Hari ini tepat setahun Aristyani Dwi Rahmani membersamaiku sebagai seorang istri. Aku masih ingat benar ketika aku menikahinya, itu adalah tepat di pertemuan tatap muka kami yang ke 30. Sebuah proses yang mengawali perjalanan kami pun dapat dibilang di luar perkiraan kami sebelumnya. Namun bagaimanapun, kami yakin bahwa pertemuan kami bukanlah sebuah kebetulan. Ketetapan Allah yang membuat langkah kami saling tertuju. Satu yang aku sadari betul, bahwa hadirnya menjadi jawaban atas doa yang senantiasa aku panjatkan terkait pendamping hidup. Allah menjawabnya persis sesuai dengan pintaku pada Nya. Maka tentulah perkara jodoh ini, menjadi satu hal yang sangat aku syukuri dalam hidup.
Label: catatan perjalanan, ehm..cinta, kenangan
Label: hidup mahasiswa, kedokteran, pemikiran
Aku masih ingat betul, setiap aku pulang sekolah dulu, teriakan kedua setelah salam ketika masuk rumah adalah, " Bu, masak apa hari ini ? " . Masakan khas Ibu bagiku memang memiliki daya tarik tersendiri. Ada hal irasional yang mampu memperkuat cita rasa apapun yang dimasak Ibu. Tak heran, dulu aku hanya mau makan sayur yang dibuat ibuku, diluar itu bukan perkara mudah bagiku untuk mau makan sayuran. Melihat dari sosok ibuku, dulu aku berpikir bahwa semua ibu tentunya pintar memasak. Memasak seolah menjadi pekerjaan yang identik dengan kaum wanita. Namun semakin beranjak dewasa, aku menemui kenyataan bahwa tidak semua wanita mahir memasak, bahkan sebagian dari mereka memang tidak menyukai bidang itu.
Tentunya ada banyak alasan mengapa sebagian wanita tidak suka memasak, mulai dari ketidakmampuannya di bidang tersebut, lebih baik mengerjakan hal lain yang lebih produktif, kesetaraan gender, bahkan hingga tidak adanya aturan yang tertuang dalam Al Quran dan hadist mengenai perkara tersebut. Mengenai alasan ini, tak perlulah kita memperdebatkan karena bukan itu tujuan dibuatnya tulisan ini. Dulu sebelum menikah, kemampuan memasak tak menjadi kriteriaku dalam mencari istri. Tapi jika ditanya tentang harapan, tentunya memiliki istri yang bisa memasak adalah harapan kebanyakan pria pada umumnya.
Keahlian dalam memasak bagiku adalah pembeda yang unik, ia adalah salah satu magnet yang mendekatkan seorang suami dengan rumahnya. Meskipun ia menemukan banyak makanan yang terlihat enak di luar, ia tetap akan lebih menyukai masakan yang ada di rumah. Karena ia mengetahui siapa yang memasaknya, mengetahui akan kebersihannya dan mengetahui dengan uang apa itu semua dibeli. Wanita yang mampu memasak jika telah berkeluarga maka ia akan menjadi perekat di keluarganya, ia menjadi faktor yang membahagiakan suami dan anak-anak melalui masakan yang dibuat. Dengan masakan tersebut, keluarga dapat bercengkrama bersama menikmati hidangan yang disajikan. Saat berkumpul itulah timbul kedekatan-kedekatan di antara anggota-anggota keluarga.
Selain itu, seorang wanita jika bisa memasak maka saat ia berperan sebagai seorang istri, ia akan mampu menghemat pengeluaran keluarga. Tapi jika tidak mampu memasak dan hanya mengandalkan masakan yang dijual di warung, maka itu akan menyebabkan pengeluaran yang besar di keluarga. Mari kita coba hitung, harga satu porsi masakan standar yang dijual di warung berkisar Rp 8000 – Rp. 15.000. Kita ambil harga pertengahan saja: Rp 10.000, maka bayangkan berapa anggaran dana yang dibutuhkan oleh satu keluarga dengan 3 orang anak untuk makan 3 kali dalam 1 hari yaitu 5 x 3 x Rp 10.000 = Rp 150.000 / hari. Dalam sebulan dibutuhkan dana sebesar; Rp 150.000 x 30 hari = Rp. 4.500.000. Hanya untuk makan, angka tersebut termasuk cukup besar bukan? Untuk wanita yang cerdas dan bisa memasak, angka sebesar itu mungkin bisa dibelikan ke berbagai bahan mentah untuk membuat lebih banyak variasi masakan, dan tentu saja untuk jangka waktu yang juga lebih lama.
