Satu Tahun Merayakan Cinta

Hari ini tepat setahun Aristyani Dwi Rahmani membersamaiku sebagai seorang istri. Aku masih ingat benar ketika aku menikahinya, itu adalah tepat di pertemuan tatap muka kami yang ke 30. Sebuah proses yang mengawali perjalanan kami pun dapat dibilang di luar perkiraan kami sebelumnya. Namun bagaimanapun, kami yakin bahwa pertemuan kami bukanlah sebuah kebetulan. Ketetapan Allah yang membuat langkah kami saling tertuju. Satu yang aku sadari betul, bahwa hadirnya menjadi jawaban atas doa yang senantiasa aku panjatkan terkait pendamping hidup. Allah menjawabnya persis sesuai dengan pintaku pada Nya. Maka tentulah perkara jodoh ini, menjadi satu hal yang sangat aku syukuri dalam hidup. 


Menjalani hidup setelah pernikahan tentunya berbeda. Bagiku, menjalani hidup kini tak lagi semata tentang diri sendiri, melainkan juga tanggung jawab terhadap istri dan anak-anak kelak. Suamilah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt tentang keluarganya. Menjalani hidup setelah pernikahan, bagiku tentu semakin memantik diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik, senantiasa terdorong untuk menjadi teladan dan pembimbing yang baik bagi keluarga. Alhamdulillah selama satu tahun membersamai, istri punya kesabaran dan keikhlasan yang baik dalam menemani proses pembelajaranku sebagai seorang kepala keluarga. Aku kemudian menyadari, tak heran jika kemudian ada yang berkata di balik kesuksesan seorang pria ada wanita hebat yang menemaninya. Aku merasakan bahwa kemampuan bertumbuhku, tak terlepas dari peran sang istri.

Semenjak menikah, istri langsung hijrah menemaniku untuk tinggal di Bandung, memulai kehidupan baru berkeluarga dan belajar mandiri untuk lepas dari orang tua. Aku sangat menghargai keputusannya, pasalnya tidak semua orang setelah menikah mau diajak untuk tinggal dan terlepas dari orang tua, menemui lingkungan baru, orang baru, dunia baru yang mungkin jauh berbeda dibanding kehidupan sebelumnya. Mengawali kehidupan baru, kami memilih mengontrak sebuah rumah di perbatasan kawasan Bandung Timur dan Sumedang. Setelah satu tahun mengontrak, alhamdulillah kini kami sedang belajar menyicil sebuah rumah di kawasan Bandung Timur. Mengapa kami tak tinggal di rumah orang tua saja? Padahal rumah orang tua pun masih cukup seandainya kami tinggal disana. Mengapa malah memilih mengeluarkan biaya tambahan untuk mengontrak rumah padahal aku pun masih hidup dengan pendapatan pokok gaji dokter internship yang masih 1,2 juta per bulan pada saat itu. 

Kami memilih untuk tinggal tak serumah dengan orang tua agar kami bisa mengatur sendiri roda rumah tangga, kami bisa belajar secara lebih leluasa untuk saling mengenal, memahami secara lebih baik dan sekaligus membina kepekaan. Ketika suami istri merasakan peluh perjuangan dalam meletakkan fondasi keluarga, insya Allah akan dapat mengokohkan arah dan misi pernikahan. Dengan tempat tinggal yang terpisah dari orang lain, insya Allah kami bisa lebih menghayati bagaimana membangun kekuatan jiwa untuk membentuk orientasi yang kokoh. Dalam rumah sederhana yang kami atur sendiri kami mempunyai kesempatan untuk menguati dan melengkapi. Melengkapi secara fisik dengan peralatan rumah tangga yang diperlukan, maupun melengkapi secara psikis dengan hati yang menerima, jiwa yang rela dan kesediaan untuk berjuang bersama- sama. Bagi istriku, ini adalah langkah untuk memulai satu warna kehidupan rumah tangga yang baru bersamaku, suaminya. Ia belajar mengatur rumah tangga sekaligus menyelami pikiran, semangat, dan perasaanku. Sehingga ia bisa betul-betul mengenal suaminya dengan baik. Bagiku ini sangat penting bagi kelangsungan kehidupan rumah tangga yang sejuk dan penuh kasih sayang sesuai dengan keunikan pribadi masing-masing, sejauh tidak melanggar batas-batas agama.

Di awal kehidupan menikah, aku masih harus menunaikan amanahku untuk menyelesaikan kewajiban internshipku selama kurang lebih satu tahun di Rumah Sakit Daerah dan Puskesmas di Kota Bandung. Tak jarang ketika bertugas di bagian Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit, istri sering aku tinggal seorang diri di rumah hingga larut malam. Kesabaran dan keikhlasan yang mungkin kembali membuatnya bertahan di zona baru yang mungkin dirasa tidak nyaman. Setelah menikah istri memang memilih untuk menjadi ibu rumah tanggga. Untuk sebagian orang, mereka mungkin menyayangkan seorang dokter gigi lulusan Universitas Indonesia memilih memfokuskan dirinya untuk menjadi ibu rumah tangga. Namun berbeda denganku, bagiku menjadi seorang ibu rumah tangga adalah pekerjaan mulia yang juga tak mudah. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin baik untuk menjadi ibu rumah tangga, tak ada yang sia-sia. Pola pikir dan wawasan yang terbangun dari pendidikan tinggi amat bermanfaat sebagai bekal dalam membesarkan anak dan mengurus rumah tangga. Lalu bagaimana dengan tanggung jawab keilmuannya jika menjadi ibu rumah tangga? Istriku masih menjalankan praktik dokter giginya tanpa mengganggu fokusnya sebagai ibu rumah tangga. Dokter gigi adalah pekerjaan sampingannya. 

Dalam menjalankan praktik sebagai seorang dokter gigi pun, istriku tetap aku bilang orang rumahan. Sebagian besar waktunya tetap ia habiskan di rumah. Setahun menikah, tak pernah sekalipun ia keluar rumah dengan jarak yg cukup jauh tanpa mahramnya. Bahkan untuk praktik sekalipun. Kami praktik bersama di klinik dan waktu yang sama, aku sebagai dokter umum dan ia sebagai dokter giginya, sehingga untuk praktik pun tentunya kami pergi bersama. Jika aku berhalangan untuk praktik, istri pun memilih untuk tidak berangkat praktik. Setelah menikah, istriku terlihat berbeda dibanding sebelumnya, ia yang dulu dikenal independent, kini menjadi wanita yang amat dependent terutama terhadap suaminya. Nampaknya menikah membawanya kembali kepada fitrahnya sebagai seorang wanita. Di satu sisi, aku yang memang dependent terhadap orang dekat semakin dependent saja setelah menikah. Kita sama-sama dependent satu sama lain, ia dependent terhadapku dari sisi aktifitas dan arah hidup, dan aku dependent terhadapnya dari sisi pemenuhan kebutuhan aktivitas keseharian. Saling melengkapi, itu yang aku rasa. Ada kesalingan yang menggenapi kekurangan kami menjadi kelebihan.

Aktivitasku setelah menikah masih cukup tinggi, bedanya kini jam pulang malam ke rumah tak sesering dulu dibanding sebelum menikah, bahkan bisa dibilang jarang, kalaupun ada acara sampai malam, biasanya aku mengajak istriku jika itu memungkinkan. Hingga saat ini, selain menjalankan amanah sebagai Staff pengajar di FK Unpad, aku juga memagang amanah di Bidang Pelayanan dan Pemberdayaan Masyarakat YPM Salman ITB juga masih aktif praktik di Klinik Dokter Keluarga Mitra Sehati dan membina Volunteer Doctors. Selain itu, berbagai aktivitas lain seperti organisasi, aktivitas sosial, politik, mengisi acara, berbagai rapat, diskusi dsb masih aku ikuti. Memiliki istri dengan berbagai kesibukan seperti ini bagiku adalah sebuah keuntungan. Kini aku ibarat memiliki manager pribadi. Istriku lah yang mencatat semua agendaku, mulai dari acara, rapat, praktik, jadwal pertemuan/janji, mengisi materi, agenda diskusi, kondangan, kegiatan sosial, liburan, acara keluarga dan semua hal lainnya. Dia yang mencatat, merekam semuanya, menyusun jadwal, dan mengingatkan semua agendaku, termasuk makan. Pantaslah setelah menikah walaupun aktivitasku masih banyak, berat badan bisa meningkat sampai 5 kg. Menyenangkan bukan memiliki manager pribadi yang bisa kita ajak makan malam berdua sesuka kita?

Lantas apakah dengan aktivitas sebanyak itu hilang waktuku untuk istri? Tidak juga. Hampir setiap aktivitasku di dampingi istri. Setelah menikah, semua urusan terkait aku menjadi satu paket dengan istriku. Mengisi materi/acara, menjalankan berbagai aktivitas sosial, diskusi, ke Masjid Salman setiap minggu, bertemu teman, liburan dsb hampir semua aku jalani bersama istriku. Maka tak heran jika ada momen aku seorang diri, sekitarku menanyakan keberadaan istriku. Hampir di setiap aktivitas istriku selalu membersamai, hanya hitungan jari saja aktivitas yang tak ditemaninya, itu pun karena ia sakit, atau keadaan untuk bersama tidak memungkinkan. Selama satu tahun menikahpun, hanya sekitar 3 malam saja aku pernah terpisah dari istriku, itu pun karena aku harus menjalankan pengabdian masyarakat di tempat yg cukup jauh, Ujung Genteng. Sisanya, kita selalu menghabiskan malam bersama. Mengapa setiap kali ada kesempatan beraktivitas bersama aku selalu memberi kesempatan istriku untuk menemani? Aku hanya ingin menghabiskan banyak waktu berkualitas bersamanya, agar setiap momen yang aku lewati, terutama momen-momen penting, dapat juga dirasakan oleh orang terkasih kita. Dengan demikian, diharapkan terbangun banyak kenangan dari aktivitas yang kami jalani. Istriku yang akan menjadi saksi sejarah perjalanan hidup yang aku lewati. Semoga Allah senantiasa memberikanmu kekuatan dan kesehatan agar dapat terus membersamaiku. Aamiin.

Menjalankan satu tahun kehidupan setelah menikah sudah tentu tidak terlepas dari permasalahan. Permasalahan yang dapat ditimbulkan dari kurangnya pengetahuan kami tentang menjani kehidupan setelah menikah, kesalahpahaman yang timbul diantara kami, ketidaktepatan bersikap, keterbatasan materi, dsb. Berbagai masalah bagi kami menjadi bumbu-bumbu kehidupan yang membuat kami jauh lebih kuat. Permasalahan akan dapat melahirkan kekuatan jiwa bagi kami, dari sini kami lebih memiliki kejelasan arah dan keberanian berjuang. Dalam menghadapi masalah, kami selalu kembali pada 4 hal yang kami pegang kuat semenjak memulai proses perkenalan menuju pernikahan, yakni kepercayaan, komitmen, komunikasi, dan kejujuran. 

Setiap hari hingga saat ini proses saling mengenal masih aku lakukan. Belajar untuk semakin memahami istriku dengan melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya dan mencoba menjalani hidup dengan caranya. Kelak ketika aku menemukan kekurangannya, aku berusaha mencintai itu. Karena ketika kita sudah bisa mencintai kekurangan seseorang, kelak ketika kita menemukan kelebihannya, kita akan semakin mencintainya. Tak ada manusia yang sempurna di dunia ini, termasuk pasangan kita. Untuk itu yang bisa kita lakukan adalah menerima pasangan kita dengan sempurna, itu yang penting. Sadarilah, bahwa kita tidak pernah bisa menuntut siapapun sempurna, karena sejatinya kesempurnaan adalah kekurangan yang senantiasa diperbaiki, perbedaan yg senantiasa disatukan, dan perasaan saling yang membuat segalanya tergenapi.

