih baik, pemegang panji Islam yang hadirnya menjadi manfaat, dan menjadi tonggak keberhasilan bangsa ini.

Teruntuk istriku, di akhir tulisan ini ingin aku mengatakan padamu, "selamat satu tahun merayakan cinta. " Terimakasih atas semua kebahagiaan yang telah engkau berikan, maafkan jika masih banyak khilaf dalam meng-imami mu. Setelah mengawali pernikahan kita dengan naik gunung dan menyusuri air terjun, sempat pergi bersama ke luar negeri beberapa bulan setelahnya, nanti jika ada kesempatan akan ku ajak kau menonton bola di stadion, tiga hal yang pernah diinginkan bukan? :) 
Selebihnya, ada puluhan tahun terbentang di hadapan untuk senantiasa kita rayakan cinta dan belajar bersama tentang kehidupan. Semoga bahagia yang dirasa berlanjut hingga ke surga. Aamiin.

Salam, 
Seseorang yang selalu mencintaimu
DF

    Selamatkan Dokter Indonesia!

    Tak bisa dipungkiri, hingga saat ini dokter masih menjadi profesi yang dipandang masyarakat. Terlepas dari berbagai kejadian yang menimpa profesi dokter belakangan ini, masyarakat tentunya masih menggantungkan harapan akan kesehatannya pada dokter. Dokter memang bukanlah penyembuh segala, melainkan tubuh perantara yang dipercaya menjadi sarana penyembuh kesakitan melalui ilmu yang dipelajarinya. Kematian adalah hal yang masih banyak ditakuti masyarakat, dan tak jarang proses kematian banyak didahului dengan kesakitan, paling dekat kaitannya dengan dunia kesehatan, kedokteran. Menjadi logis ketika akhirnya harapan akan hidup digantungkan kepada para pejuang kesehatan, terutama dokter sebagai pemegang tanggung jawab dan pengambil keputusan terbesar.  

    Berdasarkan data yang dilansir Ikatan Dokter Indonesia (IDI), jumlah dokter umum pada tahun 2013 ialah 94.407 orang. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan periode sebelumnya yang hanya 76.523 orang. Walaupun demikian, jumlah tersebut dirasa masih kurang untuk memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 250 juta orang, ditambah dengan distribusi dokter yang belum merata yang masih terpusat terutama di kota-kota besar. 

    Salah satu cara yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi kekurangan tenaga dokter tersebut adalah melalui jalur pendidikan dengan menambah jumlah Fakultas Kedokteran (FK) di Indonesia. Dampak dari kebijakan tersebut yakni jumlah FK semakin lama semakin menjamur, hal ini mungkin bisa disebabkan karena regulasi pembentukan FK masih tidak ketat, sebagai buktinya jumlah FK berkembang pesat dari 52 di tahun 2008 menjadi 73 FK di tahun 2013. Melihat fenomena tersebut, benarkah bertambahnya jumlah FK di Indonesia ini untuk memenuhi kebutuhan tenaga dokter atau hanya sebagai komoditas bisnis potensial di bidang pendidikan? Hal ini tentunya membuat banyak pihak mempertanyakan kualitas penyelenggaraan FK tersebut, pasalnya data dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) tahun 2013 menyebutkan bahwa hanya 18 FK yang terakreditasi A, 21 FK terakreditasi B, 33 FK terakreditasi C, dan 1 FK belum terakreditasi karena baru dibuka.

    Institusi pendidikan ini seharusnya tidak hanya menghasilkan dokter yang secara kuantitas baik, namun juga berkualitas. Peningkatan kualitas pendidikan dan kompetensi di institusi pendidikan dokter sangat diperlukan sehingga dihasilkan lulusan yang kompeten guna meningkatkan jumlah dokter yang siap berpraktik di masyarakat. Penjaminan mutu profesi dokter harus dilakukan sejak tahap pendidikan hingga pelayanan. UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menjadi regulasi yang memulai hal tersebut. UU No.29 tahun 2004 ini mengamanahkan bahwa untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia, seorang dokter harus lulus uji kompetensi untuk selanjutnya mendapatkan sertifikat kompetensi. Maka dari itu, dibuatlah Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI).