Memang tidak kita pungkiri bahwa ada banyak keluarga dengan penghasilan yang besar, sehingga jumlah uang 4,5 juta untuk membeli makanan bagi mereka adalah kecil. Bahkan sebagian mampu menyediakan pembantu yang ditugaskan untuk memasak di rumah. Tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja bagiku mungkin ada kehangatan yang hilang di meja makan. Ketika masakan yang dibeli atau dimasak pembantu begitu enak, seorang suami atau anak-anak akan berkomentar, “wah masakan si mbok enak banget ya ”. Akan terasa beda jika komentar yang muncul adalah, “wah masakan Ibu enak banget, besok masak lagi ya bu ”. Terasa berbeda bukan? Cinta bisa lebih mekar salah satunya lewat masakan yang dihidangkan.
Lalu apakah kemampuan memasak bagi seorang wanita itu adalah sebuah kerangka sosial yang terbentuk, atau memang kodrat seorang wanita? Terlepas dari itu, bagiku seorang wanita perlu bisa memasak, tidak harus mahir. Asin-asin sedikit tidak apalah, tetap akan masih dipuji oleh seorang suami yang beriman. Tidak sehebat koki pun tak masalah, asal ada kemauan untuk terus belajar. Apalagi di zaman serba canggih, resep masakan apa saja tinggal cari di Google. Jangan pernah putus asa ketika ada gorengan yang hangus, tumisan yang hambar, gulai yang asin dan kehancuran fatal lainnya dalam memasak, itu semua biasa saja. Sungguh tidak ada kata terlambat untuk belajar, apalagi untuk belajar memasak. Belajarlah untuk membedakan mana jahe mana lengkuas, mana merica dan mana ketumbar, supaya tidak menjadi istri yang berguguran di dapur.
Akupun teringat ketika pertama kali istri menghidangkan masakan perdananya padaku, tak banyak ekspektasiku pada saat itu, yang pasti aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadirkan ekspresi terbaik ku untuk menghargai dan menyenangkan hatinya. Selepas menyantap hidangan aku memang dibuat cukup kaget, hasilnya diluar ekspektasi. Aku yang tak berharap banyak dari masakan istriku ternyata mendapat hidangan yang nikmat untuk disantap. Alhamdulillah, walau kemampuan memasak tak menjadi kriteriaku dalam memilih istri, Allah hadirkan itu dalam kehidupan ku. Tiap hari aku melihat istri terus berproses dalam melatih kemampuan memasaknya, mulai dari mendata makanan apa yang aku suka dan tidak suka, belajar dari buku-buku resep, google, teman-temannya, hingga berlatih masak dari mama dan ibu mertuanya. Sekarang hingga ia punya daftar varian menu yang bisa aku pilih setiap harinya. Aku pikir nampaknya tak ada yang tak senang diperlakukan seperti ini bukan?. Lebih dari hidangan, masakan adalah bahasa perasaan. Maka cita rasa tak semata hasil olah bumbu dan bahan. Ada rasa di balik rasa. Dan cinta adalah rahasia yang kuat dibalik rasa. :)
Label: pemikiran
Kematian, salah satu mozaik perenungan yang amat nyata bagi kita yang masih diberikan kesempatan hidup. Setidaknya kalimat itulah yang kembali terbersit di pikiranku hari ini, mengantarkan berpulangnya salah seorang sosok pekerja keras nan bersahaja, Bapak Toha. Kehadiran beliau selama hidupnya mungkin tak banyak dirasakan sebagian besar kita, namun ketika kini beliau tiada, banyak yang merasa kehilangan, setidaknya oleh sebagian besar warga kampus Universitas Padjadjaran (Unpad). Berita kematian beliau menyebar cepat di kalangan mahasiswa dan Alumni Unpad. Media twitter ramai membicarakan sosok dan memberikan ucapan belasungkawa terhadapnya, bahkan ramai kontak BBM ku mengubah display picture mereka dengan foto PaToha, mulai dari angkatan diatasku, hingga mahasiswa angkatan 2012. Beliau bukan pejabat kampus atau dosen, bahkan bukan pula karyawan Unpad. Beliau hanyalah seorang penjual tali sepatu dan koran di wilayah sekitaran kampus Universitas Padjadjaran, yang dagangannya pun jarang laku.
Aku pun sebenarnya tak mengenal betul Bapak satu ini. Awalnya aku sering melihatnya di gerbang kampus ketika sang Bapak menjajakan barang dagangannya, hingga kembali sering bertemu dengan beliau di Fakultas Kedokteran, tempat aku menjalankan kuliah dulu. Kembali sering kulihat sang Bapak rajin menjajakan dagangannya di plaza FK, sesekali mendatangi saung-saung tempat berkumpulnya mahasiswa untuk menawarkan barang dagangannya, dan tak jarang kulihat usahanya banyak mendapatkan penolakan. Wajar lah aku pikir, pada saat ini, berapa banyak sih orang yang memerlukan tali sepatu? Di kantin FK Unpad juga aku sering melihat beliau menjajakan dagangannya, bahkan sesekali ia pun menawarkan dagangannya padaku. Untuk tali sepatu memang aku jarang memerlukannya, biasanya yang aku beli koran dari Bapak tersebut. Harga yang ditawarkan 3000 biasa aku bayar 5000, dan tahukah kita dengan margin keuntungan yang tak begitu besar di dapat Pak Toha, ungkapan syukur begitu mendalam tampak dari Bapak tersebut. Sebuah pembelajaran bagi kita yang masih banyak lupa bersyukur atas berbagai kecukupan yang Allah berikan.
Aku juga sering bertemu dengan Pa Toha di mushalla kompleks UKM Barat. Ketika rehat dari rapat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di waktu Ashar, terlihat sesekali Pa Toha merebahkan badannya yang kelelahan di mushalla tersebut. Pun ketika waktu maghrib tiba, selepas berkegiatan di sekre BEM Unpad, ketika shalat maghrib Pa Toha masih ada di mushalla tersebut dan ikut shalat berjamaah. Bahkan, sesekali ketika aku pulang larut malam dan menyempatkan shalat isya selepas menjalankan amanah di BEM, aku melihat Pa Toha tertidur di salah satu sudut ruangan mushalla tersebut. Sering sekali Pa Toha berada di mushalla kompleks UKM Barat ini, bahkan sesekali aku sempat memergoki beliau sedang membereskan mushalla ini. Sempat heran dengan keberadaan Bapak satu ini di mushalla tersebut, ternyata dari informasi yang belakangan ini aku tahu, mushalla di kompleks UKM Barat ini menjadi tempat tinggalnya di Jatinangor, sebelum ia pulang ke Garut ke daerah asalnya ketika sudah memiliki cukup uang untuk menghidupi keluarganya disana. Katanya Pa Toha punya 12 orang anak, 5 orang anak sudah berkeluarga dan sudah tinggal jauh darinya. Jangankan membantu ekonomi Pa Toha, ke 5 orang anaknya tadi mesti berjibaku menghadapi kehidupan keluarga mereka yang masih serba kekurangan. Sementara 7 orang anak yang lainnya masih menjadi tanggungan Pa Toha untuk di sekolahkan. Selama uangnya belum mencukupi untuk dibawa ke kampung halaman, maka mushalla kompleks UKM Barat ini jadi tempat yang menemani sepi dan lelah Pa Toha setiap harinya. Besar harapnya untuk menjadi petugas kebersihan di Unpad, merapihkan dan menjaga mushalla yang disinggahinya, namun apa daya, usia lanjutnya tak sesuai dengan kriteria karyawan yang diterima Unpad. Alhasil, tenaga yang dikeluarkan untuk membersihkan dan merapikan mushalla ibarat menjadi bayaran sewa mushalla yang selama ini ia singgahi.
Kerja keras dan tanggung jawab Pa Toha adalah kisah yang harus kita teladani. Ditengah ketidakberdayaannya, bagiku Pa Toha adalah sosok pria sejati. Menjalankan komitmen terhadap keluarga dengan menjaga harga diri. Ketika masih banyak kita lihat di jalanan orang-orang yang masih berdaya namun hanya mengandalkan meminta-minta, Pa Toha ditengah kerentaannya masih sungguh-sungguh berjuang di atas kakinya sendiri. Sesekali kulihat tatapan kosong dan putus asa Pa Toha atas lelah dari jualannya yang jarang laku. Namun itu hanya jeda, untuk kemudian ia melanjutkan siklus perjuangan hidupnya di keesokan hari. Kembali hal ini pun menjadi pelajaran bagi kita, yang masih banyak bermalas-malasan dan banyak bergantung pada orang lain. Ditengah keberdayaan kita, nampaknya kita mengkerdilkan diri sendiri dengan sikap manja dan ketakutan menghadapi tantangan hidup yang ada, padahal kita masih muda. Hal lain yang sangat aku kagumi dari beliau, ditengah serba keterbatasannya, semangat berbaginya sangatlah mulia. Di Garut sana ia mendirikan sebuah madrasah, Al Insan namanya, tempat belajar dan mengaji anak-anak di sekitar daerahnya. Sungguh harusnya kita dibuat malu, jika ditengah kelapangan dan serba kecukupan kita, tak ada keinginan berbagi, memberi. Padahal sejatinya dalam diri setiap kita ada hak orang lain yang membutuhkan yang harus kita penuhi. Pa Toha, seorang yang memberikan arti mendalam bagi setiap kita yang masih bisa merasa. Semoga kepergiannya khusnul khatimah, di Jumat terakhir bulan Ramadhan ini, waktu yang begitu mulia.
Cerita serupa ingin aku sampaikan tentang seorang pedagang tahu keliling di komplek ku, Mang Ahyar namanya. Aku pun memang tak mengenal beliau, tapi mendengar ceritanya dari ibuku sedikitnya menggambarkan bagaimana sosok tersebut. Seorang pedagang yang ramah dan pintar berkomunikasi, seorang ceria yang senantiasa menyisipkan canda dan humor dalam setiap perjumpaannya, juga mengutamakan kepuasan dan kepercayaan pembeli. Di penghujung usia karena sakit jantung yang dideritanya, tahukah kita berapa orang yang melayatnya? Ratusan jumlahnya! Para pelanggan tahu dari hampir 4 komplek perumahan beramai-ramai beriringan melayat ke rumahnya. Rumahnya yang kecil tentunya tampak penuh sesak dengan ratusan orang yang melayat sang pedagang tadi.
Pa Toha dan Mang Ahyar adalah dua sosok yang memberikanku pelajaran, bahwa keberartian hidup bukan berasal dari harta, kepandaian atau keterampilan yang kita pelajari, melainkan dari akhlak yang baik yang akan menjadi penyenang hati setiap kita. Semoga aku menjadi pribadi yang ketika dilahirkan aku menangis sementara yang lain tersenyum, dan sepeninggalanku nanti, orang-orang menangisi kepergianku, namun aku tersenyum.
Sambutan Sumpah Dokter, Dari Saya Untuk Angkatan Tercinta, FK UNPAD 2007
Diposting oleh danfer di 21.59
Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda, “3 orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya” (HR. Thabrani)
Dinda, ingin rasanya aku raih pertolongan Allah dengan menjadi ketiganya. Menikahimu, adalah keberanian menentukan sikap, bukan menunggu waktu hingga datang kedewasaan bersikap, menuju Mitsaqan Ghaliza, perjanjian yang kokoh yang dalam Al Qur'an kata mitsaqan ghaliza hanya dipakai 3 kali saja, yakni ketika Allah SWT membuat perjanjian dengan para Nabi, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (Al Ahzab 73:7), ketika Allah SWT mengangkat bukit Thur di atas kepala bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia pada Allah (An Nissa 4:154) dan ketika Allah SWT menyatakan hubungan pernikahan (An Nissa 4:21).
*tulisan yang juga menjadi kado, untuk yang sedang rindu, merencanakan, akan melangsungkan, atau baru saja menjalankan pernikahan. Celoteh kecil dari pribadi yang sedang belajar, untuk menasihati setidaknya dirinya sendiri.*
Label: ehm..cinta, pemikiran