Satu tahun menjalani pernikahan, kehadiran buah hati tentulah jadi salah satu hal yang diharapkan. Alhamdulillah, selama satu tahun menjalani pernikahan istriku diberikan kesempatan hamil 2 kali. Kehamilan pertama berakhir dengan keguguran di usia janin 5 minggu, dan kehamilan kedua kini sudah memasuki bulan ke 7 atau minggu ke 28. Mohon doa agar kehamilan yang sekarang dilancarkan, Ibu dan janin senantiasa diberi kesehatan. Semoga dari rahim istriku, dapat lahir seorang pemimpin bijaksana yang meneladani Rasulullah Muhammad Saw, juga memiliki kebulatan tekad dan berilmu. Untukmu yang ada dalam rahim istriku, aku telah mengajarimu tentang keshalihan nak, bahkan jauh sebelum kamu akan dilahirkan, yakni dengan memilih ibu yang baik untukmu. 

Teruntuk istriku, menjadi tanggung jawab kita untuk memberikan pendidikan yang akan menumbuhkan syaja’ah (keberanian), iffah (kemampuan menahan diri), dan izzah (harga diri) terhadap anak kita. Kita yang akan memberikan pendidikan bagi anak-anak kita di madrasah yang tanpa libur dan tanpa jeda, di rumah kita. Tempat di mana anak-anak belajar bukan hanya dari apa yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh kita sebagai orang tuanya. Orangtua adalah guru yang sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan untuk dijadikan identitas.

Aku masih ingat dulu tentang masyarakat yang punya tingkat saling percaya amat tinggi di jaman Rasul tentang peran orang tua, terutama ayah. Dulu kalau mau menikahi Hafshah, tak perlu berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang lebih ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq. Begitupun aku, ingin rasanya seperti itu, bisa memberikan kebaikan pada anak-anak ku dengan integritas kebaikan yang melekat pada ayahnya. Itulah mengapa bagi setiap laki-laki, menjadi ayah yang baik menjadi hal mutlak yang perlu diperjuangkan, perannya begitu besar dalam menjalankan tanggung jawab pendidikan anak-anaknya. Lalu bagaimana dengan perempuan? Jangan sampai engkau lupa, dibalik suami yang hebat terdapat wanita hebat yang senantiasa mendampinginya, ia adalah istri. Dan dibalik anak yang hebat terdapat wanita hebat yang senantiasa mendo’akanya, ia adalah ibu. Melalui pernikahan kita, mari kita ciptakan generasi-generasi emas yang tak hanya membanggakan, namun mampu membawa perubahan yang lebih baik, pemegang panji Islam yang hadirnya menjadi manfaat, dan menjadi tonggak keberhasilan bangsa ini.

Teruntuk istriku, di akhir tulisan ini ingin aku mengatakan padamu, "selamat satu tahun merayakan cinta. " Terimakasih atas semua kebahagiaan yang telah engkau berikan, maafkan jika masih banyak khilaf dalam meng-imami mu. Setelah mengawali pernikahan kita dengan naik gunung dan menyusuri air terjun, sempat pergi bersama ke luar negeri beberapa bulan setelahnya, nanti jika ada kesempatan akan ku ajak kau menonton bola di stadion, tiga hal yang pernah diinginkan bukan? :) 
Selebihnya, ada puluhan tahun terbentang di hadapan untuk senantiasa kita rayakan cinta dan belajar bersama tentang kehidupan. Semoga bahagia yang dirasa berlanjut hingga ke surga. Aamiin.

Salam, 
Seseorang yang selalu mencintaimu
DF

    Selamatkan Dokter Indonesia!

    Tak bisa dipungkiri, hingga saat ini dokter masih menjadi profesi yang dipandang masyarakat. Terlepas dari berbagai kejadian yang menimpa profesi dokter belakangan ini, masyarakat tentunya masih menggantungkan harapan akan kesehatannya pada dokter. Dokter memang bukanlah penyembuh segala, melainkan tubuh perantara yang dipercaya menjadi sarana penyembuh kesakitan melalui ilmu yang dipelajarinya. Kematian adalah hal yang masih banyak ditakuti masyarakat, dan tak jarang proses kematian banyak didahului dengan kesakitan, paling dekat kaitannya dengan dunia kesehatan, kedokteran. Menjadi logis ketika akhirnya harapan akan hidup digantungkan kepada para pejuang kesehatan, terutama dokter sebagai pemegang tanggung jawab dan pengambil keputusan terbesar.  

    Berdasarkan data yang dilansir Ikatan Dokter Indonesia (IDI), jumlah dokter umum pada tahun 2013 ialah 94.407 orang. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan periode sebelumnya yang hanya 76.523 orang. Walaupun demikian, jumlah tersebut dirasa masih kurang untuk memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 250 juta orang, ditambah dengan distribusi dokter yang belum merata yang masih terpusat terutama di kota-kota besar. 

    Salah satu cara yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi kekurangan tenaga dokter tersebut adalah melalui jalur pendidikan dengan menambah jumlah Fakultas Kedokteran (FK) di Indonesia. Dampak dari kebijakan tersebut yakni jumlah FK semakin lama semakin menjamur, hal ini mungkin bisa disebabkan karena regulasi pembentukan FK masih tidak ketat, sebagai buktinya jumlah FK berkembang pesat dari 52 di tahun 2008 menjadi 73 FK di tahun 2013. Melihat fenomena tersebut, benarkah bertambahnya jumlah FK di Indonesia ini untuk memenuhi kebutuhan tenaga dokter atau hanya sebagai komoditas bisnis potensial di bidang pendidikan? Hal ini tentunya membuat banyak pihak mempertanyakan kualitas penyelenggaraan FK tersebut, pasalnya data dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) tahun 2013 menyebutkan bahwa hanya 18 FK yang terakreditasi A, 21 FK terakreditasi B, 33 FK terakreditasi C, dan 1 FK belum terakreditasi karena baru dibuka.

    Institusi pendidikan ini seharusnya tidak hanya menghasilkan dokter yang secara kuantitas baik, namun juga berkualitas. Peningkatan kualitas pendidikan dan kompetensi di institusi pendidikan dokter sangat diperlukan sehingga dihasilkan lulusan yang kompeten guna meningkatkan jumlah dokter yang siap berpraktik di masyarakat. Penjaminan mutu profesi dokter harus dilakukan sejak tahap pendidikan hingga pelayanan. UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menjadi regulasi yang memulai hal tersebut. UU No.29 tahun 2004 ini mengamanahkan bahwa untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia, seorang dokter harus lulus uji kompetensi untuk selanjutnya mendapatkan sertifikat kompetensi. Maka dari itu, dibuatlah Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI).

    UKDI memiliki tujuan untuk menjamin lulusan pendidikan kedokteran yang kompeten dan terstandar nasional, menguji sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sebagai dasar untuk praktik kedokteran dalam jangka panjang, mendorong pembelajaran sepanjang hayat,  serta sebagai metode asesmen untuk mengelola pasien yang aman dan efektif di Indonesia. Standar soal yang digunakan untuk UKDI tersebut mengacu pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). UKDI merupakan proses yang harus ditempuh untuk memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). 

    Pelaksanaan UKDI telah berlangsung sejak tahun 2007, dan melibatkan panitia bersama yang terdiri dari unsur Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sampai saat ini terdapat beberapa perkembangan dalam penyelenggaraan UKDI, seperti batas nilai minimal kelulusan yang semakin meningkat, hingga jenis ujiannya yang pada tahun 2013 tidak sekedar ujian pilihan ganda (Computerized Based Test = CBT), melainkan juga disertai dengan ujian praktik (Objective Structured Clinical Examination = OSCE). 

    Berdasarkan data Komite Bersama Uji Kompetensi Dokter Indonesia (KBUKDI), didapatkan rata-rata tingkat kelulusan tiap ujian adalah sebesar 74,68% dan rata-rata tingkat ketidaklulusannya adalah sebesar 25,32%. Oleh karena itu, di tahun 2013 tercatat ada sekitar 2888 orang dokter yang belum lulus UKDI (retaker UKDI). Dokter yang tidak lulus uji kompetensi tersebut tidak diperbolehkan melakukan praktik. Menanggapi permasalahan tersebut, diselenggarakanlah Uji Kompetensi Retaker Khusus (UKRK), ujian yang ditujukan bagi mereka yang belum lulus UKDI. Setiap peserta yang akan mengikuti UKRK ini wajib dibimbing oleh FK terkait dan IDI. UKRK ini diselenggarakan gratis bagi para retaker dan jadwal pelaksanaannya berbeda dengan UKDI.

    Dalam pelaksanaannya, UKRK ini terbagi ke dalam 2 periode. UKRK I diselenggarakan oleh kepanitiaan bersama IDI-AIPKI. Dalam UKRK I, materi ujian disesuaikan dengan SKDI yang disusun oleh Tim Materi dari unsur AIPKI. UKRK I ini dilaksanakan dalam 2 gelombang. Gelombang pertama diikuti oleh 428 retaker, dengan jumlah retaker yang lulus di ujian ini sebanyak 192 orang dan yang tidak lulus sebanyak 236 orang. Sementara untuk gelombang kedua diikuti oleh 1250 retaker, dengan jumlah retaker yang lulus di ujian ini hanya berjumlah 4 orang dan yang tidak lulus sebanyak 1246 orang. Mendapati angka kelulusan yang dianggap tidak wajar pada ujian gelombang II (hanya berjumlah 4 orang), pihak IDI memutuskan untuk menganulir pelaksanaan ujian tersebut dan selanjutnya diagendakan untuk ujian kembali yang sepenuhnya diselenggarakan oleh IDI. Kepanitiaan bersama UKRK pun dibubarkan secara sepihak oleh IDI.

    IDI pun kemudian menyelenggarakan kembali UKRK gelombang III, sebagai ujian pengganti UKRK gelombang II yang sebelumnya dianulir IDI. Tercatat sebanyak 1236 retaker mengikuti ujian ini, dengan jumlah retaker yang lulus sebanyak 974 orang dan yang tidak lulus sebanyak 262 orang. Mengingat masih banyak retaker yang tidak lulus di UKRK I, akhirnya diselenggarakanlah UKRK periode II yang sepenuhnya diselenggarakan oleh IDI. Jumlah retaker yang mengikuti UKRK periode II tercatat sebanyak 651 orang, dengan jumlah retaker yang lulus sebanyak 541 orang dan yang tidak lulus sebanyak 110 orang.

    Membandingkan dua penyelenggara UKRK, yakni antara kepanitiaan bersama IDI-AIPKI dengan yang sepenuhnya diselenggarakan IDI, terlihat bahwa angka kelulusan UKRK yang sepenuhnya diselenggarakan oleh IDI sangat jauh lebih besar dibandingkan UKRK yang masih ada campur tangan AIPKI. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin saja ini prestasi IDI yang berhasil membimbing dengan baik ribuan retaker sehingga mereka mampu melewati UKRK. Atau mungkin saja standar kelulusan UKRK semakin diturunkan lagi oleh pihak IDI sehingga tingkat kesulitannya dibawah standar nasional. Tidak ada yang tahu, harusnya akuntabilitas ujian ini ditunjukkan kepada publik agar publik bisa menilai. Jangan sampai hal ini menjadi risiko terciptanya lulusan kedokteran yang belum bisa memenuhi syarat kelulusan uji kompetensi, sehingga dikhawatirkan akan bisa menghambat perkembangan peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga kemampuan para dokter. 

    Sejak terbitnya UU No.20 tahun 2013, terjadi perubahan sistem uji kompetensi nasional. Uji kompetensi nasional yang semula dilakukan setelah tahap pendidikan, menjadi masuk pada ranah pendidikan, dan menjadi salah satu syarat kelulusan mahasiswa program profesi dokter. Dalam UU No.20 tahun 2013 pasal 36, disebutkan bahwa untuk menyelesaikan program profesi dokter, mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter. Dengan undang-undang ini, maka kedepan setiap orang yang mendapat gelar dokter ialah mereka yang telah lulus uji kompetensi nasional. Dengan demikian, kelak yang mendapat gelar dokter tentunya mereka yang sudah terstandar nasional sehingga diharapkan terjaga kualitasnya untuk dapat melaksanakan praktik kedokteran. 