    UKDI memiliki tujuan untuk menjamin lulusan pendidikan kedokteran yang kompeten dan terstandar nasional, menguji sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sebagai dasar untuk praktik kedokteran dalam jangka panjang, mendorong pembelajaran sepanjang hayat,  serta sebagai metode asesmen untuk mengelola pasien yang aman dan efektif di Indonesia. Standar soal yang digunakan untuk UKDI tersebut mengacu pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). UKDI merupakan proses yang harus ditempuh untuk memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). 

    Pelaksanaan UKDI telah berlangsung sejak tahun 2007, dan melibatkan panitia bersama yang terdiri dari unsur Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sampai saat ini terdapat beberapa perkembangan dalam penyelenggaraan UKDI, seperti batas nilai minimal kelulusan yang semakin meningkat, hingga jenis ujiannya yang pada tahun 2013 tidak sekedar ujian pilihan ganda (Computerized Based Test = CBT), melainkan juga disertai dengan ujian praktik (Objective Structured Clinical Examination = OSCE). 

    Berdasarkan data Komite Bersama Uji Kompetensi Dokter Indonesia (KBUKDI), didapatkan rata-rata tingkat kelulusan tiap ujian adalah sebesar 74,68% dan rata-rata tingkat ketidaklulusannya adalah sebesar 25,32%. Oleh karena itu, di tahun 2013 tercatat ada sekitar 2888 orang dokter yang belum lulus UKDI (retaker UKDI). Dokter yang tidak lulus uji kompetensi tersebut tidak diperbolehkan melakukan praktik. Menanggapi permasalahan tersebut, diselenggarakanlah Uji Kompetensi Retaker Khusus (UKRK), ujian yang ditujukan bagi mereka yang belum lulus UKDI. Setiap peserta yang akan mengikuti UKRK ini wajib dibimbing oleh FK terkait dan IDI. UKRK ini diselenggarakan gratis bagi para retaker dan jadwal pelaksanaannya berbeda dengan UKDI.

    Dalam pelaksanaannya, UKRK ini terbagi ke dalam 2 periode. UKRK I diselenggarakan oleh kepanitiaan bersama IDI-AIPKI. Dalam UKRK I, materi ujian disesuaikan dengan SKDI yang disusun oleh Tim Materi dari unsur AIPKI. UKRK I ini dilaksanakan dalam 2 gelombang. Gelombang pertama diikuti oleh 428 retaker, dengan jumlah retaker yang lulus di ujian ini sebanyak 192 orang dan yang tidak lulus sebanyak 236 orang. Sementara untuk gelombang kedua diikuti oleh 1250 retaker, dengan jumlah retaker yang lulus di ujian ini hanya berjumlah 4 orang dan yang tidak lulus sebanyak 1246 orang. Mendapati angka kelulusan yang dianggap tidak wajar pada ujian gelombang II (hanya berjumlah 4 orang), pihak IDI memutuskan untuk menganulir pelaksanaan ujian tersebut dan selanjutnya diagendakan untuk ujian kembali yang sepenuhnya diselenggarakan oleh IDI. Kepanitiaan bersama UKRK pun dibubarkan secara sepihak oleh IDI.

    IDI pun kemudian menyelenggarakan kembali UKRK gelombang III, sebagai ujian pengganti UKRK gelombang II yang sebelumnya dianulir IDI. Tercatat sebanyak 1236 retaker mengikuti ujian ini, dengan jumlah retaker yang lulus sebanyak 974 orang dan yang tidak lulus sebanyak 262 orang. Mengingat masih banyak retaker yang tidak lulus di UKRK I, akhirnya diselenggarakanlah UKRK periode II yang sepenuhnya diselenggarakan oleh IDI. Jumlah retaker yang mengikuti UKRK periode II tercatat sebanyak 651 orang, dengan jumlah retaker yang lulus sebanyak 541 orang dan yang tidak lulus sebanyak 110 orang.

    Membandingkan dua penyelenggara UKRK, yakni antara kepanitiaan bersama IDI-AIPKI dengan yang sepenuhnya diselenggarakan IDI, terlihat bahwa angka kelulusan UKRK yang sepenuhnya diselenggarakan oleh IDI sangat jauh lebih besar dibandingkan UKRK yang masih ada campur tangan AIPKI. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin saja ini prestasi IDI yang berhasil membimbing dengan baik ribuan retaker sehingga mereka mampu melewati UKRK. Atau mungkin saja standar kelulusan UKRK semakin diturunkan lagi oleh pihak IDI sehingga tingkat kesulitannya dibawah standar nasional. Tidak ada yang tahu, harusnya akuntabilitas ujian ini ditunjukkan kepada publik agar publik bisa menilai. Jangan sampai hal ini menjadi risiko terciptanya lulusan kedokteran yang belum bisa memenuhi syarat kelulusan uji kompetensi, sehingga dikhawatirkan akan bisa menghambat perkembangan peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga kemampuan para dokter. 

