Kematian, salah satu mozaik perenungan yang amat nyata bagi kita yang masih diberikan kesempatan hidup. Setidaknya kalimat itulah yang kembali terbersit di pikiranku hari ini, mengantarkan berpulangnya salah seorang sosok pekerja keras nan bersahaja, Bapak Toha. Kehadiran beliau selama hidupnya mungkin tak banyak dirasakan sebagian besar kita, namun ketika kini beliau tiada, banyak yang merasa kehilangan, setidaknya oleh sebagian besar warga kampus Universitas Padjadjaran (Unpad). Berita kematian beliau menyebar cepat di kalangan mahasiswa dan Alumni Unpad. Media twitter ramai membicarakan sosok dan memberikan ucapan belasungkawa terhadapnya, bahkan ramai kontak BBM ku mengubah
display picture mereka dengan foto PaToha, mulai dari angkatan diatasku, hingga mahasiswa angkatan 2012. Beliau bukan pejabat kampus atau dosen, bahkan bukan pula karyawan Unpad. Beliau hanyalah seorang penjual tali sepatu dan koran di wilayah sekitaran kampus Universitas Padjadjaran, yang dagangannya pun jarang laku.
Aku pun sebenarnya tak mengenal betul Bapak satu ini. Awalnya aku sering melihatnya di gerbang kampus ketika sang Bapak menjajakan barang dagangannya, hingga kembali sering bertemu dengan beliau di Fakultas Kedokteran, tempat aku menjalankan kuliah dulu. Kembali sering kulihat sang Bapak rajin menjajakan dagangannya di plaza FK, sesekali mendatangi saung-saung tempat berkumpulnya mahasiswa untuk menawarkan barang dagangannya, dan tak jarang kulihat usahanya banyak mendapatkan penolakan. Wajar lah aku pikir, pada saat ini, berapa banyak sih orang yang memerlukan tali sepatu? Di kantin FK Unpad juga aku sering melihat beliau menjajakan dagangannya, bahkan sesekali ia pun menawarkan dagangannya padaku. Untuk tali sepatu memang aku jarang memerlukannya, biasanya yang aku beli koran dari Bapak tersebut. Harga yang ditawarkan 3000 biasa aku bayar 5000, dan tahukah kita dengan margin keuntungan yang tak begitu besar di dapat Pak Toha, ungkapan syukur begitu mendalam tampak dari Bapak tersebut. Sebuah pembelajaran bagi kita yang masih banyak lupa bersyukur atas berbagai kecukupan yang Allah berikan.
Aku juga sering bertemu dengan Pa Toha di mushalla kompleks UKM Barat. Ketika rehat dari rapat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di waktu Ashar, terlihat sesekali Pa Toha merebahkan badannya yang kelelahan di mushalla tersebut. Pun ketika waktu maghrib tiba, selepas berkegiatan di sekre BEM Unpad, ketika shalat maghrib Pa Toha masih ada di mushalla tersebut dan ikut shalat berjamaah. Bahkan, sesekali ketika aku pulang larut malam dan menyempatkan shalat isya selepas menjalankan amanah di BEM, aku melihat Pa Toha tertidur di salah satu sudut ruangan mushalla tersebut. Sering sekali Pa Toha berada di mushalla kompleks UKM Barat ini, bahkan sesekali aku sempat memergoki beliau sedang membereskan mushalla ini. Sempat heran dengan keberadaan Bapak satu ini di mushalla tersebut, ternyata dari informasi yang belakangan ini aku tahu, mushalla di kompleks UKM Barat ini menjadi tempat tinggalnya di Jatinangor, sebelum ia pulang ke Garut ke daerah asalnya ketika sudah memiliki cukup uang untuk menghidupi keluarganya disana. Katanya Pa Toha punya 12 orang anak, 5 orang anak sudah berkeluarga dan sudah tinggal jauh darinya. Jangankan membantu ekonomi Pa Toha, ke 5 orang anaknya tadi mesti berjibaku menghadapi kehidupan keluarga mereka yang masih serba kekurangan. Sementara 7 orang anak yang lainnya masih menjadi tanggungan Pa Toha untuk di sekolahkan. Selama uangnya belum mencukupi untuk dibawa ke kampung halaman, maka mushalla kompleks UKM Barat ini jadi tempat yang menemani sepi dan lelah Pa Toha setiap harinya. Besar harapnya untuk menjadi petugas kebersihan di Unpad, merapihkan dan menjaga mushalla yang disinggahinya, namun apa daya, usia lanjutnya tak sesuai dengan kriteria karyawan yang diterima Unpad. Alhasil, tenaga yang dikeluarkan untuk membersihkan dan merapikan mushalla ibarat menjadi bayaran sewa mushalla yang selama ini ia singgahi.