    Masa transisi perubahan kebijakan ini tak terlepas dari masalah. Proses legal untuk menuangkannya dalam suatu aturan hukum yang tegas memerlukan waktu yang tak sebentar. Dalam UU Pendidikan Kedokteran (UU Dikdok) yang diterbitkan di tahun 2013, disebutkan bahwa pelaksana UKDI ialah FK bekerja sama dengan AIPKI dan berkoordinasi dengan IDI. Lalu disebutkan bahwa ketentuan tentang pelaksanaannya diatur oleh Peraturan Menteri (Permendikbud). Namun hingga akhir tahun 2013, Permendikbud yang dimaksud belum dikeluarkan juga. Lalu bagaimana dengan nasib lulusan FK selanjutnya? 

    IDI meminta UKDI ditunda hingga Permendikbud keluar. Namun lain halnya dengan AIPKI, ditengah ketidakpastian tersebut AIPKI tetap menyelenggarakan UKDI di bulan Februari 2014 dengan standar yang sama seperti UKDI yang sebelumnya biasa diselenggarakan. Kebijakan ini mencegah para calon dokter yang telah menyelesaikan pendidikannya dan tinggal UKDI harus 'menganggur' menunggu ketidakpastian. Seandainya UKDI ditunda, mereka tentunya akan tetap tercatat sebagai mahasiswa sehingga harus tetap membayar biaya pendidikan. Di satu sisi, kondisi seperti ini pun akan menghambat penerimaan mahasiswa baru. Namun, ujian yang diselenggarakan AIPKI ini tidak diterima IDI dengan alasan tidak sesuai hukum. Akibatnya, Kolegium Dokter Primer Indonesia (KDPI), lembaga di bawah IDI, tidak mau mengeluarkan sertifikat kompetensi (serkom) bagi lulusan UKDI Februari 2014 yang mengakibatkan lulusan UKDI ini tidak dapat melangsungkan praktik. Sama halnya dengan penyelenggaraan UKDI di bulan Februari 2014, UKDI yang diselenggarakan oleh AIPKI di bulan Mei 2014 pun kembali tidak diakui oleh IDI. Untuk menengahi permasalahan tersebut, lulusan UKDI yang diselenggarakan AIPKI ini harus mengikuti ujian kembali buatan KDPI jika ingin mendapat serkom.

    Melihat adanya dua lembaga yang sama-sama menyelenggarakan uji kompetensi nasional (AIPKI maupun IDI), penilaian terhadap kualitas ujian yang diselenggarakan kedua pihak tersebut perlu dilakukan. Siapa yang berhak menilai? Yang berhak menilai tentunya Kementrian Kesehatan (Kemkes) sebagai penjamin mutu layanan kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang akan mengeluarkan STR, serta Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) sebagai penjamin kualitas pendidikan. Seandainya kualitas ujian yang diselenggarakan oleh salah satu pihak tidak baik dari hasil penilaian tersebut, maka gunakanlah ujian yang diselenggarakan oleh pihak satunya untuk uji kompetensi nasional. Namun jika ternyata keduanya berkualitas baik, tentunya para calon dokter berhak memilih salah satu ujian yang diselenggarakan baik itu oleh IDI maupun AIPKI, sehingga mereka tidak perlu mengikuti kedua ujian tersebut.

    Tercatat jumlah lulusan UKDI yang diselenggarakan AIPKI pada bulan Februari 2014 ialah sebanyak 2230 orang, sementara lulusan UKDI pada bulan Mei 2014 adalah sebanyak 1325 orang. Melihat angka tersebut, terbayang ada sekitar 3500 orang lebih dokter di negeri ini yang siap melakukan praktik kedokteran dan mengabdikan dirinya untuk masyarakat namun harus tertunda karena terganjal penerbitan sertifikat kompetensi mereka oleh KDPI yang hingga kini tak kunjung selesai. Kasihan masyarakat di negeri ini, terutama yang berada di daerah-daerah. Karena permasalahan tersebut, mereka yang seharusnya mendapatkan dokter-dokter baru yang berkualitas, hingga saat ini belum mendapatkannya. Sungguh sangat disayangkan bukan? Harusnya pihak IDI segera mendorong agar permasalahan ini selesai, sehingga ribuan dokter ini dapat mengamalkan ilmunya untuk melayani masyarakat guna meningkatkan derajat kesehatan negeri ini.

    Dalam rangka harmonisasi kebijakan di sisi pendidikan dan pelayanan, serta untuk mempertegas aturan pada masa transisi implementasi uji kompetensi dengan sistem baru tersebut, akhirnya Ditjen Dikti dan IDI bersepakat melalui nota kesepahaman (NK) dan perjanjian kerja sama (PKS) tentang pelaksanaan uji kompetensi bagi mahasiswa program profesi dokter. Substansi utama dari NK dan PKS ini adalah kesepakatan untuk mengintegrasikan pelaksanaan uji kompetensi dokter dan uji kompetensi bagi mahasiswa program profesi dokter guna menjamin mutu profesi dokter. 

    Selain itu, Ditjen Dikti dan IDI sudah melakukan berbagai pertemuan koordinasi yang juga melibatkan berbagai pemangku kepentingan utama pendidikan kedokteran, seperti AIPKI dan KKI untuk mendapatkan konsensus untuk solusi atas berbagai permasalahan yang timbul pada masa transisi. Salah satu kesepakatan yang diperoleh adalah bahwa untuk uji kompetensi periode Agustus 2014 akan dilaksanakan oleh panitia nasional yang ditetapkan oleh Dirjen Dikti (sesuai Permendikbud No.30 tahun 2014). Namun pada bulan Juni 2014, IDI tetap menyelenggarakan uji kompetensi nasional untuk mengeluarkan serkom. Persyaratan ujian Juni ini ialah mereka yang telah mendapat ijazah dokter. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada beberapa FK yang mau mengeluarkan ijazah dokter meskipun anak didiknya belum lulus UKDI. Artinya, seorang yang belum teruji di UKDI namun memiliki ijazah oleh kampusnya bisa saja mengikuti ujian ini lalu mendapat serkom. Entah berdasarkan pertimbangan apa ujian ini diselenggarakan, sementara kesepakatan sudah ditetapkan. Terlebih sebelumnya pihak IDI menolak ujian yang diselenggarakan AIPKI dengan dalih belum keluarnya Permendikbud. 

    Memperhatikan banyaknya permasalahan yang terjadi dalam dunia profesi dokter, terutama polemik yang terjadi terkait uji kompetensi belakangan ini, seharusnya membuat kita berbenah bersama demi masyarakat Indonesia yg sehat. Kita harus menyelamatkan dokter Indonesia! Dengan tidak mengutamakan kepentingan kelompok di atas kepentingan bersama. Hilangkan arogansi kelompok dan pamer kekuasaan. Jangan jadikan UKDI sebagai komoditas bisnis tempat meraup keuntungan. Jika setiap kita hanya memikirkan kepentingan masing-masing terus, kapan bangsa ini bisa maju?

    Selamatkan dokter Indonesia! Dengan tetap berusaha untuk menghasilkan dokter yang bukan hanya memenuhi kuantitas saja, tetapi juga memenuhi mutu dan mengikuti proses yang ada. Dokter yang berkualitas menjadi syarat mutlak pelayanan kesehatan, pasalnya bidang ini bergelut dengan nyawa dan kualitas hidup manusia. Oleh karena itu, standardisasi nasional menjadi hal yang diperlukan. Bayangkan saja jika orang terdekat kita sakit dan butuh pertolongan dokter, relakah ia ditangani oleh dokter yang tak kompeten? Relakah ia ditangani oleh dokter yang tidak lulus uji kompetensi? Untuk menghindari kejadian itu, pantaskah kita bertanya pada dokter tersebut apakah ia lulus uji kompetensi? Lulusan UKDI atau UKRK? Lulusan Universitas mana? Untuk mencegah terjadi hal demikian, maka standardisasi dokter nasional menjadi jalan keluar, agar kelak kita bisa mempercayakan pelayanan kesehatan pada seluruh dokter di Indonesia. Terlebih, tahun 2015 kita akan menghadapi liberalisasi pelayanan kesehatan di Asean Economic Community (AEC).

    Meminta pemerintah mempermudah sarjana kedokteran dalam melakukan praktik, tanpa melalui serangkaian uji kompetensi yang memakan waktu hingga biaya agar kebutuhan dokter di Indonesia terpenuhi, sangatlah tidak tepat. Melihat realitas kampus kedokteran yang begitu menjamur dalam 5 tahun terakhir dengan tingkat akreditasi yang masih rendah tentu menjadi sangat berisiko jika pemerintah meniadakan UKDI dan hanya mempercayakan kelulusan dokter untuk bisa berpraktik melalui prosedur masing-masing kampus. Melihat fenomena ujian nasional SMA ataupun SNMPTN/SBMPTN yang dilaksanakan secara nasional, masih saja kita sering menemukan berbagai tindak kecurangan. Kita juga perlu khawatir, bahwa dengan mempercayakan kelulusan dokter untuk bisa berpraktik melalui prosedur masing-masing kampus akan menimbulkan suasana kompetisi di antara FK untuk meningkatkan jumlah lulusan dokter sehingga mendorong FK untuk tidak menilai secara lebih obyektif lagi. Dengan motif meningkatkan mutu dan gengsi masing-masing fakultas, hasil ujian tentu dapat dimanipulasi. 

    Lalu bagaimana nasib mereka yang tidak lulus UKDI? Ada banyak yang depresi akibat ketidakjelasan nasib retaker ini. Mereka perlu mendapat pelaksanaan bimbingan khusus yang dibebankan kepada institusi pendidikan / FK masing-masing. Jika para dokter dibimbing secara benar, seharusnya mereka bisa lulus. Namun, jika sudah diberi bimbingan secara benar namun tidak lulus, masih tetap ada solusi untuk para dokter ini. Mereka bisa diarahkan untuk menjalankan profesi non klinis seperti peneliti, atau melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya. Apa yang sudah diperjuangkan oleh para dokter ini jangan dihentikan. 

    Jika mereka tidak lulus karena standar pendidikannya kurang baik, ini juga bukan sepenuhnya salah mereka. Jika mereka tidak lulus, nantinya Dikti juga harus ikut bertanggung jawab. Dikti perlu memberi sanksi kepada FK di kampus-kampus yang menunjukkan kualitas tidak baik. Kualitas tidak baik itu bisa tampak dari rata-rata kelulusan mahasiswa FK dalam mengikuti UKDI. Sanksi harus dikembalikan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sanksi bisa diawali dengan penurunan kuota. Bahkan, bisa juga penutupan FK tersebut sekaligus, jika kampus tidak mampu mengoperasikan FK-nya secara benar.

    Selamatkan dokter Indonesia! Profesi kedokteran adalah profesi kebersamaan, baik dari segi kerja maupun figuritas setiap individu yang ada di dalamnya. Kebaikan dan keteladanan diri diperlukan, sebab kelalaian yang dilakukan personal dapat menimbulkan stigma profesi secara keseluruhan. Bila satu dokter yang tidak kompeten diketahui melakukan malpraktik, yang tercoreng namanya tidak hanya dokter tersebut atau asal kampusnya, melainkan seluruh dokter di Indonesia! Terlebih jika media memberitakannya secara berlebihan sehingga terciptalah pandangan-pandangan negatif terhadap dokter Indonesia. Untuk itu, bersungguh-sungguhlah untuk menjadi dokter yang berkualitas, dokter yang teruji kompetensinya lewat standardisasi nasional.

    Selamatkan dokter Indonesia! Jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga.