    Sejak terbitnya UU No.20 tahun 2013, terjadi perubahan sistem uji kompetensi nasional. Uji kompetensi nasional yang semula dilakukan setelah tahap pendidikan, menjadi masuk pada ranah pendidikan, dan menjadi salah satu syarat kelulusan mahasiswa program profesi dokter. Dalam UU No.20 tahun 2013 pasal 36, disebutkan bahwa untuk menyelesaikan program profesi dokter, mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter. Dengan undang-undang ini, maka kedepan setiap orang yang mendapat gelar dokter ialah mereka yang telah lulus uji kompetensi nasional. Dengan demikian, kelak yang mendapat gelar dokter tentunya mereka yang sudah terstandar nasional sehingga diharapkan terjaga kualitasnya untuk dapat melaksanakan praktik kedokteran. 

    Masa transisi perubahan kebijakan ini tak terlepas dari masalah. Proses legal untuk menuangkannya dalam suatu aturan hukum yang tegas memerlukan waktu yang tak sebentar. Dalam UU Pendidikan Kedokteran (UU Dikdok) yang diterbitkan di tahun 2013, disebutkan bahwa pelaksana UKDI ialah FK bekerja sama dengan AIPKI dan berkoordinasi dengan IDI. Lalu disebutkan bahwa ketentuan tentang pelaksanaannya diatur oleh Peraturan Menteri (Permendikbud). Namun hingga akhir tahun 2013, Permendikbud yang dimaksud belum dikeluarkan juga. Lalu bagaimana dengan nasib lulusan FK selanjutnya? 

    IDI meminta UKDI ditunda hingga Permendikbud keluar. Namun lain halnya dengan AIPKI, ditengah ketidakpastian tersebut AIPKI tetap menyelenggarakan UKDI di bulan Februari 2014 dengan standar yang sama seperti UKDI yang sebelumnya biasa diselenggarakan. Kebijakan ini mencegah para calon dokter yang telah menyelesaikan pendidikannya dan tinggal UKDI harus 'menganggur' menunggu ketidakpastian. Seandainya UKDI ditunda, mereka tentunya akan tetap tercatat sebagai mahasiswa sehingga harus tetap membayar biaya pendidikan. Di satu sisi, kondisi seperti ini pun akan menghambat penerimaan mahasiswa baru. Namun, ujian yang diselenggarakan AIPKI ini tidak diterima IDI dengan alasan tidak sesuai hukum. Akibatnya, Kolegium Dokter Primer Indonesia (KDPI), lembaga di bawah IDI, tidak mau mengeluarkan sertifikat kompetensi (serkom) bagi lulusan UKDI Februari 2014 yang mengakibatkan lulusan UKDI ini tidak dapat melangsungkan praktik. Sama halnya dengan penyelenggaraan UKDI di bulan Februari 2014, UKDI yang diselenggarakan oleh AIPKI di bulan Mei 2014 pun kembali tidak diakui oleh IDI. Untuk menengahi permasalahan tersebut, lulusan UKDI yang diselenggarakan AIPKI ini harus mengikuti ujian kembali buatan KDPI jika ingin mendapat serkom.

    Melihat adanya dua lembaga yang sama-sama menyelenggarakan uji kompetensi nasional (AIPKI maupun IDI), penilaian terhadap kualitas ujian yang diselenggarakan kedua pihak tersebut perlu dilakukan. Siapa yang berhak menilai? Yang berhak menilai tentunya Kementrian Kesehatan (Kemkes) sebagai penjamin mutu layanan kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang akan mengeluarkan STR, serta Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) sebagai penjamin kualitas pendidikan. Seandainya kualitas ujian yang diselenggarakan oleh salah satu pihak tidak baik dari hasil penilaian tersebut, maka gunakanlah ujian yang diselenggarakan oleh pihak satunya untuk uji kompetensi nasional. Namun jika ternyata keduanya berkualitas baik, tentunya para calon dokter berhak memilih salah satu ujian yang diselenggarakan baik itu oleh IDI maupun AIPKI, sehingga mereka tidak perlu mengikuti kedua ujian tersebut.