Kerja keras dan tanggung jawab Pa Toha adalah kisah yang harus kita teladani. Ditengah ketidakberdayaannya, bagiku Pa Toha adalah sosok pria sejati. Menjalankan komitmen terhadap keluarga dengan menjaga harga diri. Ketika masih banyak kita lihat di jalanan orang-orang yang masih berdaya namun hanya mengandalkan meminta-minta, Pa Toha ditengah kerentaannya masih sungguh-sungguh berjuang di atas kakinya sendiri. Sesekali kulihat tatapan kosong dan putus asa Pa Toha atas lelah dari jualannya yang jarang laku. Namun itu hanya jeda, untuk kemudian ia melanjutkan siklus perjuangan hidupnya di keesokan hari. Kembali hal ini pun menjadi pelajaran bagi kita, yang masih banyak bermalas-malasan dan banyak bergantung pada orang lain. Ditengah keberdayaan kita, nampaknya kita mengkerdilkan diri sendiri dengan sikap manja dan ketakutan menghadapi tantangan hidup yang ada, padahal kita masih muda. Hal lain yang sangat aku kagumi dari beliau, ditengah serba keterbatasannya, semangat berbaginya sangatlah mulia. Di Garut sana ia mendirikan sebuah madrasah, Al Insan namanya, tempat belajar dan mengaji anak-anak di sekitar daerahnya. Sungguh harusnya kita dibuat malu, jika ditengah kelapangan dan serba kecukupan kita, tak ada keinginan berbagi, memberi. Padahal sejatinya dalam diri setiap kita ada hak orang lain yang membutuhkan yang harus kita penuhi. Pa Toha, seorang yang memberikan arti mendalam bagi setiap kita yang masih bisa merasa. Semoga kepergiannya khusnul khatimah, di Jumat terakhir bulan Ramadhan ini, waktu yang begitu mulia.
Cerita serupa ingin aku sampaikan tentang seorang pedagang tahu keliling di komplek ku, Mang Ahyar namanya. Aku pun memang tak mengenal beliau, tapi mendengar ceritanya dari ibuku sedikitnya menggambarkan bagaimana sosok tersebut. Seorang pedagang yang ramah dan pintar berkomunikasi, seorang ceria yang senantiasa menyisipkan canda dan humor dalam setiap perjumpaannya, juga mengutamakan kepuasan dan kepercayaan pembeli. Di penghujung usia karena sakit jantung yang dideritanya, tahukah kita berapa orang yang melayatnya? Ratusan jumlahnya! Para pelanggan tahu dari hampir 4 komplek perumahan beramai-ramai beriringan melayat ke rumahnya. Rumahnya yang kecil tentunya tampak penuh sesak dengan ratusan orang yang melayat sang pedagang tadi.
Pa Toha dan Mang Ahyar adalah dua sosok yang memberikanku pelajaran, bahwa
keberartian hidup bukan berasal dari harta, kepandaian atau keterampilan yang kita pelajari, melainkan dari akhlak yang baik yang akan menjadi penyenang hati setiap kita. Semoga aku menjadi pribadi yang ketika dilahirkan aku menangis sementara yang lain tersenyum, dan sepeninggalanku nanti, orang-orang menangisi kepergianku, namun aku tersenyum.