    Menelaah Visi Misi Calon Pemimpin Indonesia dari Platform Kesehatan

    Indonesia kini sedang menentukan masa depannya. Kitalah yang menentukan nasib bangsa ini kedepan, melalui pemilihan calon pemimpin bangsa dalam waktu yang tidak lama lagi. Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK adalah dua pasang calon pemimpin bangsa yang kini ada dihadapan mata. Gagasan mereka untuk memimpin bangsa ini tertuang dalam visi misi yang bisa dilihat di web KPU (visi misi Jokowi-Jk :http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf , visi misi Prabowo-Hatta :http://www.kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_prabowo-Hatta.pdf ). Idealnya, memahami arah masa depan yang akan dibawa kedua pasang pemimpin bangsa melalui visi misinya ini mutlak menjadi keharusan kita sebagai rakyat Indonesia, karena di tangan kita sebagai pemilih lah masa depan bangsa ini ditentukan. Memilih presiden dan wakilnya sudah seharusnya tak menjadi acara seremonial dan rutinitas formal tiap lima tahunan, kesungguhan dalam menentukan masa depan bangsa melalui pemilihan presiden dan wakilnya adalah tanggung jawab setiap kita, masyarakat Indonesia.

    Dari sekian banyak gagasan dan program yang ditawarkan kedua pasang calon, sebagai seorang dengan tanggung jawab keilmuan dan aktivitas di bidang kesehatan, saya akan coba menelaah semampunya kedua visi misi calon pemimpin bangsa ini dalam kaitannya di bidang kesehatan. Untuk selebihnya diluar itu, nampaknya saya belum punya kapasitas. Semoga bahasan ini dapat sedikit mencerahkan setiap kita dalam mempelajari kedua visi misi calon pemimpin kita. Ketika saya membaca dokumen kedua pasang calon, hal pertama yang saya perhatikan adalah perbedaan format penulisan visi misi. Visi misi Prabowo-Hatta berjumlah 9 halaman yang terdiri dari latar belakang, visi dan misi, serta agenda dan program nyata dalam menyelamatkan Indonesia. Visi misi ini tersusun dalam bentuk poin-poin. Sementara Jokowi-JK berjumlah 41 halaman, terdiri dari pendahuluan, tiga problem bangsa, meneguhkan kembali jalan ideologis, terwujudnya indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong, 9 agenda prioritas, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, serta berkepibadian dalam bidang kebudayaan. Visi misi ini tersusun dalam bentuk narasi. Entahlah, seberapa banyak orang yang mampu membaca dengan baik hingga selesai dokumen Jokowi-JK sebanyak ini. Terlepas dari bentuk dan banyaknya kedua dokumen visi misi itu, saya akan coba bantu menyederhanakan intisari keduanya berkaitan dalam bidang kesehatan.

    Membandingkan kedua visi misi dari yang tertulis di dokumen tersebut, Prabowo secara eksplisit menuliskan "sehat" sebagai salah satu kualitas sumber daya manusia Indonesia di dalam pernyataan misinya, " Mewujudkan Indonesia yang berkeadilan sosial dengan sumber daya manusia yang berakhlak, berbudaya luhur, berkualitas tinggi : sehat, cerdas, kreatif dan terampil" , poin misi ke 3 Prabowo-Hatta. Sementara kata "sehat" tidak tertulis sama sekali di rumusan visi misi Jokowi-JK. Untuk mewujudkan visi misi tersebut, kedua capres pun mengajukan beberapa agenda. Jokowi mengajukan sembilan agenda prioritas, sedangkan Prabowo mengajukan delapan. Dari agenda prioritas ini pun, Prabowo menuliskan tentang kesehatan, yakni " Meningkatkan pembangunan sosial melalui program kesehatan, agama, budaya, dan olahraga " , di poin ke 5 agenda prioritasnya. Sementara, jokowi tidak menuliskan secara eksplisit tentang kesehatan di semua agenda prioritasnya. Namun ada baiknya kita melihat sejauh apa kesehatan menjadi perhatian kedua capres di luar butir-butir visi misi serta agenda prioritas yang telah dibahas tadi melalui keseluruhan isi dokumen visi misi kedua calon.

    Mengingat berbedanya struktur dokumen visi misi kedua calon, maka isu kesehatan di dokumen visi misi Jokowi-JK lebih tersebar: ada di bagian pembukaan, ada di program prioritas dan ada di penjabaran ideologi. Sebaliknya, di dokumen visi misi Prabowo-Hatta kesehatan hanya ditemukan sebagai penjabaran agenda kelima dan satu butir sebagai penjabaran agenda kedua. Untuk memudahkannya saya coba rangkum menjadi beberapa intisari penting terkait pandangan mereka di bidang kesehatan, terutama dalam sisi praktis rencana kedepan bukan secara teoretis.

    Poin-poin terkait kesehatan dalam dokumen visi misi Jokowi-JK:
    - Mengintensifkan kerjasama internasional dalam mengatasi masalah-masalah global yang mengancam umat manusia seperti penyakit menular, perubahan iklim. (Hal. 13)
    - Peningkatan layanan kesehatan masyarakat dengan menginisiasi Kartu Indonesia Sehat (Hal. 9)
    - Menyediakan sistem perlindungan sosial bidang kesehatan yang inklusif dan menyediakan jaminan persalinan gratis bagi setiap perempuan yang melakukan persalinan. Mengalokasikan anggaran negara sekurang-kurangnya 5% dari anggaran negara untuk penurunan AKI, angka kematian bayi dan balita, pengendalian HIV/AIDS , penyakit menular dan penyakit kronis. (Hal. 22)
    - Menjamin pemenuhan hak atas kesehatan, pendidikan melalui regulasi yang berpihak pada kepentingan publik (Hal. 27)
    - Penambahan iuran BPJS kesehatan yang berasal dari APBN dan APBD perlu dilakukan (Hal. 33)
    - Mendukung pengalihan konsorium asuransi TKI menjadi bagian BPJS kesehatan (Hal. 33)
    - Implementasi sistem jaminan sosial nasional secara merata di seluruh Indonesia (Hal. 37)
    - Implementasi pelayanan publik yang prima melalui pembangunan 50.000 rumah sehat, dan mengembangkan 6000 puskesmas dengan fasilitas rawat inap, ketersediaan air bersih (Hal. 37)
    - Memperjuangkan kebijakan khusus untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan, perangkat dan alat kesehatan dan tenaga, khususnya bagi penduduk dan masyarakat terpencil sesuai kebutuhan mereka (Hal. 23)
    - Menyiapkan sarana dan anggaran yang memadai bagi rehabilitasi pengguna narkoba dan psikotropika (Hal. 26)
    - Melindungi segenap generasi muda dari bahaya penyalahgunaan napza, minuman keras, penyebaran penyakit HIV/AIDS, dan penyebaran penyakit menular seksual (Hal. 41)
    - Mendukung pengesahan UU tentang Kesehatan, UU Keperawatan, UU Kebidanan (Hal. 33)
    - Peningkatan realisasi penggunaan anggaran untuk pembangunan infrastruktur, pengelolaan pendidikan, kesehatan, perumahan (Hal. 34)
    - Membangun perimbangan pembangunan kawasan melalui meningkatkan pembangunan berbagai fasilitas produksi, pendidikan, kesehatan, pasar tradisional, dll di pedesaan, daerah terpencil dan tertinggal (Hal. 37)

    Poin-poin terkait kesehatan dalam dokumen visi misi Prabowo-Hatta :
    - Menjamin pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin melalui percepatan pelaksanaan BPJS Kesehatan.
    - Mengembangkan rumah sakit modern di setiap kabupaten dan kota .
    - Memberikan jaminan sosial untuk fakir miskin, penyandang cacat dan rakyat terlantar.
    - Meningkatkan peran PKK, Posyandu dan Puskesmas, dan mengembangkan program Keluarga Berencana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
    - Menggerakkan revolusi putih mandiri dengan menyediakan susu untuk anak-anak miskin di sekolah melalui peternakan sapi dan kambing perah.
    - Mewajibkan sarjana dan dokter yang baru lulus untuk mengabdi di daerah miskin dan tertinggal
    - Mengalokasikan dana APBN minimal satu milyar rupiah per desa / kelurahan per tahun langsung ke desa / kelurahan untuk program pembangunan pedesaan melalui 8 program desa yang diantaranya listrik dan air bersih desa, klinik dan rumah sehat desa

    Cukup terengah memang memotret bidang kesehatan ditengah banyaknya bahasan dalam 41 halaman dokumen visi misi Jokowi-JK dibanding dokumen visi misi Prabowo-Hatta yang hanya berjumlah 9 halaman dan berbentuk poin poin ini. Memotret bidang kesehatan dari kedua visi misi tersebut, mungkin dapat dapat ditarik kesimpulan bahwa topik tentang pembiayaan kesehatan, pembangunan dan pemerataan fasilitas dan tenaga kesehatan nampaknya masih menjadi fokus kedua calon; perbedaan mungkin ada dalam detail masing-masing topik tersebut.

    Terkait topik tentang pembiayaan, Jokowi nampaknya masih berkutat dengan masalah 'kartu', setelah kartu sehat di Solo, kartu Jakarta sehat, kini ia menduplikasi untuk Indonesia, kartu Indonesia sehat. Entahlah, agak kurang paham mengapa sistem kartu-kartuan seperti ini masih digulirkan di era JKN-BPJS seperti saat ini, toh dengan adanya BPJS kartu apalah itu namanya tidak diperlukan lagi. Apa bedanya nanti kartu Indonesia sehat dengan BPJS? Sementara di satu sisi, Jokowi juga menuliskan beberapa program terkait JKN, seperti peningkatan subsidi APBN untuk premi dan penggabungan konsorsium asuransi TKI ke dalam BPJS Kesehatan. Terkait peningkatan subsidi APBN untuk BPJS, saya belum tahu bagaimana alokasi dan untuk siapa subsidinya. Jokowi-JK juga kembali akan menggulirkan jaminan persalinan (jampersal) yang bahkan saat ini sudah dihilangkan, entahlah apa alasan Jokowi-JK, namun bagi saya kebijakan jampersal nampak bertolak belakang dengan program Keluarga Bencana dan dapat meningkatkan resiko persalinan, karena setiap wanita seolah "dipersilakan" tanpa ketakutan biaya untuk memiliki anak berapapun dan dalam usia kapanpun. Ada satu hal menggembirakan dari program Jokowi-JK terkait pembiayaan kesehatan, yakni janji untuk mengalokasikan anggaran kesehatan 5% dari APBN. Setidaknya ini akan memenuhi amanah Undang Undang Kesehatan, walaupun masih jauh jika untuk mengikuti rekomendasi WHO 15% dari APBN.

    Terkait topik pembiayaan kesehatan, Prabowo-Hatta menuliskan salah satu sumber pembiayaan kesehatan yang diprogramkan adalah dana APBN sebesar minimum satu milyar rupiah yang akan disalurkan ke tiap desa setiap tahun untuk membiayai klinik dan “rumah sehat” desa. Entahlah sejumlah berapa persen anggaran ini dari APBN. Hal lain terkait pembiayaan kesehatan yang dituliskan yakni akan melakukan “percepatan pelaksanaan BPJS Kesehatan” untuk “menjamin pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin”. Saya kurang paham apa yang dimaksud percepatan pelaksanaan BPJS disaat BPJS sudah mulai bergulir di awal tahun 2014 lalu.

    Mengenai topik pembangunan fasilitas kesehatan, Jokowi-JK menuliskan tentang pembangunan 50.000 rumah sehat, serta mengembangkan 6.000 puskesmas dengan fasilitas rawat inap, dengan memberi penekanan untuk daerah terpencil dan tertinggal. Prabowo-Hatta juga memprogramkan “rumah sehat” dan klinik di setiap desa, peningkatan peran posyandu dan puskesmas, dan membangun “rumah sakit modern” di setiap kabupaten/kota. Saya belum tahu pasti apa yang dimaksud rumah sakit modern, dan bagaimana proses pembangunannya melihat mayoritas RSUD di negeri ini masih berupa RS tipe C yang dibeberapa derah bahkan menuju kebangkrutan. Untuk pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan, Prabowo-Hatta akan memberlakukan kembali program serupa wajib kerja sarjana dan PTT untuk menempatkan sarjana dan dokter baru di daerah miskin dan tertinggal. Dilain pihak Jokowi-JK tidak menjabarkan kebijakan khusus yang akan dibuat terkait pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan di daerah terpencil. Mengenai kebijakan wajib kerja dokter dan sarjana baru, perlu diperhatikan juga terkait pemenuhan hak mereka terutama dalam hal kesejahteraan, jangan hanya menuntut kewajiban dan dibayar seadanya yang tak sesuai dengan beban kerja.

    Beberapa topik kesehatan spesifik juga diangkat oleh Jokowi-JK, beberapa yang tertulis dalam dokumennya ialah kesehatan ibu dan anak, HIV/AIDS dan penyakit menular seksual, penyakit menular dan penyakit kronis, serta penyalahgunaan obat terlarang. Program spesifik yang dijabarkan dalam dokumen visi misi Jokowi-JK terkait topik kesehatan diatas hanya tentang sarana rehabilitasi bagi pengguna narkoba dan psikotrpoika, selebihnya tidak ada penjelasan mengenai topik yang lain. Sementara Prabowo-Hatta tidak menuliskan topik kesehatan spesifik dalam dokumen visi misinya. Ada hal lain yang juga dituliskan Jokowi-JK dan tidak oleh Prabowo-Hatta di dalam dokumen visi misi mereka, yakni tentang regulasi terkait program kesehatan. Dalam hal ini, Jokowi menuliskan tentang penyusunan/pengesahan/revisi berbagai regulasi, termasuk regulasi untuk pemenuhan tenaga kesehatan, UU Kesehatan, UU Keperawatan dan UU Kebidanan. Namun di sisi lain, Prabowo-Hatta menuliskan tentang program Keluarga Berencana dan peningkatan gizi anak sekolah dengan penyediaan susu yang tidak dituliskan Jokowi-JK dalam dokumen visi misinya.

    Memperhatikan kedua visi misi calon pemimpin bangsa ini, nampak keduanya masih sangat terbatas kepada pelayanan kesehatan, sedikit sekali dari keduanya yang membicarakan tentang upaya apa yang akan mereka kerjakan di bidang pencegahan penyakit. Semestinya, program kesehatan diprioritaskan untuk mencegah rakyat agar tidak jatuh sakit. Sakit-sehatnya rakyat lebih ditentukan oleh faktor perilaku sehat dan lingkungan sehat. Program kesehatan harus lebih ditujukan pada perubahan perilaku dan penataan lingkungan. Prioritas program kesehatan jangan sampai terjebak pada program jangka pendek di sektor hilir yaitu program menyehatkan/mengobati orang sakit. Kalaulah prioritas program kesehatan lebih pada upaya untuk mengobati orang sakit maka hal tersebut terlalu riskan. Program kesehatan yang lebih terfokus pada upaya mengobati masyarakat sakit akan terlalu dekat dengan risiko kematian. Kondisi ini dapat meningkatkan angka kematian pada semua kelompok umur—terlebih pada usia rentan, bayi, dan anak—atau pada sisi lain akan menurunkan rata-rata angka Usia Harapan Hidup (UHH) sehingga menurunkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia.

    Seharusnya negara menjamin tercapainya keadaan sehat yang positif yaitu sehat yang optimal dari sisi fisik, mental, dan sosial. Sehat yang positif merupakan modal dasar kehidupan rakyat. Negara harus semakin serius memandang bahwa peningkatan derajat kesehatan tidaklah hanya melalui upaya pengobatan fisik semata. Masih banyak yang harus diperbaiki dalam upaya tersebut. Pilihan perbaikan tersebut dapat dilakukan di tingkat kebijakan kesehatan, dikerjakan di tingkat sistem kesehatan, atau dijalankan di tingkat subsistem kesehatan termasuk dalam tingkat manajemen kesehatan. Artinya, secara ideal harus terus dikembangkan berbagai aspek pembangunan kesehatan baik dari aspek kebijakan, sistem, bahkan hingga subsistem pelaksanaan yang dapat mendorong rakyat agar tidak jatuh sakit. Pemerintah bersama- sama pengambil kepentingan mulai harus memikirkan pengembangan sistem, teknologi, maupun metode yang sesuai pada masa ini agar terjadi akselerasi dalam proses penyehatan fisik, mental, dan sosial masyarakat secara terintegrasi.

    Setelah menelaah kedua dokumen visi misi capres tadi, saya pribadi merasa masih belum puas dengan gagasan yang mereka tawarkan di bidang kesehatan. Pasalnya keduanya seolah fokus pada kebijakan 'populis' untuk meningkatkan elektabilitas mereka di hadapan pemilih. Sementara, berbagai kebijakan di bidang pelayanan kesehatan tadi tidak begitu memberikan dampak yang besar untuk meningkatkan derajat kesehatan negeri ini. Walaupun demikian, saya mengapresiasi beberapa program yang ditawarkan kedua calon seperti; pengalokasian anggaran sebanyak 5% dari APBN untuk kesehatan, pembangunan 50.000 rumah sehat, dan pengadaan air bersih untuk peningkatan kualitas determinan lingkungan, serta pembuatan berbagai regulasi hukum di bidang kesehatan yang digagas Jokowi-JK, juga program meningkatkan peran PKK, Posyandu dan Puskesmas yang bisa meningkatkan bidang promotif preventif, peningkatan gizi anak-anak miskin melalui pemberian susu, serta pembangunan rumah sehat dan penyediaan air bersih yang digagas Prabowo-Hatta. Semoga saja ternyata masih banyak strategi dan program spesifik lain terkait kesehatan yang tidak tertulis di kedua dokumen visi misi tersebut. Walau saya pun tak tahu seberapa menjadi prioritasnya bidang kesehatan di program kedua calon, setidaknya saya berharap semoga semua janji yang dituliskan kelak tertunaikan.

    Tulisan ini dibuat bukan untuk menyimpulkan program siapa yang lebih unggul, melainkan untuk memberikan gambaran terkait program kesehatan yang mereka tawarkan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan pemimpin kita kedepan. Apa yang saya kemukakan diatas hanyalah pendapat dengan segala keterbatasan yang saya punya, berbeda pendapat tentu dibenarkan. Silakan beri masukan jika ada kekurangan, dan koreksi jika terdapat kesalahan. Semoga tulisan ini jadi salah satu langkah untuk membangun bangsa ini kedepan.

    Menjadi Istri Yang Tak Gugur Di Dapur

    Aku masih ingat betul, setiap aku pulang sekolah dulu, teriakan kedua setelah salam ketika masuk rumah adalah, " Bu, masak apa hari ini ? " . Masakan khas Ibu bagiku memang memiliki daya tarik tersendiri. Ada hal irasional yang mampu memperkuat cita rasa apapun yang dimasak Ibu. Tak heran, dulu aku hanya mau makan sayur yang dibuat ibuku, diluar itu bukan perkara mudah bagiku untuk mau makan sayuran. Melihat dari sosok ibuku, dulu aku berpikir bahwa semua ibu tentunya pintar memasak. Memasak seolah menjadi pekerjaan yang identik dengan kaum wanita. Namun semakin beranjak dewasa, aku menemui kenyataan bahwa tidak semua wanita mahir memasak, bahkan sebagian dari mereka memang tidak menyukai bidang itu.


    Tentunya ada banyak alasan mengapa sebagian wanita tidak suka memasak, mulai dari ketidakmampuannya di bidang tersebut, lebih baik mengerjakan hal lain yang lebih produktif, kesetaraan gender, bahkan hingga tidak adanya aturan yang tertuang dalam Al Quran dan hadist mengenai perkara tersebut. Mengenai alasan ini, tak perlulah kita memperdebatkan karena bukan itu tujuan dibuatnya tulisan ini. Dulu sebelum menikah, kemampuan memasak tak menjadi kriteriaku dalam mencari istri. Tapi jika ditanya tentang harapan, tentunya memiliki istri yang bisa memasak adalah harapan kebanyakan pria pada umumnya.


    Keahlian dalam memasak bagiku adalah pembeda yang unik, ia adalah salah satu magnet yang mendekatkan seorang suami dengan rumahnya. Meskipun ia menemukan banyak makanan yang terlihat enak di luar, ia tetap akan lebih menyukai masakan yang ada di rumah. Karena ia mengetahui siapa yang memasaknya, mengetahui akan kebersihannya dan mengetahui dengan uang apa itu semua dibeli. Wanita yang mampu memasak jika telah berkeluarga maka ia akan menjadi perekat di keluarganya, ia menjadi faktor yang membahagiakan suami dan anak-anak melalui masakan yang dibuat. Dengan masakan tersebut, keluarga dapat bercengkrama bersama menikmati hidangan yang disajikan. Saat berkumpul itulah timbul kedekatan-kedekatan di antara anggota-anggota keluarga.


    Selain itu, seorang wanita jika bisa memasak maka saat ia berperan sebagai seorang istri, ia akan mampu menghemat pengeluaran keluarga. Tapi jika tidak mampu memasak dan hanya mengandalkan masakan yang dijual di warung, maka itu akan menyebabkan pengeluaran yang besar di keluarga. Mari kita coba hitung, harga satu porsi masakan standar yang dijual di warung berkisar Rp 8000 – Rp. 15.000. Kita ambil harga pertengahan saja: Rp 10.000, maka bayangkan berapa anggaran dana yang dibutuhkan oleh satu keluarga dengan 3 orang anak untuk makan 3 kali dalam 1 hari yaitu 5 x 3 x Rp 10.000 = Rp 150.000 / hari. Dalam sebulan dibutuhkan dana sebesar; Rp 150.000 x 30 hari = Rp. 4.500.000. Hanya untuk makan, angka tersebut termasuk cukup besar bukan? Untuk wanita yang cerdas dan bisa memasak, angka sebesar itu mungkin bisa dibelikan ke berbagai bahan mentah untuk membuat lebih banyak variasi masakan, dan tentu saja untuk jangka waktu yang juga lebih lama.


    Memang tidak kita pungkiri bahwa ada banyak keluarga dengan penghasilan yang besar, sehingga jumlah uang 4,5 juta untuk membeli makanan bagi mereka adalah kecil. Bahkan sebagian mampu menyediakan pembantu yang ditugaskan untuk memasak di rumah. Tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja bagiku mungkin ada kehangatan yang hilang di meja makan. Ketika masakan yang dibeli atau dimasak pembantu begitu enak, seorang suami atau anak-anak akan berkomentar, “wah masakan si mbok enak banget ya ”. Akan terasa beda jika komentar yang muncul adalah, “wah masakan Ibu enak banget, besok masak lagi ya bu ”. Terasa berbeda bukan? Cinta bisa lebih mekar salah satunya lewat masakan yang dihidangkan.


    Lalu apakah kemampuan memasak bagi seorang wanita itu adalah sebuah kerangka sosial yang terbentuk, atau memang kodrat seorang wanita? Terlepas dari itu, bagiku seorang wanita perlu bisa memasak, tidak harus mahir. Asin-asin sedikit tidak apalah, tetap akan masih dipuji oleh seorang suami yang beriman. Tidak sehebat koki pun tak masalah, asal ada kemauan untuk terus belajar. Apalagi di zaman serba canggih, resep masakan apa saja tinggal cari di Google. Jangan pernah putus asa ketika ada gorengan yang hangus, tumisan yang hambar, gulai yang asin dan kehancuran fatal lainnya dalam memasak, itu semua biasa saja. Sungguh tidak ada kata terlambat untuk belajar, apalagi untuk belajar memasak. Belajarlah untuk membedakan mana jahe mana lengkuas, mana merica dan mana ketumbar, supaya tidak menjadi istri yang berguguran di dapur.


    Akupun teringat ketika pertama kali istri menghidangkan masakan perdananya padaku, tak banyak ekspektasiku pada saat itu, yang pasti aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadirkan ekspresi terbaik ku untuk menghargai dan menyenangkan hatinya. Selepas menyantap hidangan aku memang dibuat cukup kaget, hasilnya diluar ekspektasi. Aku yang tak berharap banyak dari masakan istriku ternyata mendapat hidangan yang nikmat untuk disantap. Alhamdulillah, walau kemampuan memasak tak menjadi kriteriaku dalam memilih istri, Allah hadirkan itu dalam kehidupan ku. Tiap hari aku melihat istri terus berproses dalam melatih kemampuan memasaknya, mulai dari mendata makanan apa yang aku suka dan tidak suka, belajar dari buku-buku resep, google, teman-temannya, hingga berlatih masak dari mama dan ibu mertuanya. Sekarang hingga ia punya daftar varian menu yang bisa aku pilih setiap harinya. Aku pikir nampaknya tak ada yang tak senang diperlakukan seperti ini bukan?. Lebih dari hidangan, masakan adalah bahasa perasaan. Maka cita rasa tak semata hasil olah bumbu dan bahan. Ada rasa di balik rasa. Dan cinta adalah rahasia yang kuat dibalik rasa. :)



    Belajar Keberartian Hidup



    Kematian, salah satu mozaik perenungan yang amat nyata bagi kita yang masih diberikan kesempatan hidup. Setidaknya kalimat itulah yang kembali terbersit di pikiranku hari ini, mengantarkan berpulangnya salah seorang sosok pekerja keras nan bersahaja, Bapak Toha. Kehadiran beliau selama hidupnya mungkin tak banyak dirasakan sebagian besar kita, namun ketika kini beliau tiada, banyak yang merasa kehilangan, setidaknya oleh sebagian besar warga kampus Universitas Padjadjaran (Unpad). Berita kematian beliau menyebar cepat di kalangan mahasiswa dan Alumni Unpad. Media twitter ramai membicarakan sosok dan memberikan ucapan belasungkawa terhadapnya, bahkan ramai kontak BBM ku mengubah display picture mereka dengan foto PaToha, mulai dari angkatan diatasku, hingga mahasiswa angkatan 2012. Beliau bukan pejabat kampus atau dosen, bahkan bukan pula karyawan Unpad. Beliau hanyalah seorang penjual tali sepatu dan koran di wilayah sekitaran kampus Universitas Padjadjaran, yang dagangannya pun jarang laku.

    Aku pun sebenarnya tak mengenal betul Bapak satu ini. Awalnya aku sering melihatnya di gerbang kampus ketika sang Bapak menjajakan barang dagangannya, hingga kembali sering bertemu dengan beliau di Fakultas Kedokteran, tempat aku menjalankan kuliah dulu. Kembali sering kulihat sang Bapak rajin menjajakan dagangannya di plaza FK, sesekali mendatangi saung-saung tempat berkumpulnya mahasiswa untuk menawarkan barang dagangannya, dan tak jarang kulihat usahanya banyak mendapatkan penolakan. Wajar lah aku pikir, pada saat ini, berapa banyak sih orang yang memerlukan tali sepatu? Di kantin FK Unpad juga aku sering melihat beliau menjajakan dagangannya, bahkan sesekali ia pun menawarkan dagangannya padaku. Untuk tali sepatu memang aku jarang memerlukannya, biasanya yang aku beli koran dari Bapak tersebut. Harga yang ditawarkan 3000 biasa aku bayar 5000, dan tahukah kita dengan margin keuntungan yang tak begitu besar di dapat Pak Toha, ungkapan syukur begitu mendalam tampak dari Bapak tersebut. Sebuah pembelajaran bagi kita yang masih banyak lupa bersyukur atas berbagai kecukupan yang Allah berikan.

    Aku juga sering bertemu dengan Pa Toha di mushalla kompleks UKM Barat. Ketika rehat dari rapat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di waktu Ashar, terlihat sesekali Pa Toha merebahkan badannya yang kelelahan di mushalla tersebut. Pun ketika waktu maghrib tiba, selepas berkegiatan di sekre BEM Unpad, ketika shalat maghrib Pa Toha masih ada di mushalla tersebut dan ikut shalat berjamaah. Bahkan, sesekali ketika aku pulang larut malam dan menyempatkan shalat isya selepas menjalankan amanah di BEM, aku melihat Pa Toha tertidur di salah satu sudut ruangan mushalla tersebut. Sering sekali Pa Toha berada di mushalla kompleks UKM Barat ini, bahkan sesekali aku sempat memergoki beliau sedang membereskan mushalla ini. Sempat heran dengan keberadaan Bapak satu ini di mushalla tersebut, ternyata dari informasi yang belakangan ini aku tahu, mushalla di kompleks UKM Barat ini menjadi tempat tinggalnya di Jatinangor, sebelum ia pulang ke Garut ke daerah asalnya ketika sudah memiliki cukup uang untuk menghidupi keluarganya disana. Katanya Pa Toha punya 12 orang anak, 5 orang anak sudah berkeluarga dan sudah tinggal jauh darinya. Jangankan membantu ekonomi Pa Toha, ke 5 orang anaknya tadi mesti berjibaku menghadapi kehidupan keluarga mereka yang masih serba kekurangan. Sementara 7 orang anak yang lainnya masih menjadi tanggungan Pa Toha untuk di sekolahkan. Selama uangnya belum mencukupi untuk dibawa ke kampung halaman, maka mushalla kompleks UKM Barat ini jadi tempat yang menemani sepi dan lelah Pa Toha setiap harinya. Besar harapnya untuk menjadi petugas kebersihan di Unpad, merapihkan dan menjaga mushalla yang disinggahinya, namun apa daya, usia lanjutnya tak sesuai dengan kriteria karyawan yang diterima Unpad. Alhasil, tenaga yang dikeluarkan untuk membersihkan dan merapikan mushalla ibarat menjadi bayaran sewa mushalla yang selama ini ia singgahi.

    Kerja keras dan tanggung jawab Pa Toha adalah kisah yang harus kita teladani. Ditengah ketidakberdayaannya, bagiku Pa Toha adalah sosok pria sejati. Menjalankan komitmen terhadap keluarga dengan menjaga harga diri. Ketika masih banyak kita lihat di jalanan orang-orang yang masih berdaya namun hanya mengandalkan meminta-minta, Pa Toha ditengah kerentaannya masih sungguh-sungguh berjuang di atas kakinya sendiri. Sesekali kulihat tatapan kosong dan putus asa Pa Toha atas lelah dari jualannya yang jarang laku. Namun itu hanya jeda, untuk kemudian ia melanjutkan siklus perjuangan hidupnya di keesokan hari. Kembali hal ini pun menjadi pelajaran bagi kita, yang masih banyak bermalas-malasan dan banyak bergantung pada orang lain. Ditengah keberdayaan kita, nampaknya kita mengkerdilkan diri sendiri dengan sikap manja dan ketakutan menghadapi tantangan hidup yang ada, padahal kita masih muda. Hal lain yang sangat aku kagumi dari beliau, ditengah serba keterbatasannya, semangat berbaginya sangatlah mulia. Di Garut sana ia mendirikan sebuah madrasah, Al Insan namanya, tempat belajar dan mengaji anak-anak di sekitar daerahnya. Sungguh harusnya kita dibuat malu, jika ditengah kelapangan dan serba kecukupan kita, tak ada keinginan berbagi, memberi. Padahal sejatinya dalam diri setiap kita ada hak orang lain yang membutuhkan yang harus kita penuhi. Pa Toha, seorang yang memberikan arti mendalam bagi setiap kita yang masih bisa merasa. Semoga kepergiannya khusnul khatimah, di Jumat terakhir bulan Ramadhan ini, waktu yang begitu mulia.

    Cerita serupa ingin aku sampaikan tentang seorang pedagang tahu keliling di komplek ku, Mang Ahyar namanya. Aku pun memang tak mengenal beliau, tapi mendengar ceritanya dari ibuku sedikitnya menggambarkan bagaimana sosok tersebut. Seorang pedagang yang ramah dan pintar berkomunikasi, seorang ceria yang senantiasa menyisipkan canda dan humor dalam setiap perjumpaannya, juga mengutamakan kepuasan dan kepercayaan pembeli. Di penghujung usia karena sakit jantung yang dideritanya, tahukah kita berapa orang yang melayatnya? Ratusan jumlahnya! Para pelanggan tahu dari hampir 4 komplek perumahan beramai-ramai beriringan melayat ke rumahnya. Rumahnya yang kecil tentunya tampak penuh sesak dengan ratusan orang yang melayat sang pedagang tadi.

    Pa Toha dan Mang Ahyar adalah dua sosok yang memberikanku pelajaran, bahwa keberartian hidup bukan berasal dari harta, kepandaian atau keterampilan yang kita pelajari, melainkan dari akhlak yang baik yang akan menjadi penyenang hati setiap kita. Semoga aku menjadi pribadi yang ketika dilahirkan aku menangis sementara yang lain tersenyum, dan sepeninggalanku nanti, orang-orang menangisi kepergianku, namun aku tersenyum.

    Sambutan Sumpah Dokter, Dari Saya Untuk Angkatan Tercinta, FK UNPAD 2007


    Bismillahirrahmanirrahim,

    Yang Terhormat,
    Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran beserta jajarannya,
    Guru Besar dan Anggota Senat Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran,
    Direktur Rumah Sakit Hasan Sadikin,
    Direktur Rumah Sakit Mata Cicendo,
    Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat,
    Ketua Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran,
    para dosen, staff, dan karyawan FK Unpad,
    dan yang kami muliakan, Ayahanda dan Ibunda tercinta, para orang tua dokter baru Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran,
    serta rekan-rekan dokter baru Fakultas Kedokteran Unpad  yang saya cintai dan saya banggakan.

    Assalamu’alaikum wr wb.
    Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua.

       Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih tapi tak pernah pilih kasih, dan yang Maha Penyayang yang kasih sayang Nya tak pernah hilang, karena atas kasih dan sayang Nya jualah Allah masih mentakdirkan kita untuk bertemu di hari yang berbahagia ini, Pengambilan Sumpah Dokter Gelombang III Tahun Akademik 2012/2013 Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
         Rekan-rekan yang saya banggakan.
                    Hari ini tentulah menjadi hari yang kita tunggu sejak lama,  menjadi hari istimewa yang dinantikan bagi kita yang menjalankan proses panjang pendidikan kedokteran. Sebuah kulminasi dari proses panjang pembelajaran dalam mematangkan ilmu serta mematangkan sikap seolah dirayakan hari ini. Mungkin belum lekang dalam ingatan, tentang kenangan, sebuah romantisme masa lalu yang kita rasakan sebagai satu angkatan. Menjadi angkatan terakhir yang masih merasakan OSPEK yang menginap selama satu minggu penuh di kampus. Open House luar biasa yang ramai dihadiri lintas angkatan, bahkan Prof Tri pun sempat mencoba bermain mini golf di kegiatan itu. Juga dengan Olymphiart, yang memang tidak pernah kita menangkan juara umumnya, namun kita rasakan benar maknanya, kekeluargaan, kedewasaan bersikap, dan TOTALITAS.
    Belum lagi dengan berbagai kegiatan yang tiap kegiatannya selalu punya ceritanya sendiri.  Ditambah dengan pahit getir menghadapi ujian dan kesulitan, hingga saat-saat koass, saat kenangan beralih ke RSHS, tentang post jaga sindrom sampai keakraban dengan meskoas. Mungkin yang masih kita ingat betul, tentang kejadian saat UKDI dimajukan, masa- masa kita berpeluh bersama, menghadapi serangkaian estafet ujian, COMPRE-UKDI-OSCE. Babak belur bersama menjemput gelar dokter. Dan manisnya perjuangan, memang lebih terasa setelah pahit dilewati, itu setidaknya yang kita rasakan sekarang. Untuk itu, bersyukur mutlak menjadi keharusan.
    Biarlah semua cerita tadi menjadi kenangan yang menjaga kebersamaan kita selamanya kawan. Setelah ini kita akan di tempatkan ke daerah-daerah untuk menjalankan internship, dan mungkin tidak akan berjumpa lagi dalam waktu yang lama. Maka biarlah kenangan tadi yang menjaga kolegialisme ini. 
    Rekan-rekan yang saya cintai.
    Hari ini kita semua berikrar sumpah, berkomitmen tentang kebersamaan dalam kesejawatan, tentang misi kemanusiaan, dan amanah keprofesian.  Hari ini resmi gelar dokter membersamai nama setiap kita. Kelak di masyarakat, mereka yang mengenakan jas putih, menjalankan profesi dokter, masih amat dipandang, dihargai, dan dijadikan tumpuan masyarakat ketika mengalami kesulitan, ucapannya begitu di dengar, dan sikapnya seolah dijadikan teladan. Namun ingatlah kawan, bahwa menjadi dokter itu, bukan kebanggaan. Tapi penjagaan. Menjaga rela, menjaga ilmu, serta menjaga keseimbangan alam. Menjadi dokter itu, bukan kehormatan. Tapi kekuatan. Kekuatan untuk menebar kebaikan, mengakses kebenaran, dan menjaga kerahasiaan.  Menjadi dokter itu bukan kesuksesan. Tapi tantangan. Tantangan untuk terus mengasah kualitas, untuk tak melupakan pahit sebelum keberhasilan, untuk menjaga api semangat agar tetap menyala hingga akhir perjuangan. Menjadi dokter, itu bukan penyembuh segala. Tapi tubuh perantara, perantara kepada sehat. “Menjadi dokter” itu kini bukan cita-cita lagi. Kini ia dalam proses menjelma nyata, dengan segala gelap terang di dalamnya.
                    Selanjutnya, seperti yang tertera dalam Qur’an surat Al Insyirah ayat 7 yang artinya “ Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. “ Setelah ini internship akan kita jalankan. Mungkin kita pun kerap mendengar, tentang berbagai kesulitan yang terhampar kedepan. Tapi sadarilah kawan, bahwa sulit tak selamanya sulit, sebagaimana mudah tak selamanya mudah. Hanya saja dikhawatirkan kesulitan punya nafas lebih panjang dibanding semangat kita untuk mengalahkannya. Seperti yang orang bijak sering bilang, daripada mengutuk kegelapan, lebih baik nyalakan lilin. Dan lebih dari itu, saya mengajak kita pun menghadirkan mentari, dalam setiap jiwa kita, yang nyalanya tak pernah padam, sampai tutup usia kita. Sehingga sepanjang hidup kita, kita bisa jadi cahaya bagi yang lain.
                    Atas berbagai hal yang kita dapatkan, pencapaian yang kita raih, dan beberapa tahapan yang akan kita hadapi kedepan, pada kesempatan istimewa ini, perkenankan saya, atas nama teman-teman yang disumpah pada hari ini, untuk menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya.
    Pertama, terima kasih kami sampaikan kepada Rektor Universitas Padjadjaran beserta seluruh unsur pimpinannnya yang telah memberi kesempatan bagi kami untuk belajar di kampus yang banyak memberikan wahana pembelajaran ini. Tanpa kesempatan ini kami bukan siapa-siapa.
    Selanjutnya, terima kasih, penghargaan, dan respek yang teramat dalam dari kami semua disampaikan kepada pimpinan Fakultas Kedokteran, beserta seluruh dosen yang kami cintai dan banggakan.  Dari mereka, kami semua dididik, diciptakan, diajar, ditanamkan kecintaan dan tanggung jawab yang besar terhadap ilmu kedokteran dan profesi dokter.
    Kami sangat bersyukur dan bangga karena Allah, Tuhan YME mengizinkan kami semua memperoleh kesempatan untuk belajar dan dididik di FK UNPAD ini. Satu hal yang paling kami banggakan dari FK UNPAD adalah usahanya yang terus menerus tiada henti menjadi  fakultas kedokteran  yang terus menerus menciptakan inovasi dalam dunia pendidikan kedokteran Indonesia. Menjadi pionir dalam menciptakan gelombang reformasi pendidikan dokter yang lebih modern sekaligus humanis. Menjadi fakultas yang  berperan sebagai lentera bagi sekitarnya, senantiasa mewujudkan kemaslahatan bagi umat, dari Jawa Barat hingga dunia.
    Oleh karena itu kawan, semoga semangat terus berinovasi dan mengembangkan diri ini menjadi bagian tak terpisahkan dari diri kita. Di kampus ini,  kita dididik untuk menjadi dokter yang bukan hanya senang ilmu pengetahuan tetapi berdedikasi dan berpihak kepada kemanusiaan, mengabdi kepada masyarakat. Untuk itu, jadilah seorang dokter yang tak hanya menjadi agen penyembuh, melainkan juga agen pengubah, sekaligus agen pembangun bangsa, sebagai bentuk bakti kita untuk almamater tercinta ini.
    Terimakasih juga kami sampaikan teruntuk guru kami, yang selalu memberi inspirasi, menunjukkan keteladanan nilai-nilai, dan kesungguhan dalam memberi bekal pengetahuan. Semoga ilmu yang kami dapat mampu kami gunakan untuk memberikan kemaslahatan untuk umat sehingga kami dapat memberikan pahala yang terus mengalir atas ilmu yang bermanfaat yang engkau ajarkan.
    Terima kasih juga kami sampaikan kepada staff  FK Unpad yang mungkin banyak kami repotkan, bahkan hingga kami buat kesal. Terima kasih atas kesabarannya melayani kami, semoga Allah senantiasa membalas dengan kebaikan. Juga kepada Ikatan Alumni, terimakasih juga kami sampaikan atas itikad baik dalam penjagaan alumni FK Unpad 2007 di internship nanti.
    Terima kasih kami ucapkan juga terutama kepada orang tua, dan orang-orang yang kami kasihi,  yang selama ini telah mendukung kami. Mendengarkan kami ketika  bersedih, menyemangati  ketika melewati ujian-ujian yang sulit, memeluk  saat beban terasa begitu berat. Merekalah yang berdoa di malam-malam yang sunyi, ketika kami disini sedang terjaga mengerjakan tugas atau sedang mendapat giliran jaga malam. Mereka yang menangis rindu dalam jauhnya jarak, terlebih saat Idul Adha, Nyepi, Galungan, atau bahkan saat Natal maupun Idul Fitri karena tidak bisa bersama anaknya akibat padatnya aktivitas di kampus. Doa mereka tidak pernah berhenti mengalir, membukakan jalan bagi kami semua. Sungguh dalam kesempatan kali ini, izinkan kami mengucap terima kasih kepada ayahanda dan ibunda yang amat kami kasihi. Semoga setiap pengorbanan selama ini tidak menjadi sia-sia, menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kami dalam memberi pengabdian terbesar bagi sesama. Pencapaian kami sampai sejauh ini adalah bakti kami untuk mu, dan kelak pengabdian serta amal unggulan yang kami lakukan semoga menjadi penjemput Ayahanda dan Ibunda untuk mencapai Surga Nya.
    Untuk adik-adik kami di FK Unpad, terimakasih kami sampaikan atas berbagai aktivitas yang membersamai, juga rasa hormat yang kalian berikan. Terimakasih pula atas bantuannya hingga saat ini. Maaf seandainya kami belum bisa jadi teladan yang baik. Kami menyayangi kalian.
    Terakhir, terimakasih teramat dalam kepada angkatan, FK Unpad 2007, atas kebersamaan, atas warna yg ditorehkan dalam kanvas kehidupan, atas kenangan yang senantiasa menjadi penawar di tengah padatnya interaksi. Ingatlah kawan, 182 orang mahasiswa Indonesia tergabung dalam satu angkatan, dan hari ini tercatat 127 orang dokter baru dari angkatan ini berikrar sumpah. Tak satupun diantara kita yang boleh ditinggalkan, mari kita genggam kuat, kembali saling dorong dan menguatkan, serta senantiasa menghadirkan dalam doa, karena bagaimanapun, kita satu ikatan, satu tubuh.
    Sadarilah kawan, setelah acara ini berakhir, kita akan menjalani hidup sebagai seorang dokter, yang setiap ucapan dan tindakannya terikat oleh sumpah, dan setiap teladannya menjadi contoh bagi masyarakat. Teruslah totalitas untuk menjadi dokter berhati emas, sampai habis masa pengabdian kita, sampai tutup usia kita. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, memberkahi dan memberi kekuatan kepada kita. Terimakasih teman-teman, saya mencintai kalian karena Allah.
    Terimakasih atas perhatian yang diberikan, mohon maaf atas segala kekurangan. Wassalamu’alaykum Wr.Wb.

    Dani Ferdian, dr.
    Ketua Angkatan FK Unpad 2007


    Aku Akan Menikahimu, Dinda.


    Ini bukan hanya tentang aku, begitupun bukan hanya tentang dirimu. Ini tentang kita. Ya, setiap kita yang sedang bertumbuh, menuju penyempurnaan agamanya. Satu per satu rekan-rekan, kerabat, senior, adik kelas, kenalan menyampaikan kabar gembiranya silih berganti dan berbagi kebahagiaan melalui undangan pernikahannya di tahun ini. Membaca tulisan ini, beberapa kita mungkin menganggapnya galau. Galau kini seolah menjadi terminologi untuk segala pembicaraan terkait konsepsi hubungan, miris. Beberapa lainnya mungkin antusias, seolah mewakili gejolak yang ada di dalam hatinya. Selebihnya, mungkin tak peduli.

    Menjadi hal yang wajar, di rentang usia sepertiku, konsepsi terkait hubungan terutama dalam konteks pernikahan sedang ramai dibicarakan. Tulisan ini hadir bukan untuk membangun kegelisahan yang merisaukan, namun mencoba menjadi salah satu sarana kecil membangun persiapan dan sedikit refleksi untuk ku, kamu, dan setiap kita yang sedang , akan, atau telah membangun pernikahan.

    Ingin mengawali bahasan dari fenomena yang cukup menarik perhatianku. Beberapa orang yang aku kenal memilih menikah di usia sangat muda, ketika duduk di bangku perkuliahan tingkat 1, 2, 3, 4 hingga masa-masa koas. Sebaliknya, beberapa orang lain yang aku kenal memilih menikah di usia yang cukup matang, selaras dengan pencapaian dan kemapanan kariernya. Fenomena tersebut menjadi sebuah kondisi yang wajar memang. Hal yang kemudian menjadi tak wajar adalah ketika satu sama lain saling membanggakan dan memengaruhi orang lain terkait usia pernikahan mereka. Bahwa menikah muda itulah yang terbaik. Atau justru sebaliknya, kalangan yang menikah di usia matang mencibir mereka yang menikah muda seolah gegabah, terlalu tergesa-gesa. Lantas, manakah yang lebih baik?

    Terlalu dangkal menurutku jika kebaikan sebuah pernikahan sekadar dilihat dari segi usia kapan mereka melangsungkan pernikahan. Bagiku, keputusan menikah muda maupun menikah di usia matang keduanya sama-sama baik, sama-sama hebat, tergantung konteksnya.

    Menikah muda dengan alasan telah siap lahir batin, menyambung tali kasih sayang, menjaga kesucian dan menjaga kehormatan diri, menghasilkan banyak anak-anak hebat di kondisi orangtua yang masih produktif dan sehat tentu alasan yang tepat. Menikah nanti dengan alasan merasa belum mampu untuk menambah tanggung jawab dan merasa masih mampu menahan gejolak hasratnya sehingga memilih untuk terus mengisi dan memperbaiki diri terlebih dahulu, itu pun baik, sama-sama hebat.

    Pernikahan itu bukanlah sebuah perlombaan. Jadi tidak tepat sebenarnya jika masih ada terminologi 'terlambat menikah' ataupun 'terlalu cepat menikah'. Seharusnya semua orang paham bahwa jodoh adalah rahasia Tuhan. Sayangnya, tetap saja banyak yang masih punya definisi tentang ‘terlambat menikah’, atau sebaliknya ‘terlalu cepat menikah'. Tidak ada standar kapan harus menikah, karena semua orang khas. Jika tiba masanya, maka pasti akan terjadi, begitu pikirku.

    Mungkin kita sadar, banyak sekali buku di pasaran yang bertujuan mengajak pembacanya menikah muda. Begitu pula acara-acara seperti seminar, talkshow, yang tema nya tak jauh dari menikah muda pun ramai di datangi. Marketnya siapa lagi kalo bukan anak muda. Karena banyak peminatnya, maka menjadi logis buku dan acara-acara ber genre menikah muda ramai kini kita temukan.

