" Aku berjanji nak, kelak akan selalu ada waktu, bukan hanya untuk mendengar ceritamu di hari ini, lebih dari itu, aku akan mendidikmu banyak hal, terlepas dari seberapa lelah dan sesibuk apa aku hari ini."
Ini tak sekedar janjiku padamu nak, lebih dari itu. Ini adalah bukti kesungguhan akan kewajiban yang Allah perintahkan. Ingin aku tunjukkan pada dunia, bahwa masih ada pria di jaman kini yang menjalankan peran fitrah yang Allah telah perintahkan.
Nanti engkau akan lihat sekitar, seberapa banyak pria hebat diluar sana yang sukses dengan karirnya, berhasil dalam menafkahi keluarganya, namun terkadang tak punya banyak waktu berkualitas untuk keluarganya, terlebih untuk mendidik anak-anak nya. Tanggung jawab ini kerap ditangguhkan, lantas didelegasikan kepada sosok wanita dengan peran ibu. Dan yang lebih miris dari itu, terkadang amanah Allah ini kerap dilimpahkan kepada orang lain, baik itu guru ngaji, sekolah, hingga pengasuh anak.
Ketahuilah nak, bahwa sudah menjadi persepsi umum di masyarakat kita, bahwa amanah mendidik seolah ada di tangan ibu. Wanita yang kini kebanyakan kita 'judge' punya tanggung jawab mendidik dan membentuk generasi penerus bangsa ini. Mereka yang kemudian banyak disalahkan ketika kita melihat seseorang melakukan kesalahan.
Entah dari mana mulanya, dunia kini seolah menekankan pada kita bahwa seorang pria kelak akan menjadi ayah dan punya kewajiban memimpin dan menafkahi keluarganya, sibuk dengan urusan nya diluar rumah, sementara seorang wanita kelak akan menjadi ibu dan punya beban dengan semua urusan anak-anak.
Padahal tahu kah kau nak, bahwa hingga saat ini aku tak pernah menemukan satu ayat pun yang memotret momen pendidikan dari para ibu, kecuali adanya perintah menyusui (tanpa menafikan tugas amar ma’ruf nahi mungkar yang sifatnya umum, baik untuk laki-laki maupun perempuan). Praktik pendidikan kaum muslimin dan para ulama pendahulu kita, seperti yang aku temukan di Qur'an, Hadist, maupun kisah ulama-ulama selalu menempatkan peran mendidik ini pada sosok pria, seorang ayah.
Ingin aku ceritakan padamu tentang Luqman Al-Hakim, dia bukan seorang Nabi atau Rasul, bukan seorang Mujahid yang waktunya dihabiskan di medan peperangan membela agama Allah, bukan pula ulama besar, dia hanyalah seorang lelaki Habsiy yang berkulit hitam dan berprofesi sebagai An-Najjar (tukang kayu) tapi subhanallah derajatnya sungguh mulia di sisi Allah sehingga namanya di abadikan dalam Kitab suci Al-Qur’an menjadi nama dari surah yang ke 31, salah satu yang paling menonjol dari seorang Luqman Al-Hakim adalah nasehat-nasehatnya yang penuh hikmah yang dia tujukan khusus kepada anak lelakinya.
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." QS. Luqman (31) ayat 13
Ayat ini, bersama dengan ayat-ayat serupa (al-Baqarah 132, Yusuf 67) bercerita tentang para ayah (Luqman, Nabi Ya’kub, dan Nabi Ibrahim) yang sedang mendidik anak-anaknya. Sekali lagi, ternyata proses pendidikan (dalam keluarga) yang digambarkan melalui al-Qur’an dilakukan oleh para ayah.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda, “Seorang ayah yang mendidik anak-anaknya adalah lebih baik daripada bersedekah sebesar 1 sa’ di jalan Allah.” Bahkan Nabi pun mencontohkan, bahkan ketika beliau sedang disibukkan dengan urusan menghadap Allah SWT (shalat), beliau tidak menyuruh orang lain (atau kaum perempuan) untuk menjaga kedua cucunya yang masih kanak-kanak, Hasan dan Husain. Bagi Nabi, setiap waktu yang dilalui bersama kedua cucunya adalah kesempatan untuk mendidik, termasuk ketika beliau sedang shalat.
Banyak juga contoh bagaimana para ulama kita menyediakan waktu untuk pendidikan putri-putrinya sebagaimana mereka meluangkan waktu untuk tugas-tugas lainnya. Ingin aku ambilkan beberapa contoh. Didapati dari riwayat pakar pendidikan Islam Ibnu Sahnun (256H). Disebutkannya, Hakim Isa bin Miskin selalu memanggil dua putrinya setelah shalat Ashar untuk diajari al-Qur’an dan ilmu pengetahuan lainnya. Demikian pula dengan Asad bin al-Furat, panglima perang yang menaklukkan kota Sicily, ternyata juga mendidik sendiri putrinya. Syaikhul Islam Abu Abbas Ahmad bin Abdillah al-Maghribi al-Fasi (560 H) juga tercatat mengajari putrinya 7 (tujuh) cara baca al-Qur’an, serta buku-buku hadits seperti Bukhari dan Muslim.
Dari beberapa contoh di atas bisa kita lihat, bahkan untuk pendidikan anak perempuan sekalipun, para ulama tidak melemparkan tanggung jawab kepada istri-istrinya. Begitu intensifnya peran ayah dalam pendidikan anak-anaknya, hingga tatkala menjelang sakaratul maut pun, seorang ayah yang baik memastikan sejauh mana keberhasilannya dalam mendidik anak-anaknya dengan bertanya kepada mereka, "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" (maa ta'buduuna min ba'dii, al-Baqarah 133).
Aku fikir, mungkin saja jika kenakalan remaja dan kerusakan generasi di masa kini menjadi kian parah, sebab, para ayah hebat kita—pengacara terkenal, hakim agung, pengusaha sukses, dokter handal, termasuk beberapa ustadz yang luar biasa dalam dakwah—terlalu sibuk mendidik orang lain dan menyepelekan kewajiban untuk mendidik anak-anaknya.
Dan untuk itu nak, kelak walau aku menjadi seorang dokter yang sangat sibuk, sibuk mendidik para mahasiswa kedokteran dan bahkan berceramah keliling nusantara, sibuk mengerjakan dan memegang amanah negara, sibuk mengabdikan diri untuk bangsa dan masyarakat ini, semoga kelak tak membuat diri ini begitu loyo dan beralasan tidak punya waktu ketika harus mendidik anak-anak ku sendiri.
Berbincang dengan mu, memunculkan semangat baru bagiku untuk menjalani hari esok, dengan mengajari mu, membuatku terus mempelajari ilmu dan berintegritas atas apa yang aku sampaikan. Dengan mendengar aktifitas mu hari ini dan bercerita padamu tentang aktifitasku, kelak bisa menumbukan inspirasi bagimu untuk bisa jadi jauh lebih baik dari ku kelak.
Mengapa aku sampaikan ini padamu? Untuk mengubah paradigma keliru, bahwa sejatinya mendidikmu adalah tanggung jawab ku, ayah dari anak yang dilahirkan oleh istriku, ibumu.
#sebuah pemikiran random
(tiba-tiba ingin nulis tentang ini)
Dani Ferdian
Bandung, 29 Januari 2012 22:50
0 komentar:
Posting Komentar