    Tercatat jumlah lulusan UKDI yang diselenggarakan AIPKI pada bulan Februari 2014 ialah sebanyak 2230 orang, sementara lulusan UKDI pada bulan Mei 2014 adalah sebanyak 1325 orang. Melihat angka tersebut, terbayang ada sekitar 3500 orang lebih dokter di negeri ini yang siap melakukan praktik kedokteran dan mengabdikan dirinya untuk masyarakat namun harus tertunda karena terganjal penerbitan sertifikat kompetensi mereka oleh KDPI yang hingga kini tak kunjung selesai. Kasihan masyarakat di negeri ini, terutama yang berada di daerah-daerah. Karena permasalahan tersebut, mereka yang seharusnya mendapatkan dokter-dokter baru yang berkualitas, hingga saat ini belum mendapatkannya. Sungguh sangat disayangkan bukan? Harusnya pihak IDI segera mendorong agar permasalahan ini selesai, sehingga ribuan dokter ini dapat mengamalkan ilmunya untuk melayani masyarakat guna meningkatkan derajat kesehatan negeri ini.

    Dalam rangka harmonisasi kebijakan di sisi pendidikan dan pelayanan, serta untuk mempertegas aturan pada masa transisi implementasi uji kompetensi dengan sistem baru tersebut, akhirnya Ditjen Dikti dan IDI bersepakat melalui nota kesepahaman (NK) dan perjanjian kerja sama (PKS) tentang pelaksanaan uji kompetensi bagi mahasiswa program profesi dokter. Substansi utama dari NK dan PKS ini adalah kesepakatan untuk mengintegrasikan pelaksanaan uji kompetensi dokter dan uji kompetensi bagi mahasiswa program profesi dokter guna menjamin mutu profesi dokter. 

    Selain itu, Ditjen Dikti dan IDI sudah melakukan berbagai pertemuan koordinasi yang juga melibatkan berbagai pemangku kepentingan utama pendidikan kedokteran, seperti AIPKI dan KKI untuk mendapatkan konsensus untuk solusi atas berbagai permasalahan yang timbul pada masa transisi. Salah satu kesepakatan yang diperoleh adalah bahwa untuk uji kompetensi periode Agustus 2014 akan dilaksanakan oleh panitia nasional yang ditetapkan oleh Dirjen Dikti (sesuai Permendikbud No.30 tahun 2014). Namun pada bulan Juni 2014, IDI tetap menyelenggarakan uji kompetensi nasional untuk mengeluarkan serkom. Persyaratan ujian Juni ini ialah mereka yang telah mendapat ijazah dokter. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada beberapa FK yang mau mengeluarkan ijazah dokter meskipun anak didiknya belum lulus UKDI. Artinya, seorang yang belum teruji di UKDI namun memiliki ijazah oleh kampusnya bisa saja mengikuti ujian ini lalu mendapat serkom. Entah berdasarkan pertimbangan apa ujian ini diselenggarakan, sementara kesepakatan sudah ditetapkan. Terlebih sebelumnya pihak IDI menolak ujian yang diselenggarakan AIPKI dengan dalih belum keluarnya Permendikbud. 

    Memperhatikan banyaknya permasalahan yang terjadi dalam dunia profesi dokter, terutama polemik yang terjadi terkait uji kompetensi belakangan ini, seharusnya membuat kita berbenah bersama demi masyarakat Indonesia yg sehat. Kita harus menyelamatkan dokter Indonesia! Dengan tidak mengutamakan kepentingan kelompok di atas kepentingan bersama. Hilangkan arogansi kelompok dan pamer kekuasaan. Jangan jadikan UKDI sebagai komoditas bisnis tempat meraup keuntungan. Jika setiap kita hanya memikirkan kepentingan masing-masing terus, kapan bangsa ini bisa maju?