    Tak ada yang salah sebenarnya dengan buku atau acara terkait dengan ajakan menikah muda. Hal ini pun aku pikir muncul sebagai solusi atas keprihatinan akan kondisi anak muda masa kini. Daripada terpaut dengan hubungan yang aneh-aneh dan tidak jelas, alangkah lebih baiknya diarahkan untuk menuju hubungan pernikahan. Begitu mungkin simpulan yang aku dapat.

    Kalau kita lihat positifnya, para anak muda mungkin akan termotivasi untuk menikah. Termotivasi mempersiapkan kondisi lahir batin untuk bersanding dengan sang pujaan hati. Yang tadinya malas belajar jadi semangat belajar. Yang santai-santai saja mencari penghasilan, jadi semangat dalam bekerja.

    Nah, lalu kalau dilihat negatifnya? Aku khawatir semangat menikah begitu menggelora di dada. Hanya terpesona pada kenikmatan yang di dapat dalam pernikahan, namun belum ada persiapan apa-apa. Jangan sampai kita lupa bahwa menikah dikatakan menyempurnakan setengah agama dikarenakan berat perjalanan yang akan dilaluinya. Memiliki persiapan yang cukup, mutlak menjadi keharusan. Bukankah gagal mempersiapkan berarti mempersiapkan kegagalan?

    Tidaklah cukup menikah dengan hanya beralasan keinginan untuk melindungi dan dilindungi, keinginan untuk disayang dan menyayangi, diperhatikan dan memperhatikan, ditemani dan menemani atau sejenisnya. Menikah bukan perkara sesederhana itu. Menikah adalah perkara tanggungjawab. Siapkah kita menjalani tanggungjawab itu?

    Disegerakan, namun bukan tergesa-gesa. Mari kita alihkan energi cinta kita bukan untuk sekadar melihat, bukan hanya untuk memikirkan tentang dirinya yang terbaik bagi kita. Namun untuk mempersiapkan. Meningkatkan kualitas diri. Bukankah memperbaiki diri berarti memperbaiki jodoh? Hal ini berlaku tak hanya untuk laki-laki yang akan menjemput takdir jodohnya. Begitupun dengan perempuan,jangan sampai menunggu hanya digunakan untuk menutupi ketidaksiapan dan membebankan seluruhnya kepada para lelaki.

    Lalu bagaimana mengenai perkara seseorang yang senantiasa berusaha meningkatkan kualitas diri, namun masih saja mendapat penolakan dalam menemukan pasangan? Jika benar sudah meningkatkan kualitas diri, menurutku ia tak merugi. Justru yang merugi adalah yang menolak, karena ia kehilangan orang yang serius membangun titik temu dengannya, untuk menggenapkan agama dengan cara yang baik, sedangkan orang yang ditolak hanya kehilangan orang yang memang tidak serius membangun titik temu dengan dirinya.

    Jangan risau tentang masa depan, termasuk konteks menemukan pasangan, semuanya ada dalam genggaman Allah. Risaulah jika saat ini kita tidak serius mendekatinya. Sertakan Allah dalam perjuanganmu, karena jodoh itu bukan perkara ada yang suka pada kita atau ingin menikah dengan kita. Ternyata jodoh ialah saat Allah mengerakkan hati dua manusia untuk kemudian berkata ‘Ya Kami siap menikah.' Jangan terlalu khawatir, kekhawatiran tak menjadikan bahayanya membesar. Hanya dirimu yang semakin mengerdil. Tenanglah, semata karena Allah bersamamu. Maka, tugasmu hanya berikhtiar! Kelak waktu yang menjadi jawaban atas takdir masa depan kita. Bicara tentang waktu, waktu nampaknya akan terasa lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu panjang bagi mereka yang gelisah, dan terlalu singkat bagi mereka yang bahagia, namun waktu akan terasa abadi bagi mereka yang mampu bersyukur. Untuk itu bersyukurlah. Syukur bukan hanya perkara terima kasih atas apa-apa yang sudah Allah berikan, melainkan juga tentang berbaik sangka pada Nya. Berbaik sangkalah!

    Lalu untuk kita yang sudah menemukan pasangan, atau 'calon' pasangannya. Tanggung jawab tak sekadar mencari nafkah bagi lelaki dan mengurus rumah tangga bagi perempuan. Hal seperti itu tentulah lumrah dibicarakan. Hal lain yang perlu juga mendapat perhatian ialah tentang bagaimana menerima pasangan kita dengan sempurnaSadarilah, bahwa kita tidak pernah bisa menuntut siapapun sempurna, karena sejatinya kesempurnaan adalah kekurangan yang senantiasa diperbaiki, perbedaan yg senantiasa disatukan, perasaan saling yang membuat segalanya tergenapi.Belajarlah untuk senantiasa memahami pasangan kita. Semakin tinggi tingkat pengenalan seseorang kepada sesuatu yg dicintainya maka sesuatu yang harusnya pahit bisa menjadi manis. Engkau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya dan mencoba menjalani hidup dengan caranya. Kelak ketika kau menemukan kekurangannya, cintailah itu. Karena ketika engkau sudah bisa mencintai kekurangannya, kelak ketika kau menemukan kelebihannya, engkau akan semakin mencintainya. Dan cinta, itu akan menguatkan jiwa yang lemah, bukan melemahkan jiwa yang kuat. Ia bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan, bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan, bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat. Karena itu, untuk ia yang memutuskan untuk mencintai, ia harusnya tak lagi berjanji, melainkan membuat rencana untuk memberi.

    Ah bicara tentang cinta dalam konsepsi hubungan nampaknya jadi hal biasa. Lalu bagaimana dengan cemburu? Suatu hal di jaman kita sekarang yang dianggap ekstrim-fanatik, dan lain-lain? Cemburu bagiku terdefinisi sebagai ketidaksenangan seseorang untuk disamai dengan orang lain dalam hak-haknya, dan itu merupakan salah satu akibat dari buah cinta. Maka tidak ada cemburu kecuali bagi orang yang mencintai. Dan cemburu itu termasuk sifat yang baik menurutku, bagi laki-laki maupun perempuan.

    Adapun kecemburuan seorang laki-laki pada keluarga dan kehormatannya, itu menjadi keharusan. Karena dengan adanya kecemburuan, akan menolak adanya kemungkaran di keluarganya. Ambil lah contoh kecemburuan dia pada istri dan anak-anaknya, yaitu dengan cara tidak rela kalau mereka terbuka hijabnya di depan laki-laki yang bukan mahramnya, bercanda bersama mereka, hingga seolah-olah laki-laki itu saudaranya atau anak-anaknya.

    Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mensifati seorang laki-laki yang tidak cemburu pada keluarganya dengan sifat-sifat yang jelek, yaitu ‘Dayyuuts’. Sungguh ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabraani dari Amar bin Yasir r.a, serta dari Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi dari Abdullah bin Amr r.a, dari Nabi Saw bahwa ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga yaitu peminum khomr, pendurhaka orang tua dan dayyuts. Kemudian Nabi menjelaskan tentang dayyuts, yaitu orang yang membiarkan keluarganya dalam kekejian atau kerusakan, dan keharaman. Begitulah sisi lain cemburu dalam konsepsi sebuah hubungan.

    Hal lain yang mendasari konsepsi hubungan, terutama bagi yang sudah menemukan pasangannya, ialah perkara komitmen. Berperasaanlah dengan komitmen, atau berkomitmenlah dengan perasaanmu.Komitmen adalah kunci pembuka pintu mimpi agar hadir menjadi kenyataan. Komitmen adalah sesuatu yang akan membuat seseorang memikul resiko dan konsekuensi dari keputusannya tanpa mengeluh, dan menjalaninya dengan penuh rasa syukur sebagai bagian dari kehidupan yang terus berproses. Komitmen yang membuat segalanya mengalir seperti kemauan kita, karena melalui komitmen kita mampu mengendalikan semua hal menjadi lebih baik. Karena komitmen adalah totalitas sebuah perjuangan.

    Sungguh terhormat setiap kita yang memegang teguh komitmennya, menjaga kesetiannya. Senantiasa berhati-hati menjaga hatinya. Mata dan telinga merupakan pintu, dan hati merupakan rumahnya. Untuk itu, senantiasa kawal apa saja yang masuk melalui pintu agar rumah kita selamat, agar hati kita selamat, bersetia pada hati. Ingat bahwa Allah mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. Untuk itu, jaga mata, jaga hati, jaga sikap. Ada yang bilang, katanya suci perempuan karena menjaga diri, gagah laki - laki sebab menepati janji. Itupun manifes dari komitmen, begitu pikirku.

    Lalu bicara tentang konsepsi hubungan dalam konteks pernikahan, tentulah erat kaitannya dengan bahasan menjadi orang tua. Bagiku, cara kita mengajari anak-anak kita tentang keshalihan, bahkan jauh sebelum mereka dilahirkan adalah dengan cara memilih ibu yang baik untuk mereka. Itu titik tolaknya, itulah mengapa kemudian proses memilih pasangan menjadi hal penting yang begitu diperhatikan, untuk kemudian sama-sama bertumbuh menjadi orang tua paripurna, yang memberikan pendidikan bagi anak-anaknya di madrasah yang tanpa libur dan tanpa jeda, di rumahnya. Tempat di mana mereka belajar bukan hanya dari apa yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh ayah bundanya. Orangtua adalah guru yang sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan untuk dijadikan identitas.

    Aku masih ingat dulu tentang masyarakat yang punya tingkat saling percaya amat tinggi di jaman Rasul tentang peran orang tua, terutama ayah. Dulu kalau mau menikahi Hafshah, tak perlu berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang lebih ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq. Begitupun aku, ingin rasanya seperti itu, bisa memberikan kebaikan pada anak-anak ku dengan integritas kebaikan yang melekat pada ayahnya. Itulah mengapa bagi setiap laki-laki, menjadi ayah yang baik menjadi hal mutlak yang perlu diperjuangkan, peran nya begitu besar dalam menjalankan tanggung jawab pendidikan anak-anak nya. Lalu bagaimana dengan perempuan? Jangan sampai engaku lupa, dibalik suami yang hebat terdapat wanita hebat yang senantiasa mendampinginya, ia adalah istri. Dan dibalik anak yang hebat terdapat wanita hebat yang senantiasa mendo’akanya, ia adalah ibu.

    Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda, “3 orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya” (HR. Thabrani)


    Dinda, ingin rasanya aku raih pertolongan Allah dengan menjadi ketiganya. Menikahimu, adalah keberanian menentukan sikap, bukan menunggu waktu hingga datang kedewasaan bersikap, menuju Mitsaqan Ghaliza, perjanjian yang kokoh yang dalam Al Qur'an kata mitsaqan ghaliza hanya dipakai 3 kali saja, yakni ketika Allah SWT membuat perjanjian dengan para Nabi, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (Al Ahzab 73:7), ketika Allah SWT mengangkat bukit Thur di atas kepala bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia pada Allah (An Nissa 4:154) dan ketika Allah SWT menyatakan hubungan pernikahan (An Nissa 4:21).

    Kupilih dirimu, karena aku yakin engkau mampu menggenapi kekuranganku menjadi kelebihan. Karena aku tahu, tak sempurna agamaku, kecuali engkau menggenapinya. Kupilih dirimu, karena engkau memiliki satu sayap yang bisa melengkapi sayapku yang hanya satu. Maka berdua kita mengepakkan sepasang sayap menuju surga; impian kita bersama.

    Dinda, ketika kini pada akhirnya kita bertemu, yakinlah bahwa itu bukan kebetulan. Sebab bagaimanapun, langkah kita akan saling tertuju, langkahku ke arahmu, langkahmu ke arahku. 



    *tulisan yang juga menjadi kado, untuk yang sedang rindu, merencanakan, akan melangsungkan, atau baru saja menjalankan pernikahan. Celoteh kecil dari pribadi yang sedang belajar, untuk menasihati setidaknya dirinya sendiri.*