    Selamatkan dokter Indonesia! Dengan tetap berusaha untuk menghasilkan dokter yang bukan hanya memenuhi kuantitas saja, tetapi juga memenuhi mutu dan mengikuti proses yang ada. Dokter yang berkualitas menjadi syarat mutlak pelayanan kesehatan, pasalnya bidang ini bergelut dengan nyawa dan kualitas hidup manusia. Oleh karena itu, standardisasi nasional menjadi hal yang diperlukan. Bayangkan saja jika orang terdekat kita sakit dan butuh pertolongan dokter, relakah ia ditangani oleh dokter yang tak kompeten? Relakah ia ditangani oleh dokter yang tidak lulus uji kompetensi? Untuk menghindari kejadian itu, pantaskah kita bertanya pada dokter tersebut apakah ia lulus uji kompetensi? Lulusan UKDI atau UKRK? Lulusan Universitas mana? Untuk mencegah terjadi hal demikian, maka standardisasi dokter nasional menjadi jalan keluar, agar kelak kita bisa mempercayakan pelayanan kesehatan pada seluruh dokter di Indonesia. Terlebih, tahun 2015 kita akan menghadapi liberalisasi pelayanan kesehatan di Asean Economic Community (AEC).

    Meminta pemerintah mempermudah sarjana kedokteran dalam melakukan praktik, tanpa melalui serangkaian uji kompetensi yang memakan waktu hingga biaya agar kebutuhan dokter di Indonesia terpenuhi, sangatlah tidak tepat. Melihat realitas kampus kedokteran yang begitu menjamur dalam 5 tahun terakhir dengan tingkat akreditasi yang masih rendah tentu menjadi sangat berisiko jika pemerintah meniadakan UKDI dan hanya mempercayakan kelulusan dokter untuk bisa berpraktik melalui prosedur masing-masing kampus. Melihat fenomena ujian nasional SMA ataupun SNMPTN/SBMPTN yang dilaksanakan secara nasional, masih saja kita sering menemukan berbagai tindak kecurangan. Kita juga perlu khawatir, bahwa dengan mempercayakan kelulusan dokter untuk bisa berpraktik melalui prosedur masing-masing kampus akan menimbulkan suasana kompetisi di antara FK untuk meningkatkan jumlah lulusan dokter sehingga mendorong FK untuk tidak menilai secara lebih obyektif lagi. Dengan motif meningkatkan mutu dan gengsi masing-masing fakultas, hasil ujian tentu dapat dimanipulasi. 

    Lalu bagaimana nasib mereka yang tidak lulus UKDI? Ada banyak yang depresi akibat ketidakjelasan nasib retaker ini. Mereka perlu mendapat pelaksanaan bimbingan khusus yang dibebankan kepada institusi pendidikan / FK masing-masing. Jika para dokter dibimbing secara benar, seharusnya mereka bisa lulus. Namun, jika sudah diberi bimbingan secara benar namun tidak lulus, masih tetap ada solusi untuk para dokter ini. Mereka bisa diarahkan untuk menjalankan profesi non klinis seperti peneliti, atau melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya. Apa yang sudah diperjuangkan oleh para dokter ini jangan dihentikan. 

    Jika mereka tidak lulus karena standar pendidikannya kurang baik, ini juga bukan sepenuhnya salah mereka. Jika mereka tidak lulus, nantinya Dikti juga harus ikut bertanggung jawab. Dikti perlu memberi sanksi kepada FK di kampus-kampus yang menunjukkan kualitas tidak baik. Kualitas tidak baik itu bisa tampak dari rata-rata kelulusan mahasiswa FK dalam mengikuti UKDI. Sanksi harus dikembalikan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sanksi bisa diawali dengan penurunan kuota. Bahkan, bisa juga penutupan FK tersebut sekaligus, jika kampus tidak mampu mengoperasikan FK-nya secara benar.

    Selamatkan dokter Indonesia! Profesi kedokteran adalah profesi kebersamaan, baik dari segi kerja maupun figuritas setiap individu yang ada di dalamnya. Kebaikan dan keteladanan diri diperlukan, sebab kelalaian yang dilakukan personal dapat menimbulkan stigma profesi secara keseluruhan. Bila satu dokter yang tidak kompeten diketahui melakukan malpraktik, yang tercoreng namanya tidak hanya dokter tersebut atau asal kampusnya, melainkan seluruh dokter di Indonesia! Terlebih jika media memberitakannya secara berlebihan sehingga terciptalah pandangan-pandangan negatif terhadap dokter Indonesia. Untuk itu, bersungguh-sungguhlah untuk menjadi dokter yang berkualitas, dokter yang teruji kompetensinya lewat standardisasi nasional.

    Selamatkan dokter Indonesia! Jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga.